scentivaid mycapturer thelightindonesia

Sebuah Refleksi Kunjungan “Singa Aswaja” ke Minangkabau

Risalah Rihlah Minangkabau (1) Ziarah Makam dan Surau Syekh Sa'ad Mungka al-Naqsyabandi (w. 1922), Kawan Satu Thabaqat Syekh Mahfuzh Tremas (w. 1920)
Foto Penulis dan Kiai Idrus Ramli, Kiai Ma'ruf Khozin, Gus Najih Ramadhan, Buya Apria, Ust Andrial, Para Buya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan kawan-kawan PCNU Payakumbuh / Dok Penulis

Singa Aswaja ke Minangkabau Singa Aswaja ke Minangkabau

Beberapa waktu lalu masyarakat Minangkabau mendapatkan limpahan rahmat yang begitu besar dengan hadirnya tokoh Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja) ke Minangkabau. Kehadiran ini khususnya sangat berkesan bagi para anak siak dari beberapa pesantren di Minangkabau, tak terkecuali juga bagi masyarakat sendiri. Sosok dua ulama kharismatik dari tanah Jawa, namanya sudah tak asing lagi didengar, keduanya dikenal dengan sebutan Singa Aswaja dari Tanah Jawa beliau adalah KH.Idrus Ramli dan KH. Ma’ruf Khozin.

Kunjungan kedua ulama tersebut ke Sumatera Barat meninggalkan kesan begitu mendalam kepada kita semua. Menurut penuturan Gus Najih ar-Ramadlani yang mendampingi beliau saat kunjungan ke Sumatera Barat, tempat ini menjadi salah satu tempat yang sangat ingin dikunjungi oleh kedua Kiai tersebut, mengingat tradisi ke Aswajaan di Minangkabau masih begitu kuat, tidak seperti yang diceritakan oleh orang-orang bahwa Sumatera Barat sudah banyak salafinya. Sama halnya juga dengan penuturan Uda Ridwan Mundzir bahwa perjalanan dakwah dua ulama ini meninggalkan kesan luar biasa karena perjalanan dilakukan atas dasar ketulusan dan keikhlasan.

Baca Juga: Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam Keislaman di Minangkabau (Wawancara dengan K.H. Ahmad Ginanjar Sya’ban)

Rasa syukur atas kunjungan dakwah ini semakin bertambah karena pada akhirnya mengetahui bahwa Aswaja masih sangat kuat di Minangkabau. Tidak seperti yang didengar bahwa Sumatera Barat sudah terkontaminasi dengan salafi. Bahkan tidak seperti dugaan awal beliau berdua, bahwa awal salafi adalah di Sumatera Barat. Hal itu diperkuat dengan masih banyaknya ditemui surau tariqah dan pesantren-pesantren berbasis Aswaja. Isu-isu yang telah mengakar sebelumnya menyatakan bahwa peristiwa Perang Paderi adalah perang antara Aswaja dengan Salafi dan Wahabi, dari peristiwa tersebut Kiai Idrus beranggapan bahwa Sumatera Barat harus lebih diperkuat lagi keaswajaannya mengingat telah merebaknya Salafi dan Wahabi di Minangkabau. Namun anggapan itu semua terjawab setelah kunjungan dakwah ke Minangkabau.

Bagian dari agenda dakwah selama di Sumatera Barat adalah mengunjungi pesantren-pesantren, kemudian menelusuri khazanah-khazanah Islam yang lahir dari ulama-ulama asal Minangkabau. Pesantren yang sangat memegang kuat ke Aswajaan sebagai landasan akidah begitu merasa antusias ketika mendapat kunjungan dua ulama ini. Penuturan dari Gus Ahmad Ginanjar Sya’ban yang ikut mendampingi perjalanan beliau ialah bahwa ternyata tradisi aswaja di Minangkabau masih kuat. Kaya akan sejarah Islam, kaya dengan karya-karya intelektual dan kaya akan ulama yang perannya tidak hanya level Minang saja.

Diantara tempat-tempat yang dikunjungi oleh dua ulama tersebut yaitu daerah Payakumbuh, di sana beliau mengunjungi tempat kelahiran Syekh Said Mungka, mengisi kajian ke Aswajaan pada masyarakat, juga mengunjungi khazanah-khazanah intelektual, melihat kitab-kitab turats karanga Syekh Said Mungka . Selain itu beliau juga mengunjungi beberapa pesantren yakni Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan di Pariaman, Pondok Pesantren Ashabul Yamin di Lasi, dan MTI Canduang. Kehadiran beliau memberikan pencerahan serta penguatan yang luar biasa tentang Ahlusunnah wal Jama’ah.

Selanjutnya Buya Apria Putra menuturkan refleksinya terhadap kunjungan dakwah dua ulama ini, beliau menegaskan kembali bahwa Aswaja masih sangat kuat keberadaannya di Minangkabau, sumpah Sati Bukik Marapalam menjadi salah satu bukti untuk menguatkan paham Aswaja di Minangkabau ini, yang mana dari sumpah tersebut lahirlah falsafah “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.

Ada dua hal yang membuat Minangkabau dinilai memiliki basis modernis, yaitu peristiwa Perang Paderi dan munculnya tokoh-tokoh kaum Muda di Minangkabau, Klaim Wahabi terhadap Minangkabau tidak terlepas dari dua peristiwa di atas. Namun dibalik itu Akidah Ahlusunnah wal Jama’ah tetap menjadi pegangan utama dan tetap kuat keberadaannya di Minagkabau.

Baca Juga: Meneguhkan Ahlussunnah wal Jamaah (Asy’ari_Maturidi)

Setelah perjalanan dakwah beberapa waktu lalu Kiai Idrus Ramli dan Kiai Ma’ruf Khozin memiliki keinginan untuk kembali lagi ke Minangkabau dengan forum yang lebih intensif. Fokus tujuannya terhadap para asatiz/ asatizah. Tujuannya adalah mencetak pakar Aswaja, dan memperkuat kembali pemahaman Aswaja. Keberadaan Aswaja diharapkan mampu mempersatukan masyarakat, kehadirannya juga mampu menolak paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran akidah kita yang telah diwariskan oleh ulama terdahulu.[]

Latania Fizikri
Latania Fizikri, Alumni Institit Ilmu Al-Qur'an Jakarta (Khadim di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang