scentivaid mycapturer thelightindonesia

Sikap Batin Masyarakat Minangkabau dalam Penyelesaian Masalah

Sikap Batin Masyarakat Minangkabau dalam Penyelesaian Masalah
Ilustrasi/dok. Istimewa

Masyarakat Minangkabau memiliki falsafah “awak samo awak” dalam penyelesaian masalah. Falsafah ini membagi hubungan manusia dalam ruang sempit dan luas, berdasarkan kedekatan lingkungannya.

Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Indonesia, tepatnya di pulau Sumatera bagian barat. Di Minangkabau ini sangat terkenal dengan falsafah yaitu Alam Takambang Jadi Guru. Menurut KBBI falsafah adalah anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat. Falsafah “Alam Takambang Jadi Guru menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau memahami alam layaknya seorang guru yang selalu mengajari dan mendidik masyarakat Minangkabau dalam proses kehidupannya.

 Pelajaran tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal saja. Dengan mengamati alam kita juga dapat mendapatkan berbagai pelajaran. Kita juga dapat mengambil hikmah dari fenomena alam semesta. Pribahasa, sebagai kumpulan hikmah juga jamak diambil dari fenomena alam semesta, misalnya saja padi yang selalu menunduk mengajari manusia untuk tidak sombong.

Falsafah alam Minangkabau yang disebutkan dalam bentuk pepatah membatin dalam diri masyarkat Minangkabau. Pepatah-pepatah itu bermakna sangat mendalam. Pembahasannya juga kompleks. Salah satu unsur alam Minangkabau,  yang menjadi pembahasannya, adalah manusia. Bagi masyarakat Minangkabau, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia selalu memerlukan manusia lain guna memenuhi kepentingan lahir maupun batinnya. Kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri itulah, membuat masyarakat Minangkabau memapankan konsep hidup dengan pola awak samo awak.

Pola hidup seperti itu hadir dalam setiap aplikasi kehidupan masyarkat Minang, termasuk dalam menyelesaikan masalah. Orang Minangkabau tidak suka berumit-rumit dalam menyelesaikan masalah. Dengan pola awak samo awak membuat masyarakat minang tidak menjadikan perkelahian sebagai solusi persoalan. Pola “awak samo awak” membuat orang minang, menyelesaikan masalah dengan beberapa metode; dengan babiliak ketek, babiliak gadang (berbilik kecil, berbilik besar).

Baca Juga: Bung Hatta Pendidikan Politik

Metode babiliak ini, membuat klasifikasi dalam berhubungan dengan sesama manusia. Orang Minangkabau tidak menyamaratakan hubungan dengan seluruh karib kerabatnya. Klasifikasi tersebut diukur berdasarkan lingkungan, mulai dari tingkat yang lebih kecil sampai ke tingkat yang lebih besar, seperti kerabat terdekat, kerabat jauh, kerabat sekaum, kerabat se-nagari, dan akhirnya barulah tingkat yang lebih umum, sesama orang Minangkabau. Seperti contoh jika seorang ingin menyampaikan sebuah masalah atau keluhan, hendaknya ia menyampaikan keluhan tersebut terdahulu kepada kerabat terdekat, agar kerabat terdekat bisa membantu dalam proses mengatasi sebuah permasalahan. Namun jika kerabat terdekat tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut, maka kerabat terdekat itulah yang akan menyampaikan kepada bilik besar yaitu kerabat yang jauh. Sehingga berbagai persoalan, baik itu keluhan atau permasalahan dapat diselesaikan dengan cara baik-baik, sesuai juga dengan lingkungannya.

Hal ini tentu menjadi kritikan untuk zaman sekarang, dengan orang-orang yang suka memperumit sebuah masalah. Dapat kita lihat sekarang banyak orang yang membesar-besarkan masalah melalui media sosial. Sebuah masalah yang pada dasarnya kecil, malah menjadi sorotan orang banyak. Sebagai contoh, orang lebih suka membuat status di media sosial dari pada langsung menyelesaikan masalahnya dengan orang yang bersangkutan. Tak jarang dengan mempublikasikan permasalahan di media sosial malah memancing emosi satu pihak lain, yang berkaitan dan tidak berkaitan. Tentu saja demikian tidak sejalan dengan semangat dan pola hidup awak samo awak di atas tadi.

Hubungan dengan pola “awak samo awak” di masyarakat Minangkabau ini demikian erat, karena dapat mengganti hukum formal yang ada di masyarakat Minangkabau. Demikian juga dapat mempererat tali silaturahmi dan meningkatkan keakraban. Sehingga tidak terjadi berbagai persoalan yang akan menimbulkan sebuah perkara yang bakalan membuat berbagai pihak merasa tersalahkan atau tersudutkan.

Baca Juga: Manusia dan Penampakan Kusam Ingatannya

Pola “awak samo awak” ini menjadi salah satu sorotan dalam buku Alam Takambang Jadi Guru ini. A.A Navis, sebagai penulis, menyajikan pembahasan falsafah hidup masyarkat Minangkabau dengan komprehensif. Buku ini selain memberikan solusi atas penyelesaian perkara di Minangkabau juga dapat menjadi buku untuk mengenali budaya Minangkabau secara umum. Dengan adanya buku ini sangat membantu mengingatkan kembali bagi para kaum yang telah lupa tentang berbagai pepatah dan kiasan-kiasan yang telah diterapkan oleh masyarakat Minangkabau. Namun buku ini juga terdapat beberapa hal yang membuat pembaca merasa kebingungan, selain karena bukunya yang tebal, berbagai pepatah dan kiasan yang menggunakan bahasa latin sangat sulit untuk diingat dan dipahami.[]

Identitas Buku

Judul Buku                  : Alam Takambang Jadi Guru

Pengarang         : A.A. Navis

Penerbit                      : PT Pustaka Grafitipers

Tempat Terbit            : Jakarta

Cetakan 1                    : 1984

Jumlah Halaman       : 291

Rahmat R.H & Rahimatul Fitria
Warga Surau Tuo Institute Yogyakarta dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta