scentivaid mycapturer thelightindonesia

Sejak Kapan al-Azhar Menjadi Kiblat Keilmuan Islam?

Sejak Kapan al-Azhar Menjadi Kiblat Keilmuan Islam?
Foto Penulis bersama gurunda, Kiai Azaim Ibrahimy pada tahun 2019 yang lalu di Universitas al-Azhar Mesir

Kiblat Keilmuan Islam Kiblat Keilmuan Islam Kiblat Keilmuan Islam

Catatan Redaksi: Seri tulisan seputar Universitas al-Azhar dan para Azahariy-nya dimaksudkan untuk memeriahkan acara Halaqah Online Anak Siak #3. Halaqah ini bertema “Menggelisahkan Peran Anak Siak Al-Azhar Mesir di Masyarakat” pada Sabtu, 29 Agustus 2020, jam 21:00 WIB di kanal youtube Kaji Surau TV.

Oleh Syihab Syaibani (Beben)

Pertanyaan yang agak rumit. Sebab harus menoleh ke belakang; melihat sejak kapan al-Azhar melahirkan bintang gemintang ulama yang ilmunya diteguk oleh umat Islam sepanjang masa ke masa.

Muiz Lidinillah memulai membangun al-Azhar hari Sabtu bulan Jumadil Awal tahun 359 H (970 M) dan pembangunan itu selesai tanggal 7 Ramadhan 361 H atau 22 Juni 972 M.

Ketika itu tentu al-Azhar masih belum menjadi kiblat keilmuan al-Azhar. Sebab pusat keilmuan Islam masih terpusat di Baghdad dengan mahligai keindahan bayt al-Hikmah-nya dan Andalusia yang mempesona dengan ulamanya. Al-Azhar masih kanak-kanak untuk disebut sebagai kiblat keilmuan.

Meskipun demikian, al-Azhar telah memulai halakah-halakah keilmuannya dengan mengajarkan kitab-kitab Mazhab Syiah Imamiyah. Al-Maqrizi, murid kesayangan Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kitab yang pertama kali diajarkan di al-Azhar adalah kitab matan fikih syiah, al-Iqtishar. Pengajian di al-Azhar tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga ada majelis khusus untuk para perempuan, baik perempuan kerajaan maupun perempuan umum.

Berabad kemudian, Baghdad dan Andalusia diambang kehancuran perang. Para warga termasuk ulama banyak yang melarikan diri. Tentara Mongol menghancurkan dan meluluhkan lantakkan Baghdad beserta perpustakaan Besarnya; Bayt al-Hikmah. Buku-buku yang ada di dalamnya dibuang ke sungai. Sayang sekali tidak ada PDF yang bisa menjaga kitab-kitab yang dibuang itu. Bahkan bukan cuma itu, sekitar sejuta orang dibunuh oleh pasukan jahannam kaum Mongol. Syekh Usamah Sayyid Azhari sampai mengatakan bahwa kejadian itu merupakan musibah terbesar dalam sejarah manusia setelah banjir besar yang menimpa kaum Nabi Nuh. Andalusia juga begitu. Menemui ajalnya. Orang-orang dibunuh, dibantai dan disiksa sepuasnya. Kedua pusat keilmuan itu pun runtuh.

Baca Juga: Rukun Azhar Menurut Dr. Jamal Faruq Daqqaq

Pada masa Saladin al-Ayyubi al-Syafii al-Asy’ari, beliau menciptakan madrasah-madrasah di Mesir. Jumlahnya mencapai puluhan. Tujuannya tak lain untuk menandingi al-Azhar yang pada masa itu masih memegang erat pemahaman Syiah.

Al-Azhar akhirnya ditutup selama hampir seabad. Lockdown yang amat lama sekali. Akan tetapi, madrasah-madrasah yang dibuat oleh Saladin di Mesir tetap berjalan sebagaimana biasa. Hingga pada suatu hari, al-Azhar dibuka kembali.

Imam Suyuthi mengatakan:

وقد غدا الأزهر منذ أواخر القرن السابع أي منذ غلق معاهد بغداد وقرطبة كعبة الأساتذة والطلاب من سائر العالم. وغدا أعظم مركز للدراسات الإسلامية العامة حتى أطلق عليه في عصر الممالك العصر الذهبي للأزهر

“Sungguh al-Azhar di akhir abad ke tujuh, yaitu sejak ditutupnya madrasah-madrasah Baghdad dan Cordoba (Andalus), al-Azhar telah menjadi kiblat para ulama dan pencari ilmu di seluruh persada bumi. Dia telah menjadi pusat pembelajaran Islam secara umum sampai-sampai disebutkan bahwa al-Azhar yang ada pada masa Mamalik itu sebagai masa keemasan bagi al-Azhar.”

Pernyataan itu tidaklah berlebihan. Sebab akhir abad ketujuh, memang banyak bermunculan ulama-ulama kibar yang mengunjunginya al-Azhar atau lahir di sana. Allamah Ibnu Khaldun menginjakkan kakinya di teras al-Azhar sekitar pada tahun 783 H. Di al-Azhar beliau menuliskan beberapa karyanya. Abad ketujuh muncul juga ulama sekaliber Imam Ibnu Hajar Asqalani, Imam Mahalli, Badruddin Zarkasyi, dan lain-lain.

Ibnu Mandhur, seorang ulama lughah yang memiliki kitab fenomenal; Lisanul Arab yang mencakup sekitar 80 ribu akar kata bahasa Arab, menuliskan kitabnya di al-Azhar. Fairruzabadi sempat menuliskan kamusnya yang fenomenal, Qamus al-Muhith, di al-Azhar. Demikian pula al-Damamini dan Ibnu Aqil, dua pakar bahasa kenamaan yang sempat mengajar di al-Azhar. Imam Murtadha al-Zabidi menulis kitab Tajul Arus, Syarah Qamusnya Fairuzabadi juga di al-Azhar. Demikian ditulis dalam al-Azhar fi Alfi Am. Al-Azhar, lautan ilmu lughah. Para ulama lughah mencari keberkahan dengan menulis kitabnya di sana.

Syaikhul Azhar, Maulana Ahmad Thayyib mengatakan:

فمن المعلوم تاريخا: أن مركز الثقل في تراث المسلمين كان في بغداد، وفي بلاد فيما وراء النهرين، وأن زعيم المغول دمر بجيشه الوثني تراث المسلمين في هذه البلاد، ومحاه من الوجود عام ٦١٦ ه – ١٢٢٠ م، ثم جاء حفيده هولاكو عام ٦٥٦ ه – ١٢٥٨ فدمر بغداد برجالها ونسائها واطفالها ومدارسها ومكتباتها.

ولك أن تتساءل: أين قدر لهذا التراث أن ينبعث ويتماسك من جديد، ويستعيد دوره في حماية أمة بحجم أمة المسلمين؟

والإجابة التي لا يعرف التاريخ إجابة غيرها: إنه الأزهر الشريف وعلماؤه وأروقته، ولولاه لأصبحت الأمة بلا رأس، وأصبح اندماجها في الحضارات الأخرى وانسحاقها في تراثها أمرا محتوما تفرضه عوامل التطور وحركات التاريخ

“Sudah diketahui dalam sejarah bahwa pusat besar turast umat Islam di Baghdad dan di Bilad fi ma Waraa al-Nahr (Transoxiania). Panglima Mongol mengancurkan turas umat Islam. Meluluh lantakkan Baghdad, rakyatnya, anak-anak kecil dan perempuan di dalamnya, beserta perpustakaannya.”

“Kalian bisa bertanya-tanya: “Di mana turas mampu kembali dan dapat dicengkeram kembali seperti semula serta mengembalikan perannya untuk menjaga umat Islam?”

“Satu-satunya jawabnya yang diketahui oleh sejarah: Ya. Dialah al-Azhar, ulamanya, ruwaq-ruwaqnya. Tanpa al-Azhar, umat Islam akan menjadi umat tanpa kepala, dan keberadaannya dalam peradaban-peradaban dam keterbelakangan umat Islam dalam turastnya menjadi sebuah kenyataan yang tak bisa dielakkan tanpa al-Azhar yang bisa dibuktikan dengan aspek-aspek sebuah kemajuan dan pergerakan sejarah.”

Setelah itu, syaikhul Islam wal al-Azhar melanjutkan dan mengutip perkataan Zaki Najib Mahmud, Filsuf modern.

“Barangkali para pembaca mengira saya sedang membanggakan peran madrasah ini, atau memujinya melebihi batas. Saya akan mengutip perkataan filsuf Mesir yang dikenal dengan ensiklopedisnya, kepakaran dan penggabungannya antara dua kebudayaan Barat dan Timur.”

“Peradaban Islam datang dan tiap muslim mengetahui bahwa sumbangsih Mesir bagi peradaban Islam. Sekiranya tidak ada sumbangsih dan peran al-Azhar pada abad 12, 13 dan 14 H, tidak akan ada turast Arab Islam. Di mana kita menemuinya sementara Tartar membakar turas Islam dan Andalusia telah hilang di tangan orang-orang yang berperang. Akan tetapi al-Azhar bersegera mengumpulkan kembali turast itu sebelum hilang. Dikumpulkan kembali. Tapi pengumpulan apa yang dimaksud? Yaitu tidak sekadar mengumpulkan, melainkan menciptakan hal yang baru dan tujuan.”

Qultu: Itu bisa disaksikan gencar keilmuan di zaman Ustmaniyah di al-Azhar. Para ulama Azhar berlomba-lomba membuat kitab matan, syarah, hasyiah, taqrir di fan-fan keilmuan yang bermacam-macam. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan bahwa zaman itu adalah zaman penghasyiahan sebuah fan ilmu. Syekh Athhar, syekh Mallawi, syekh Amir Kabir, syekh Baijuri, syekh Sujai, dan ribuan nama lainnya menghiasi dinding peradaban Islam hingga saat ini.

Baca Juga: 1080 Tahun Al-Azhar dan Hubungan Ilmiahnya dengan Nusantara

Jika dilihat di sembilan belas, abad dua puluh dan dua satu, kita akan menemukan seabrek nama-nama ulama yang telah menjaga agama ini yang pernah menghirup udara dan debu al-Azhar. Di Mesir, kita menemui Syekh Bakhit, Syekh Musthafa Imran (guru Syekh Azhar, Ahmad Thayyib, Syekh Hasan Syafi’i dan Syekh Muallim Syekh Husam). Di Syiria, kita menemukan Syekh Hassan Hanabakeh, Syekh Buthi, Syekh Wahbah Zuhail, Syekh Nurudin Ithr. Di Tunisia, kita temukan Syekh Kimtir, Syekh Jamiah Zaitunah sekarang. Di Indonesia, Syekh Nawawi Bantani al-Azhary, Syekh Mahmud Yunus, Syekh al-Habib Muhammad Quraish Shihab dan lain-lain.

Jika ditelusuri lagi, akan banyak kita temukan. Namun, sebagaimana bintang-gemintang di langit sulit dihitung, demikian pula para ulama al-Azhar.

وامدح بأمدح ما في الشعرِ أَزهَــرَنَا
فأمدح الشعر عن أوصـافه عــجــزا!

Pujilah al-Azhar kita dengan pujian yang maha memuji yang terdapat dalam sebuah syair

Paling memujinya syair telah lemah dalam menyifati al-Azhar! [الشيباني]

Paling terpenting bukan bagaimana kita hanya membanggakan al-Azhar, tapi yang jauh lebih penting dari itu, bagaimana al-Azhar bisa bangga kepada kita. Dengan apa? Menjaga turast-turast yang mereka tinggalkan kepada kita dengan memahaminya dan menyelam dalam samudera rahasia-rahasianya.

Hari ini ulang tahun al-Azhar yang ke 1080 tahun. Tepatnya pada 7 Ramadhan.Selamat ulang tahun, sayyidina al-Azhar![]

Kiblat Keilmuan Islam

Sumber:
Al-Azhar fi Alfi Am
Al-Azhar wa Dauruh fi Nasyr Tsaqafah

Madinatul Buuts, 30 April 2020

Syihab Syaibani (Beben)
Mahasiswa al Azhar, Jurusan Dirasat Islamiyah. Alumni Ponpes Sukorejo, Situbondo, Jatim