scentivaid mycapturer thelightindonesia

Sejarah PERTI Dilihat dari Aceh

Sejarah PERTI Sejarah PERTI Sejarah PERTI Sejarah PERTI


Oleh Rozal Nawafil

Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau yang saat ini disingkat Tarbiyah-PERTI merupakan organisasi Islam yang menjadi benteng Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja/Sunni) khususnya Mazhab Syafi’i di Indonesia. Tarbiyah-PERTI hadir dengan tugas besar menjaga pokok ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, penjaga gawang sunnah Nabi yang merupakan firqah terbanyak (assawadul a’zham) mayoritas kaum muslimin (‘ammah al muslimin) di dunia. Begitupun tugas menjaga ajaran Mazhab Syafi’i, mazhab moderat yang disusun oleh salaf pembela sunnah dan hadits (Nashirussunnah wal Hadits), al-Imam Asysyafi’’i sebagai mazhab yang dipilih oleh ulama-ulama di Nusantara dari awal penyebaran Islam sampai saat ini sebagai mazhab fiqih jumhur masyarakat muslim terbanyak di dunia (Nusantara). Sunniyah Syafi’iyah lah sebenarnya kaum moderat. Mazhab Hanafi pada dasarnya adalah mazhab rasionalis, mazhab Maliki adalah tradisionalis, mazhab Syafi’i adalah moderat, dan mazhab Hanbali adalah fundamentalis.Tarbiyah-PERTI hadir dengan PR besar mengajarkan ajaran Syafi’iyyah yang sebenar-benarnya di tengah-tengah upaya penyimpangan dan pengaburan ajaran Imam Syaf’i.

Tarbiyah-PERTI memiliki sejarah panjang dan telah mengalami pasang naik dan pasang surut bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Pendirian Tarbiyah-PERTI diawali dengan berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Candung, Agam, Sumatera Barat oleh Syaikh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) pada 5 Mei 1928. Sejatinya pendirian MTI Canduang merupakan upaya memodernisasikan lembaga pendidikan Sunniyah Syafi’iyyah milik kaum tua yang sebelumnya dimulai oleh Syaikh Abbas dengan mendirikan Arabiyah School di Ladang Lawas, Bukittinggi pada tahun 1918 dan Islamiyah School di Alur Tajungkang, Bukittinggi pada tahun 1924 untuk menandingi gencarnya gerakan pengembangan lembaga pendidikan milik kaum muda di Sumatra Barat. Setelahnya Inyiak Canduang memodernisasi Surau Baru Candung yang telah didirikan sejak Tahun 1908 dengan merubah cara berhalaqah di surau menjadi berkelas madrasah dengan sistem dan sarana pendidikan modern bernama MTI.

Berdirinya MTI Candung kemudian memunculkan MTI-MTI lain di tempat yang berbeda. Hal itu ditandai dengan munculnya MTI-MTI lain yang merujuk dan berafiliasi ke MTI Candung yaitu MTI Jaho di Padang Panjang yang dipimpin oleh Syaikh Muhammad Jamil Jaho kemudian disusul dengan berdirinya MTI Tabek Gadang Payaumbuhan oleh Syaikh Abdul Wahid Saleh dan MTI Batu Hampar milik Syaikh Arifin. Setelahnya muncul MTI-MTI lain yang dipimpin oleh para ulama kaum tua (Sunniyah Syafi’iyyah).

Setelah kemunculan MTI-MTI di Sumatra Barat, Inyiak Canduang menginginkan setiap MTI terkoneksi satu sama lain. Sehingga didirikanlah Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) juga pada tahun 1928. Selanjutnya, timbullah keinginan dari Inyiak Canduang dan ulama kaum tua lainnya untuk menjadikan PMTI sebagai organisasi yang tidak hanya mengurus MTI-MTI, melainkan juga untuk menaungi, menampung, mempersatukan, dan menjadi wadah untuk menghimpun seluruh ulama-ulama Sunniyah Syafi’iyyah yang sebagian besar mereka ialah hasil didikan Al Haramain Wasysyarifain (Makkah dan Madinah) sebelum berdirinya Saudi Arabia pada tahun 1932.

Dengan bantuan Ketua PMTI yang juga alumni generasi pertama dari MTI Canduang Sultha’in Abdullah Dt.Rajo Sampono dan Dhamrah (Murid Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli), proses penyatuan pandangan ulama-ulama kaum tuo di daerah-daerah di dalam pertemuan besar atau konferensi kaum tuo akhirnya bisa dilakukan dengan mudah. Alhasil, pada tanggal 19 – 20 Mei 1930, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli kembali mengumpulkan ulama-ulama Sunniyah Syafi’iyah (kaum tuo) yang juga notabenenya adalah pimpinan-pimpinan surau untuk membicarakan masa depan MTI dan dakwah Sunniyah Syafi’iyyah.

Baca Juga: Perti

Di antara yang hadir dalam konferensi itu ialah Syaikh Sulaiman Arrasuli Canduang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syaikh Muhammad Jamil Jaho, Syaikh Arifin Batuhampar Payakumbuh, Syaikh Abdul Majid Koto Nan Gadang Payakumbuh, Syaikh Abdul Wahid as-Shalihi Tabek Gadang, Syaikh Jalaluddin Sicincin Payakumbuh, Syaikh Muhammad Yunus Tuanku Sasak Pasaman, Tuanku Alwi Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syaikh Muhammad Sa’id Bonjol dan lain-lainnya. Umumnya ulama yang hadir itu pernah belajar dengan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka. Mereka melaksanakan konferensi besar di Surau Tangah (surau milik almarhum ayahnya Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli). Dengan musyawarah dan mufakat, akhirnya pada 20 Mei 1930, disepakatilah untuk merubah PMTI menjadi organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah disingkat PTI dengan Sultha’in sebagai ketua pertama dan Ghazali P. Tanjung sebagai sekretaris. PTI saat itu berkantor pusat di Bukittinggi.

Inyiak Canduang dan ulama kaum tuo lainnya pada saat itu menyatukan pandangan untuk membangun diskursus Islam tanpa mesti membuang kemaslahatan adat di dalamnya. Hal itu berbanding terbalik dengan gerakan keislamanan yang diusung oleh Kaum Muda yang mengarah kepada penghilangan ruh kebudayaan dan mengesernya dengan dasar kembali kepada sumber yang menurut mereka autentik. Konferensi Kaum Tua menyatakan kebulatan tekat untuk melanjutkan perjuangan atas nama mazhab Syafi’i dan mendasarkan pendidikannya pada pelestarian dan penguatan harmoni antara adaik nan kawi, syarak nan lazim melalui PTI.

Melegendanya simbol pertalian adat dan syara’ dalam adagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (adat bersendi syariat dan syariat bersendi kitab Allah SWT) tidak terlepas dari peran Inyiak Canduang dan Ulama-Ulama Kaum Tuo lain yang tergabung dalam PTI yang mensyiarkannya seantero Minangkabau. Simbol pertalian adat dan syara’ ini sebelumnya merupakan konsensus antara Kaum Adat Pagaruyuang dengan Kaum Paderi yang menurut sebagian sejarahwan adalah para Ulama yang pernah belajar agama Islam kepada ulama-ulama yang berasal Pedir, sebuah daerah di Aceh yang kini bernama Pidie. Ulama-ulama Pedir saat itu diberi tugas oleh Sultan Ali Mughayatsyah untuk mengembangkan Islam ke pesisir barat Sumatra mulai dari daerah yang disebut Blang Pedir atau kini disebut Blangpidie hingga ke Minangkabau. Murid dari ulama-ulama Pedir inilah yang kemudian pergi ke Tanah Suci untuk berhaji dan sempat berlabuh atau singgah di daerah Labuhan Haji, Aceh untuk menyiapkan bekal ilmu agama sehingga disebut Jamee atau Tetamu dari Minang yang berhaji dan akhirnya kembali ke Minangkabau dan membentuk aliansi Harimau Nan Salapan. Konsensus ini menjadi intisari dari Plakat Puncak Pato di Bukit Merapalam, Tanah Datar, Sumatra Barat (Plakat perdamaian kaum adat dan kaum paderi serta pernyataan bersama-sama memerangi penjajah Belanda).

Misi PTI pada awalnya adalah untuk membina, memperjuangkan dan mengembangkan madrasah-madrasah kelanjutan surau atau pesantren-pesantren yang dikelola oleh ulama-ulama Aswaja yang bermazhab akidah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari, berfiqih mengikuti mazhab Imam Muhammad bin Idris Asysyafi’ie dan bermazhab tasawuf kepada Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali serta juga beramaliyah thariqat mu’tabar. Selain itu, pertemuan besar Candung juga merumuskan kesatuan pola dari madrasah-madrasah yang ada baik nama, sistem pengajaran dan kurikulum.

Madrasah-madrasah yang terhimpun di bawah PTI yaitu MTI-MTI ini tersebar di berbagai wilayah di Sumatera, seperti Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Aceh dan Tapanuli. Menurut Buya Sirajuddin Abbas pada Kongres PERTI 1954 di Jakarta, terdapat lebih kurang 360 MTI yang tersebar di Sumatra dan sekitarnya. Sebuah jumlah fantastis untuk sebuah Madrasah atau pondok pesantren di masa itu.

Baca Juga: Sejarah Ringkas Berdirinya PERTI: Penghimpun Ulama

Kurikulum pelajaran agama yang dikembangkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah melalui MTI atau nama-nama lain seperti Dayah di Aceh ialah kurikulum sesuai dengan halaqah-halaqah di Masjidil Haram. Diantaranya dengan mengajarkan kitab-kitab Fikih, Tasawuf, Nahwu, Balaghah, Ushul Fiqh, Mustalah Hadits, Tafsir, Hadis, Arudh Qawafi, dll. Kitab-kitab ini dipelajari dalam jangka waktu sekitar 7 tahun.

Penulis : Rozal Nawafil bin Nawawi Al Asyi
Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Wakil Ketua ROHIS IPDN Kampus Kalbar, Wakil Ketua II PD OPI Aceh

Rozal Nawafil bin Nawawi
Rozal Nawafil Penulis merupakan ASN alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) asal Blangpidie yang diamanahkan menjadi Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif Pengurus Besar Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (PB KMTI), Wakil Ketua PD OPI Aceh, Sekretaris Balitbang Aceh Culture and Education dan anggota Bidang Informasi, Komunikasi dan Penerbitan PC PERTI Aceh Barat Daya