Ahli Hadis dan Ahli Fikih
Ketika jatuh sakit lalu kita pergi ke apotek untuk beli obat, apoteker yang baik akan menyarankan kita untuk berkonsultasi dengan dokter. Apalagi kalau penyakit yang kita alami tergolong berat. Sang apoteker menyadari bahwa meskipun ia punya banyak obat, tapi ia tidak mengerti secara pasti apakah obat A cocok untuk penyakit B, dan cocok juga untuk si C yang kondisinya seperti ini dan itu.
Demikian juga, ketika kita pergi ke dokter untuk berobat, ia akan menganalisa penyakit tersebut, apa gejala-gejalanya, sejak kapan sakit itu dirasakan, apa saja yang dikonsumsi dan seterusnya. Setelah mengenali jenis dan gejala penyakit yang kita derita, ia akan berikan resep dan meminta kita untuk pergi ke apotek guna membeli obat. Karena meskipun ia mengerti tentang penyakit tapi ia tidak punya obat. Obatnya ada di apoteker.
Begitulah lebih kurang hubungan ‘kerja’ antara ahli hadis dan ahli fikih. Fungsi seorang muhaddits (ahli hadis) lebih mirip dengan seorang apoteker. Sementara fungsi fakih (ahli fikih) lebih mirip dengan seorang dokter.
Muhaddits punya ‘obat’ (hadis-hadis yang ia hafal) tapi tidak memahami secara baik untuk jenis penyakit dan kondisi pasien seperti apa obat-obat itu tepat digunakan. Sementara fakih punya ‘ilmu’ (pemahaman terhadap hadis) tapi ia tidak punya obat.
Baca Juga: Al-Jarh wa Ta’dil: Gagagasan Hadis Ibn Abi Hatim al-Razy
Permisalan ini tidak berarti memandang sebelah mata, apalagi merendahkan, kedudukan masing-masing; muhaddits dan fakih. Permisalan ini berarti menghargai spesialisasi (takhassus) dan menempatkan seseorang pada kompetensi yang ia miliki.
Ala kulli hal, permisalan ini datang dari seorang ahli hadis terkenal; Imam A’masy setelah ia berdialog dengan Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf. Ia berkata:
يَا مَعْشَرَ الْفُقَهَاءِ أَنْتُمُ الْأَطِبَّاءُ وَنَحْنُ الصَّيَادِلَةُ (نصيحة أهل الحديث للخطيب البغدادي ص 45)
“Wahai para fuqaha, kalian adalah para dokter, dan kami para apoteker.”
Ungkapan senada juga pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i (meskipun beliau dijuluki sebagai Nashirus Sunnah sebagai pengakuan terhadap jasa dan ilmu beliau dalam bidang hadis, namun keunggulan beliau yang paling tampak adalah dalam bidang fikih dimana beliau merupakan pengasas Madzhab Syafi’iyyah) kepada beberapa ahli hadis:
أَنْتُمُ الصَّيَادِلَةُ وَنَحْنُ الْأَطِبَّاءُ (سير أعلام النبلاء 10/23)
“Kalian (ahli hadis) adalah apoteker, dan kami (ahli fikih) adalah dokter.”
Tentu tidak menutup kemungkinan banyak para ulama yang menghimpun kedua kompetensi tersebut secara sempurna. Di samping ahli hadis ia juga seorang ahli fikih. Contohnya sangat banyak di masa dulu. Sebutlah tokoh-tokoh sekaliber Imam Qadhi ‘Iyadh, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Imam Suyuthi dan lain-lain.
Tapi menghimpun kedua ilmu ini (fikih dan hadis) sekaligus sangatlah sulit. Para ulama yang kita sebutkan diatas, ketika berbicara tentang hadis, memang seolah-olah hanya hadis ilmu yang mereka kuasai (saking dalam dan detailnya). Demikian juga ketika mereka berbicara tentang fikih, seolah-olah hanya fikih ilmu yang mereka kuasai.
Sekarang, kalau ada seorang ustadz, da’i, muballigh dan sebagainya, misalnya mengatakan, “Hadis ini lemah…” ini artinya ia sedang mengambil peran sebagai seorang muhaddits. Ia memang bukan seorang ahli hadis, tapi statement-nya ini adalah statement seorang muhaddits. Dan ini artinya ia mesti punya dasar dan argumen, kenapa hadis A dikatakan sebagai hadis yang lemah.
Sebuah hadis dikatakan sebagai hadis yang lemah, biasanya karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang dinilai sebagai dha’if (lemah). Penilaian terhadap rawi sebagai seorang yang dikategorikan ‘lemah’ didapatkan dari kitab-kitab jarah wa ta’dil. Semakin dekat masa antara pengarang kitab jarah wa ta’dil dengan rawi yang dinilai, tentu penilaian yang diberikannya semakin dekat pada fakta.
Baca Juga: Teungku Haji Mahjiddin Yusuf: Ulama dan Ahli Tafsir Aceh Kontemporer
Di sini muncul pertanyaan. Bukankah para perawi yang terdapat dalam sanad sebuah hadis adalah orang-orang yang hidup di masa dulu? Bukankah sebagian besar mereka bertemu langsung dengan para ulama hadis di masa itu seperti Imam Tirmidzi, Imam Abu Dawud dan lain-lain?
Kalau demikian, ketika sebuah hadis dinilai ‘hasan’ oleh Imam Tirmidzi, misalnya, apakah dapat diterima kalau hadis yang sama dinilai sebagai ‘dha’if’ oleh seorang ulama hadis di masa ini hanya karena salah seorang rawinya dinilainya lemah? Bukankah Imam Tirmidzi lebih tahu tentang rawi tersebut dibandingkan ulama tadi. Berarti, bagi Imam Tirmidzi, kelemahan yang dialamatkan pada rawi tersebut tidak berpengaruh terhadap kualitas hadis untuk dikatakan sebagai hadis hasan.
Ulama tadi menilai rawi tersebut sebagai seorang yang lemah tentu dengan merujuk kepada kitab-kitab jarh wa ta’dil dan kutub rijal. Sementara Imam Tirmidzi bertemu langsung dengan rawi yang bersangkutan dan mengenal secara lebih dekat bagaimana kepribadian dan kekuatan hafalan rawi tersebut. Manakah yang lebih kuat, penilaian yang diambil dari buku atau penilaian yang didasarkan pada pengenalan secara personal dan lebih lekat?
Tidak salah kalau seorang ulama hadis berkata: “Ilmu Mustalah sudah seperti tongkat di tangan si buta yang dipukulkannya ke mana saja…”. Ini baru dalam wilayah hadis.
Nah, kalau sang ustadz, da’i atau muballigh, setelah mengatakan, “hadis ini lemah”, ia menyambung ucapannya dengan mengatakan, “hadis ini tidak boleh diamalkan, jika diamalkan berarti masuk dalam kategori bid’ah…” di sini ia telah masuk ke wilayah fikih; wilayah dimana para ulama hadis terkemuka saja ‘gentar’ memasukinya.
Tanpa disadarinya, dalam satu kalimat saja ia telah berperan sebagai muhaddits dan sebagai fakih sekaligus. Kalau ia punya hujah dan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan tentu tidak apa-apa. Jika tidak, maka seolah-olah ia sedang berkata, “Akulah yang bisa memainkan peran sebagai dokter dan apoteker sekaligus. Aku punya obat dan mengerti dengan sangat baik untuk apa obat itu digunakan….”
لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
Leave a Review