scentivaid mycapturer thelightindonesia

Secercah Cahaya Bersama Buya H. Amran A. Shamad; Sang Pecinta Kitab Kuning Sepanjang Hayat

Secercah Cahaya Bersama Buya H. Amran A. Shamad; Sang Pecinta Kitab Kuning Sepanjang Hayat
Ilustrasi/Dok. Gubahan atas dokumen Penulis

Kita adalah milik Allah dan akan kembali menghadap kepada-Nya. Pagi ini, kurang lebih jam 03.35 Wib, salah seorang guru kami sekaligus guru besar Tarbiyah Islamiyah, mata air ilmu dan pengetahuan anaksiak Tarbiyah sejak tahun 50-an hingga sekarang, Buya H. Amran A Shamad, telah dipanggil menghadap Allah Swt.

Beliau adalah murid langsung dari Syekh Sulaiman Arrasuli, penggagas Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan juga pernah mengabdikan dirinya selama beberapa tahun sejak tahun 1950-an sebagai salah seorang pengajar dan guru tuo di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang dan terakhir di Madrasah Tarbiyah Islamiyah at-Taqwa, III Kampuang, Canduang, sejak tahun 2003-an.

Dalam kesehariannya, beliau menghabiskan waktunya untuk mengaji, memuthala’ah kitab, serta mengajarkannya kepada anaksiak Tarbiyah lintas generasi. Tapi sejak tahun 2007 akhir, karena faktor usia, beliau lebih banyak menghabiskan waktu mengajarnya di rumah beliau sendiri, di daerah Kubu Sudut, Canduang.

Alhamdulillah, kami dan beberapa orang kawan anak siak lainnya berkesempatan untuk bertalaqqi secara langsung kepada beliau pada kisaran tahun 2007-2009-an untuk mendedah beberapa kitab klasik yang menjadi hobi dan spesialisasi beliau sejak lama, yaitu Ilmu Fikih, Nahwu dan Mantiq. Masih terkenang betapa indahnya masa-masa belajar bersama beliau.

Baca Juga: 2017-2018 Tahun Duka bagi Minangkabau

Setiap beberapa malam dalam seminggu, bakda Isya, kami datang ke rumah beliau untuk sekadar mengharap syarahan beliau terkait ilmu-ilmu tersebut dan selama itu juga kami tidak pernah melihat sekalipun guratan capek serta letih di wajah beliau saat mengajar. Beliau selalu menyambut kami dengan senang hati dan senyum tersimpul di wajah.

Seolah-olah mengaji kitab itu sebagai sarana buat beliau untuk mengistirahatkan diri serta bernostalgia dengan pengalaman-pengalaman masa lalunya. Itulah sebabnya selama mengikuti pengajaran beliau, kami tidak pernah bosan dan mengantuk, karena beliau mengajar ikhlas untuk ilmu, pengetahuan dan juga kemajuan Tarbiyah Islamiyah.

Salah satu keunikan beliau dalam mengajar adalah tidak pernah memberikan jawaban “bulat” dan “putuih” tentang suatu persoalan di awal penjelasan, tapi beliau mengajak kami untuk berpikir terlebih dahulu secara bersama serta menggunakan nalar masing-masing untuk memperoleh makna yang dimaksud oleh pengarang kitab.

Tidak jarang juga kajian kami harus berhenti beberapa saat karena “musykil-musykil” yang terasa aneh di sepanjang teks kitab yang dibaca. Hal ini bukan berarti beliau tidak mengetahui jawabannya, tapi sekali lagi, beliau hanya ingin mengajarkan kepada kami betapa sulitnya melakukan takhrij al-makna dari sebuah ibarat kitab.

Hal ini juga yang secara tidak langsung, mengajari kami agar tidak tergesa-gesa dalam menjawab suatu persoalan, apalagi terkait ajaran agama, sebelum menelaahnya secara teliti nan mendalam. Beliau mengajari kami akan betapa berharganya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan. Hanya Allah yang akan membalasi jasa dan amal jariah beliau.

Salah satu pesan yang sempat beliau, Buya H. Amran A Shamad, sampaikan kepada kami ketika hendak berangkat melanjutkan pendidikan di Jakarta kurang lebih 8 tahun yang lalu adalah “jan sampai barubah rono katiko di nagari urang, pacik arek kaji dan amalkan!” (Jangan sampai ketika sampai di negeri orang berubah sikap dan kepribadian, pegang teguh ilmu yang sudah dipelajari dan amalkan!).

Di kesempatan lain beliau juga pernah berpesan, menuntut ilmu itu ibarat makan sembari mengunyah daging, jika kunyahnya tidak begitu lumat, maka akan membuat sakit perut orang yang memakannya. Dalam artian beliau menyemangati kami agar tidak tanggung-tanggung dalam menuntut ilmu, karena itu akan membuat “penyakit” baik untuk diri pribadi ataupun orang lain.

Akhirnya tidak ada kata yang bisa kami ucapkan selain terima kasih Buya atas ilmu yang telah engkau ajarkan. Kami bersaksi bahwa engkau adalah orang baik dan loba terhadap ilmu dan pengetahuan. Selamat jalan wahai guru, murabbi ruhina, semoga Allah menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya. Amien![]

Lahul Fatihah..!

* Tulisan ini pernah dimuat di halam Facebook penulis.

Yunal Isra
Alumni MTI Canduang, Pengajar di Darus-Sunnah, dan Peneliti di El-Bukhari Institute