scentivaid mycapturer thelightindonesia

Siapa yang Paling Berhak Berfatwa?

konfrensi press komisi majlis fatwa
Ilustrasi/Dok.Istimewa

Kegaduhan di ruang publik, terkait isu penistaan agama yang dilontarkan Ahok, si Petahana Calon Gubernur DKI Jakarta, tidak saja menyeret umat kembali meng-i’rab; dan membuka kembali tafsir Q.S. Al-Maidah: 51. Tapi peristiwa ini mengingatkan kembali akan suatu karya penting Imam Nawawi al-Bantani yang berjudul ãdab al-fatw; mufti; wal mustafti. Pesan dan kajian yang dipaparkan oleh Imam Nawawi ini semangkin penting, mengingat kegaduhan demi kegaduhan di Indonesia akhir-akhir ini tidak hanya disebabkan oleh intrik politik; dan komodifikasi agama semata. Tapi, kegaduhan beragama juga disebabkan oleh semakin kabur-nya batas-batas siapa yang berhak mengeluarkan fatwa, dan kriteria seperti apa yang harus dipenuhi oleh seorang mufti.

Terlebih lagi, muncul sebuah gugatan sarkastik kepada Majelis Ulama Indonesia, tidak hanya dari masyarakat awam. Bahkan Gus Mus pun mempertanyakan “MUI itu makhluk apa?” Ini artinya, penting kita eja dan pahami kembali pemikiran Imam Nawawi terkait kriteria mufti; dan adab yang mesti dimengerti oleh siapapun yang [ingin] menjadi produsen fatwa. Faktanya, fatwa tidak muncul sebagai sesuatu yang hampa peristiwa. Ia dirumuskan dalam konteks sosial. Selalu ada hal yang mendorong sebuah fatwa diproduksi. Karenanya tidak berlebihan jika fatwa diartikan sebagai sesuatu yang bersifat sosial. Karena fatwa sejatinya adalah respon terhadap persoalan sosial; ekonomi; politik; budaya yang dihadapi oleh umat. Tidak berlebihan jika Imam Al-Nawawi menyebut fatwa sebagai adzim al-khatr, kabir al-mawaqi, kasitru al-fadl. Ini menegaskan bahwa si-pembuat fatwa atau mufti sejatinya bukanlah orang awam, mereka sesungguhnya adalah pewaris para nabi. Mereka berfatwa karena memang harus berfatwa untuk meluruskan akidah; perilaku; dan orientasi kehidupan umat.

Baca Juga: Langgam Qiraa

Sementara itu, mengeluarkan fatwa oleh mufti merupakan fard kifayah. Ia wajib, tapi ada prinsip yang membatasinya. Misalnya, fatwa mestilah didasarkan pada sikap hati-hati atau ihtiyat. Tidak serampangan, dan reaktif. Sebab, sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Nawawi, bahwa mufti yang berfatwa tapi reaktif, dan serampangan tak ubahnya seperti orang “majnun” atau gila. Imam Nawawi menukilkan hadis dari Ibn Masud ra, individu yang berfatwa dalam banyak hal yang dimintakan fatwa, maka sejatinya ia adalah orang yang gila. Ini menegaskan bahwa fatwa tidak dapat dikeluarkan berdasarkan hukum permintaan (demand and supply laws). Tapi ulama yang menjadi pemegang hak otoritatif fatwa, idealnya mengeluarkan fatwa yang benar-benar dibutuhkan oleh umat. Bukan mengeluarkan fatwa yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok; orang per-orang untuk melegalkan ‘kepentingan duniawi’ semata. Barangkali dalam konteks inilah apa yang dikeluarkan oleh MUI, digugat oleh ulama tradisional lain seperti KH. Mustafa Bisri. Tentu tulisan ini, poin-nya bukan dalam hal ini. Tapi hal lain lah yang harus disigi:

“Siapa yang paling berhak berfatwa?” Ini pernyataan Imam Nawawi ketika memulai pembahasan kitabnya. Imam Nawawi menegaskan bahwa individu yang layak berfatwa adalah mereka yang benar-benar “shala” atau pantas; dan layak berfatwa. Kriteria layak atau tidaknya seseorang mengeluarkan fatwa didasarkan sepenuhnya pada kapabilitas; ilmu; dan derajat pengetahuannya. Imam Nawawi menulis: “tidak aku berfatwa hingga aku diminta oleh orang yang lebih tahu dariku.” Ini menegaskan bahwa seorang ulama dinyatakan layak tatkala ia mendapatkan pengakuan otoritatif dari ‘ulama lain yang memiliki derajat keilmuan yang lebih tinggi dan ia mampu secara korektif dan kritis menilai kemampuan ulama yang tersebut untuk mengeluarkan fatwa. Demikian, fatwa mestilah keluar dari ulama yang tak diragukan integritas keilmuannya melalui pengakuan komunitas ulama; bukan oleh penilaian publik apalagi ditunjuk oleh negara melalui nalar kekuasaan.

Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah Kembali pada Khittah

Imam Nawawi, di samping mengutamakan kriteria integritas keilmuan ulama. Menurutnya, integritas moral dan spritualitas ‘ulama juga menjadi kriteria penting dari mufti atau ulama yang [layak] berfatwa. Integritas moral atau wara’ ini sejatinya dinilai dari dua hal, yakni: ekspresi keagamaan; dan perilaku yang tampak dan ditampakkan di ruang publik. Masyarakat dan umat-lah sejatinya yang dapat mengevaluasi integritas moral ‘ulama yang berfatwa ini. Pada bagian lainnya, Imam Nawawi menguraikan syarat-syarat yang mesti terpenuhi oleh seorang mufti, dan syarat tersebut adalah: “muslim-mukalaf”; “memiliki maruah”; “faqih al-nafs” atau memiliki ilmu; “salim al-dzinni” atau sehat rohani; tentu yang paling penting ia menguasai metodologi penetapan hukum.

Menariknya, Imam Nawawi tidak diskriminatif dalam penetapan siapa yang layak mengeluarkan fatwa. Ia tidak membeda-bedakan “budak” atau ‘orang yang merdeka.” Asalkan dua kelompok ini memenuhi kriteria yang sudah disebutkan, maka layaklah mereka untuk mengeluarkan fatwa. Kendati demikian, ia menggarisbawahi, bahwa orang fasik, gemar berbuat maksiat, tidaklah layak mengeluarkan fatwa. Sementara itu, terkait apakah sifat adil juga menjadi kriteria? Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat. Satu kelompok, mewajibkan ulama yang adil. Tapi kelompok yang lain, tidak mewajibkan sifat adil ini. Karena al-adl adalah persoalan batiniah.

Baca Juga: Ulama dalam Konflik Sosial

Dalam aspek lainnya, Imam Nawawi, rahimallahu ta’ala, merujuk pandangan Imam al-Mawardi bahwa fatwa tidaklah boleh, dan layak dikeluarkan, dirumuskan dalam keadaan terpaksa. Pandangan Imam Al-Mawardi ini menjadi manhaj, atau pandangan yang dipegang teguh oleh mazhab Syafi’i. Uraian Imam Nawawi tidak berhenti pada kriteria ulama yang memiliki hak otoritatif dalam mengeluarkan fatwa. Tapi, ia juga telah berupaya mengkategorikan tipologi mufti. Menurutnya Imam Nawawi, ada dua tipe mufti, yakni: al-mustaqil dan ghairu al-mustaqil. Bentuk yang pertama, adalah ulama yang sangat paham dan arif dalam menggunakan dalil-dalil syariat, baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah, ijma’qiyas, dan apapun yang diproduksi dari sumber-sumber yang disepakati tersebut. Ulama ini, tidak hanya pandai menggunakan dalil, tapi juga harus handal dalam memahami “wujud al-dilalah” setiap dalil, baik melalui operasionalisasi ushu al-fiqhulm al-Qur’anal-HadistNasikh dan mansukh; ilmu Nahu; Ilmu Tasrif, bahkan ia harus memiliki perbendaharaan khilafiah dan kesepakatan ulama dalam bidang fiqh.

Bentuk yang kedua, “ghairu al-mustaqil”, adalah ulama yang tidak memenuhi syarat seperti ulama al-mustaqil. Mereka tidak mampu melakukan instinbath, melainkan hanya mampu menukilkan pendapat ulama melalui studi eksploratif terhadap pandangan ulama-ulama terdahulu. Imam Nawawi bahkan mengindentifikasi bahwa kebanyakan kalangan Hanafiah; imam Ahmad; dan bahkan Abu Daud lebih suka merujuk pandangan para sahabat ketika beropini dalam bidang hukum. Lantas, bagaimana relevansi pemikiran Imam Nawawi ini dengan posisi MUI, atau Majelis Ulama Indonesia? Ada dua persoalan mendasar yang layak diajukan terkait Majelis Ulama Indonesia, yakni: Pertama, komunitas yang memiliki otoritas menilai kinerja Majelis Ulama Indonesia di Indonesia belum jelas bahkan tidak ada sama sekali. Ini membuat Majelis Ulama Indonesia secara politis cenderung mendominasi, dan hegemoni dalam mengeluarkan fatwa. Kedua, bahwa Majelis Ulama Indonesia adalah produk kekuasaan Orde Baru, masih sulit ditampik. Meskipun saat ini para Ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia sudah pluralistik. Namun stigma bahwa MUI belumlah independen, masih sangat beralasan. Ini menuntut MUI untuk selalu independen, meski tahan segala tekanan termasuk gempuran dari kekuasaan dan kekuatan kapital yang terus menerus memperalat MUI untuk mengeluarkan produk-produk fatwa yang melayani kepentingan pemilik modal. Hal lain, biarlah umat dan masyarakat luas yang menilai bagaimana seutuhnya MUI di Indonesia.[]

*Tulisan ini sepenuhnya berpijak dan merujuk pada Kitab Karangan Imam An-Nawawi al-Damsiqi (1408 H), abad al-fatw wa al-mufti; wal mustafti. Terbitan: Dar al-Fikr, Damsiq.