Tiada mukaddimah yang pantas selain iringan doa pada Sang Maha Pengasih lagi Penyayang bahwa tanggal 1 Agustus 1970 adalah hari wafatnya Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi. Sudah 50 tahun semenjak kepergian beliau. Setelah kepergian beliau (Inyiak Canduang) mewariskan kekayaan keilmuannya kepada kita murid-muridnya. Serta, beliau juga memberi pesan (wasiat) mengelola “bagaimana harta ini (red: ilmu) dipergunakan”.
Beliau berwasiat, “untuk selalu berpegang teguh di dalam persoalan ushul al-din (akidah) menurut pemikiran atau paham Ahlusunnah wal Jama’ah; di dalam persoalan furu’ (syari’ah) menurut pemikiran atau mazhab yang 4 (empat) kecuali dalam persoalan fatwa dan menghukum. Dalam hal ini (fatwa dan menghukum) menurut ulama al-fudhala’, yaitu para ulama al-Syafi’iyyah, karena sesungguhnya kondisi masyarakat Indonesia bermazhab kepada mazhab tersebut.”
Wasiat itu disampaikan beliau kepada murid-muridnya (anak siak) sesuai yang termaktub dalam ijazah tamat belajar MTI Canduang. Nah, katakanlah itu bukan wasiat. Tapi, dalam arti yang begitu falsafah (mendasar) adalah suatu harapan. Harapan (harok) dari beliau kepada muridnya agar selalu berada dalam jalur keilmuan yang telah ditempuh beliau.
Seorang buya sendiri diibaratkan sebagai panaruko (pembuka lahan baru) yang mencari harta dengan manaruko. Hasil dari manaruko adalah harta tambilang basi. Secara proses ini dapat dikatakan bahwa seorang buya telah membangun silsilah (sanad) ilmu yang serupa dengan pusako tinggi. Kenapa serupa? Karena pada prinsipnya adalah sama-sama menyelamatkan.
Inyiak Canduang telah menyelamatkan sekian banyak generasi masa depan. 80 angkatan telah tamat di madrasah yang dibangun beliau. Menyelamatkan generasi dari perlakuan mungkar. Alhasil, anak siak menjadi orang-orang yang berperilaku ma’ruf serta pribadi yang paham agama (tafaqquh fiddin).
Setengah Abad Merindu
Apakah jawaban anak siak atas kepulangan buya-buyanya? Mereka menjawab dengan kata ‘rindu’. Menurut saya itu adalah kata yang paling cinta. Kata ‘rindu’ dan hal-hal yang serupa dengan demikian adalah hal yang lumrah yang bisa berucap dari mulut mana saja.
Terus apa lagi? Apa yang akan diperbuat? Kalau hanya sekadar rindu sepasang kekasih juga demikian. Sekarang, bagaimana kita merindu kepada Syekh Sulaiman Arrasuli yang tidak kita temui? Kepada Inyiak Canduang pendekar Islam di Minangkabau itu?
Sependek yang saya tahu, masih segilintir orang-orang yang menjaga apa yang dititipkan Inyiak Canduang kepada kita. Perlu diketahui tanpa orang segelintir ini, bisa dibilang keberadaan beliau akan meredam. Nah, apakah kita akan selamat hingga 100 tahun haul? Hal inilah bersama-sama perlu untuk sadar. Segelintir orang-orang tadi berjuang dan berkorban waktu, tenaga. Sementara kita, cuman berkorban kuota internet untuk mengucapkan kata-kata suka cita. Tanpa diingatkan mungkin kita lupa. Nah, kalau sekadar berbilang “Peringatan haul Inyiak Canduang” kepala daerah juga bisa. Kita sebagai penerus-penerusnya (penerima sanad keilmuannya) mesti lebih dari hal-hal lumrah tadi.
Kita mesti cemas, karena tantangan zaman semakin curam. Apabila segelintir tadi tidak bertambah, percayalah ke depannya kita akan jatuh dan hilang dilahap waktu.
Inyiak Canduang banyak meninggalkan warisan keilmuan. Ada belasan kitab yang beliau tinggalkan dalam bahasa Minang beraksara Arab-Melayu. Ada beberapa kitab/buku yang fenomenal sebut saja “Nasihat Siti Budiman: Pedoman Hidup di Alam Minangkabau”, “Pertalian Adat dan Syarak” dan kitab Tauhid “al-Aqwal al-Mardiyah”.
Keharusan sebagai Anak Siak
Utama sekali sebagai awal adalah semangat kolektivitas. Mari uda-uda, uni-uni, dan handai tolan semua. Semangat heroisme, spiritualisme, dan intelektualisme Inyiak Canduang tidak bisa berlanjut sendiri. Kita memang tidak sebanding dengan Inyiak Canduang jika mengukur diri seorang. Akan tetapi, secara kolektif (kita) semangat tadi bisa diraih hingga kita akan saling begandengan tangan dengan beliau. Amin.
Leave a Review