“Seorang guru mesti menulis. Dengan menulis sesungguhnya guru sedang ‘melahirkan’ anak yang akan tetap kekal.”
Ketika mondok di Perguruan Thawalib Padang Panjang, buku yang kami pelajari dalam ilmu Nahwu dan Sharaf adalah Mabadi fi Ilm an-Nahw wa Sharf karya Syekh Abdurrahim Manaf, seorang ulama asal Pariaman Sumatera Barat. Untuk Ilmu Fiqih, buku yang dipelajari adalah al-Fiqh al-Wadhih karya Mahmud Yunus, seorang ulama asal Sungayang Tanah Datar Sumatera Barat. Untuk Ilmu Ushul Fiqih, buku yang dipelajari adalah Mabadi Awwaliyyah yang dilanjutkan dengan as–Sullam lalu al–Bayan, yang ketiga-tiganya ditulis oleh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, seorang ulama asal Sumpur Tanah Datar Sumatera Barat. Untuk Hadits dan Ilmu Hadits, buku yang dipakai adalah al-Ahadits al-Mukhtarah dan Musthalah Hadits yang ditulis oleh Buya Mawardi Muhammad, seorang ulama asal Kubang Putih Agam Sumatera Barat.
Ketika bertemu dengan teman-teman yang mondok di pesantren lain, lalu bincang-bincang tentang buku yang mereka pelajari, rata-rata buku yang mereka pakai adalah buku-buku turats yang ditulis oleh ulama dulu dari Arab. Untuk Nahwu misalnya, mereka pakai Matan Ajurrumiyyah. Untuk Fiqih mereka pakai al-Iqna’, I’anah Thalibin, Hasyiyah Bujairami dansebagainya. Untuk Ushul mereka pakai al-Waraqat dan syarah-syarahnya. Untuk hadits mereka pakai al–Arba’in an–Nawawiyyah. Untuk Ilmu Hadits mereka pakai Baiquniyyah, Alfiyah al-‘Iraqi atau bahkan Tadrib ar–Rawi. Dan seterusnya.
Saat itu saya sempat merasa ‘minder’. Kenapa pondok kami hanya mengajarkan buku-buku karya ulama ‘lokal’ saja? Kenapa kami tidak diajarkan ‘kitab’ seperti pondok-pondok lain? (Sebagian orang menggunakan istilah ‘kitab’ untuk buku yang ditulis ulama-ulama dulu. Sementara kitab yang ditulis oleh ulama zaman modern disebut ‘buku’).
Ketika kuliah di Al-Azhar, saya agak kaget. Ternyata buku yang digunakan di kuliah adalah buku yang ditulis oleh para dosen yang mengajar.
Untuk ilmu Mantiq, buku yang kita pelajari adalah Dhawabith al–Fikr karya Dr. Rabi’ al-Jauhari. Untuk ilmu Kalam, buku yang kita pelajari adalah karya Hawamisy ‘ala al-I’tiqad karya Dr. Thaha Hubaisy. Untuk hadits dan ilmu hadits, buku yang kita pelajari adalah karya Dr. ‘Athif, Dr. Sa’ad Jawisy, Dr. Musthafa Imarah dan lain-lain. Apalagi untuk ilmu Takhrij. Buku yang kita pelajari adalah buku yang dinilai sebagai buku pertama dalam ilmu ini dan ditulis oleh seorang maestro ilmu ini; Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah Saw yang ditulis oleh Dr. Abdul Muhdi Abdul Qadir.
Memang, kalau belajar (talaqqi) di Masjid (Jami’) Al-Azhar kita akan diajarkan kitab-kitab para ulama terdahulu. Untuk Ilmu Kalam misalnya, kita mempelajari al-Mawaqif karya al-Ijiy yang disyarahkan oleh asy-Syarif al-Jurjani. Kitab ini langsung diajarkan oleh punggawa mutakallim abad ini; Dr. Hasan asy-Syafi’i. Untuk Ilmu Ushul kita langsung mempelajari al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali yang langsung diampu oleh Syaikhul Azhar Dr. Ahmad ath-Thayyib (saat itu belum menjadi Syaikhul Azhar).
***
Saat bincang-bincang dengan mab’uts Azhar untuk Indonesia, saya baru menyadari kenapa Perguruan tempat saya belajar menggunakan buku-buku produk lokal. Dan kenapa juga Universitas (Jami’ah) al-Azhar menggunakan buku-buku yang ditulis oleh para dosennya sendiri.
Mab’uts tersebut yang juga alumni Fakultas Tarbiyah al-Azhar mengatakan, kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama dulu itu seharusnya dijadikan sebagai maraji’ (referensi), bukan bahan ajar. Kitab-kitab itulah yang mesti dirujuk oleh para guru dalam menulis bahan ajar dan menyajikan materi pembelajaran. Jadi, untuk bahan ajar mesti ditulis oleh guru yang bersangkutan. Kalau maraji’ dijadikan bahan ajar, lalu guru merujuk kemana?
Ada banyak keuntungan ketika bahan ajar ditulis langsung oleh guru yang mengajar :
Pertama, guru jadi lebih menguasai apa yang akan diajarkannya. Karena, seperti yang kita tulis sebelumnya, guru yang tidak memahami materi tidak akan bisa memahamkannya pada murid.
Kedua, guru lebih memahami tingkat pemahaman dan kecerdasan murid-muridnya. Dengan ia menulis sendiri bahan ajarnya, ia bisa menulis dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh para murid serta dilengkapi dengan soal-jawab, latihan-latihan dan contoh-contoh yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat setempat.
Ketiga, hal ini akan menjadi bukti nyata terhadap kompetensi yang dimiliki guru. Guru tidak hanya sebagai ‘penghubung’ antara murid dan ulama terdahulu tapi ia juga sebagai muhaqqiq, mudaqqiq, dan mulakhis karya-karya para ulama terdahulu. Ini artinya peran seorang guru menjadi sangat penting dan tak bisa dipandang sebelah mata.
Keempat, penghormatan murid kepada guru akan lebih tinggi karena buku yang mereka pelajari adalah karya gurunya sendiri. Di samping itu, ada kebanggaan tersendiri dalam diri murid ketika guru yang mengajar mereka bukan sekedar seorang pengajar tapi juga seorang penulis.
Kelima, dengan menulis buku, seorang guru sesungguhnya sedang ‘melahirkan’ anak yang akan tetap kekal, seperti ungkapan Ibnu al-Jauzi rahimahullah :
الكتاب ولد العالم المخلد
“Buku adalah anak seorang alim yang akan kekal.”
***
Kalau demikian, kenapa di Masjid (Jami’) al-Azhar diajarkan kitab-kitab turats, bukannya karya para ulama yang mengajarkannya?
Barangkali, inilah salah satu bukti bahwa al-Azhar itu menghimpun antara al–Ashalah dan al–Mu’asharah, antara Turats dan Tajdid, antara dulu yang baik dan sekarang yang lebih baik. Jami’ (Masjid) al-Azhar adalah simbol dari yang pertama, sementara Jami’ah (Universitas) al-Azhar adalah simbol dari yang kedua. Karena itu, untuk memperoleh ilmu al-Azhar kedua-duanya mesti dihimpun ; Jami’ dan Jami’ah.
Orang yang hanya berkutat dengan perkuliahan formal saja (Jami’ah) dan tidak mau datang dalam talaqqi-talaqqi di masjid (Jami’) sulit diharapkan menjadi alim yang muhaqqiq. Sebaliknya, orang yang hanya rajin talaqqi di masjid tapi enggan hadir di bangku perkuliahan, sulit diharapkan menjadi alim yang mu’tadil. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
***
Hanya sayangnya, apa yang telah dicontohkan oleh para ulama Minangkabau dulu, seperti Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdurrahim Manaf, Buya Mawardi Muhammad, Prof. Mahmud Yunus, dan seterusnya, tidak dilanjutkan oleh para ulama dan guru sekarang.
Mereka menulis buku itu dan mereka sendiri yang langsung mengajarkannya. Para guru saat ini hanya mengandalkan buku-buku mereka saja dan tidak berusaha mencontoh semangat mereka dengan menulis buku yang akan diajarkan kepada murid. guru-guru mesti menulis.
Para guru, mari menulis…
ن ، والقلم وما يسطرون
[Yendri Junaidi]
Leave a Review