scentivaid mycapturer thelightindonesia

Silek Kumango; Tuhan, Manusia dan Alam

Silek Kumango; Tuhan, Manusia dan Alam
Foto Dok. Ijot Goblin

Adagium dalam Silek Kumango ; lahia silek mancari kawan, batinnyo manuju Tuhan, bagantuang ka tali nan indak kaputuih, bapagang ka raso nan indak kahilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan ilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih

Oleh: Muhammad Muchlis

Silek bukan hanya sekadar seni pertahanan diri tetapi sarat dengan makna. Silat merupakan pengetahuan dan keterampilan yang menjadi kekayaan lahir dan batin dalam berinteraksi antara Tuhan, sesama manusia dan dengan alam lingkungan.

Ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri lahiriah, sedangkan silik merupakan upaya untuk mengenal diri batin sedangkan suluk adalah upaya untuk mengenali diri secara lahir dan batin.

Dalam keseharian masyarakat Minang silek dapat kita lihat dalam dua bentuk yaitu silek duduak (silat duduk) dan silek tagak (silat berdiri). Silek duduak adalah nama lain dari silat lidah. Biasanya digunakan untuk membela diri saat berada dalam sebuah dialog atau untuk menegakkan keadilan dan sebagainya. Sedangkan silek tagak digunakan untuk membela diri dari serangan lawan secara fisik.
Menariknya silek ini tidak diajarkan di gelanggang atau sasaran seperti silek pada umumnya, namun diajarkan di surau. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menarik minat para pemuda-pemudi untuk datang ke surau. Dengan begitu, perlahan akan memicunya untuk mengenal lebih dalam tentang ajaran spiritual atau dimensi keagamaan yang diajarkan di surau tersebut.

Terdapat banyak aliran dalam silik Minangkabau. Salah satunya adalah silek Tuo Kumango. Bela diri ini berasal dari daerah Kumango di Tanah datar. Diajarkan oleh Syekh Abdurrahman Kumango atau yang juga dikenal dengan Beliau Kumango. Silek jenis ini dipelajari dari salah seorang wali Autad sewaktu berada di Madinah.

Silek Kumango terkenal dengan jurusnya yang dikenal dengan sebutan Kuncian Kumango. Dalam Silek Kumango terdapat sepuluh jurus inti, yaitu; ilak kida, ilak suok (kanan), sambuik pisau, rambah, cancang, ampang, lantak siku, patah tabu, ucak tangguang, dan ucak lapeh.

Dalam hal proses berguru atau menuntut ilmu Silek Kumango, terdapat berbagai persyaratan yang mesti dipenuhi. Calon murid menyerahkan beberapa persyaratan; kain putih, pisau, sisir, jarum jahit, cermin, cabai, beras dan uang kepada guru. Syarat ini mengandung nilai-nilai filosofi dan makna tersendiri yang mesti dipahami oleh murid sebagai tahapan awal dalam pembelajaran.

Seperti kain putih yang melambangkan kesucian. Ini mengajarkan murid untuk berniat dan bertujuan baik, berbuat baik, serta lambang berserah diri kepada tuhan. Jika seandainya si murid meninggal saat proses belajar maka kain inilah yang menjadi pembungkusnya.

Kemudian pisau dengan filosofi tajam dak malukoi, runciang dak mancucuak (tajam tidak melukai, runcing tidak menusuk). Dapat dimaknai bahwa sebuah ilmu itu tidak digunakan untuk melukai, mengganggu atau bahkan membunuh orang. Akan tetapi untuk menjaga diri dan menolong orang lain. Sisir dimaknai sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Masalah yang halus diselesaikan secara halus, kasar dihadapi secara kasar.

Kemudian jarum jahit dengan makna bahwa ilmu itu digunakan untuk menyatukan dan menghubungkan kembali hal yang terpisah, untuk memperbaiki, dan tidak untuk memisahkan atau memutus seperti gunting. sedangkan cabai, garam, beras dan uang sebagai simbol terima kasih kepada guru yang telah mengajarkan ilmunya.

Namun ada sesuatu yang lebih istimewa dari proses mempelajari silek ini yaitu doa wali. Inilah merupakan ruh dari semua gerak atau jurus yang ada. Doa wali ini hanya akan diterima oleh murid setelah dia melakukan baiat atau mengambil ajaran suatu tarekat. Ini sebagai bagian dari hubungan antara ajaran silek dengan tasawuf.

Dasar-dasar Silek Kumango dituangkan dalam sebuah adagium; lahia silek mancari kawan, batinnyo manuju Tuhan, bagantuang ka tali nan indak kaputuih, bapagang ka raso nan indak kahilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan ilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih, (zahir silat mencari kawan, batinnya menuju tuhan, bergantung ke tali yang tidak akan putus, berpegang kepada rasa yang tidak akan hilang, jaga tali jangan putus, awasi rasa agar jangan hilang, menyiang sebelum tumbuh, melantai sebelum lulus/ terjerumus).

Ada empat poin dasar silek ini, meliputi zahir, batin, rasa dan tali sebagai penghubung antara manusia, tuhan dan alam. Secara lahir seorang pandeka/pandai akal (pandekar) dituntut untuk menjalin hubungan serasi sesama manusia, menghindari permusuhan serta ikut menciptakan kedamaian. Secara batin dituntut untuk dapat mengendalikan nafsu hewani, dengan kata lain, dituntut untuk bisa bersilat di medan pertempuran sejati yaitu diri sendiri.

Diri manusia terdiri dari kompleksitas yang sangat sempurna. Terdiri dari beberapa bagian anggota tubuh dan tersusun dari hampir 100 miliar sel. Sehingga gerakan masing-masing anggota badan harus merupakan tali temali yang terhubung sehingga dapat mengikat, menarik dalam “hubungan”. Hubungan ini harus tetap dijaga sesuai tujuannya. Apabila tali ini putus maka hilanglah kawan dalam diri sendiri.
Bagi manusia “perasaan” menjadi hal yang penting sehingga menjaganya menjadi suatu keharusan. Perasaan mempengaruhi bagaimana tingkah laku dan perangai seorang. Manusia tanpa perasaan bagai burung tanpa sayap. Di sini pentingnya untuk menjaga “rasa” serta terus memupuknya dengan menegakkan yang hak dalam diri, memperkuat hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia.
Hubungan tersebut dapat dilihat langsung dari langkah maupun jurusnya. Langkah Silek Kumango melambangkan huruf hijaiah, yaitu alif-lam-lam-ha, mim-ha-mim-dal. Bila digabungkan akan membentuk kalimat Allah dan Muhammad.

Dengan demikian, seorang yang mengamalkan ilmu silatnya tidak akan mendahului permusuhan dari perdamaian. Ia berjalan pada yang diredai Allah dan senantiasa mengenali dirinya untuk tetap mengenal Allah SWT.

Muhammad Muchlis
Muhammad Muchlis lahir di Gumarang, 20 Oktober 2002. Saat ini menjadi Mahasiswa di Prodi Akidah Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa dihubungi di instagram @mmuchls dan FB Muhammad Muchlis