Sosiologi Tahlilan Sosiologi Tahlilan Sosiologi Tahlilan
Oleh: Addiarrahman
Direktur Eksekutif Bersama Institute
Tentu kita tidak asing lagi perdebatan furu’iyah antara kelompok tradisional dan modernis di Minangkabau. Mulai dari masalah ushalli, membaca bismillah secara sir atau jahar, qunut, sampai persoalan tahlilan, ratib, dan ziarah kubur. Kalau di Minangkabau, ada juga perdebatan soal sistem matrilineal, kewarisan dan/atau hak ulayat.
Pada pertengkaran furu’iyah itu, pertanyaan “apa dalilnya” selalu datang di awal tanya. Dari itu, debat berlanjut pada wilayah kesahihan dalil; kadang-kadang masuk pada wilayah teologis atau filosofis. Bersyukur kalau persilangan itu diakhiri oleh sikap saling menghormati, semisal yang ditunjukkan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Abdul Karim Amrullah. Bacalah tulisan buya Apria Putra terkait ini. Indah nian akhlak kedua ulama ini.
Tapi, lain lekat tangan Dt. Sutan Maharaja saat membahas masalah tahlil dan ratib. Kurang dari 2 tahun sebelum dia wafat, kaum muda menuding Dt. Sutan Maharaja sebagai sekuno-kunonya orang; ahli tahayul. Dikatakannya secara lantang, tahlil dan ratib itu adalah perkara bid’ah lagi tahayul. Tak ada satu dalil pun yang menganjurkan perbuatan itu. Sebab itu, tak boleh dilakukan karena dapat merusak akidah.
Mengisi Saku Memakai Nama Agama
Menanggapi tudingan itu, Dt. Sutan Maharaja sama sekali tidak bersusah payah membentang dalil. Disingkapnya perangai kaum mudo yang menolak tahlil dan ratib itu, namun nyatanya di tahun 1919, berdirilah Vereeniging Tahlil dan Ratib yang dibuat kaum mudo. Melalui organisasi itu, mereka menjadi annemer yang meratibkan dan mentahlilkan orang mati dengan upah f150. Supaya dagang laku keras, dinyatakannya sesiapa yang diratib dan ditahlil oleh Vereeniging itu, maka dipastikan masuk sorga; diampuni segala dosa dan diterima doanya. Terhadap hal itu, Dt. Sutan Maharaja menulis di Soenting Melajoe, No. 40 Hari Djoem’at 10 October 1919.
Djadi sekarang tahlil dan ratib beliau jang tidak bertharekat itoe jang laksana Cormophon sadja tidakkah oentoek peisi sakoe badjoe beliau (tahlil atau ratib orang jang tidak dengan bertharekat?) Tidakkah itoe mengakali oeang anak negeri dengan roepa-roepa akal?
Rupa-rupanya, komodifikasi agama sudah cukup akut pada awal abad-20 itu. Tahlil yang bernilai guna diubah layaknya komoditas untuk mengakumulasi kapital. Sebagai orang yang berpegang pada ajaran tarekat, Dt. Sutan Maharaja menegaskan:
[Soenggoehpoen tahjoel tidaklah djahat melainkan boleh dikata baik djoega, kalau tahjoel itoe oentoek pemberi senang sedjahtera kepada perasaan hati dan djiwa tetapi hendaknja djanglah tahjoel kepada tahlil jang seakan-akan Cormophon itoe, tidaklah dengan tharekat.
Kita di Alam Minangkabau ini apalagi perempoean sangat berdoeka tjita bila kematian, tetapi mendjadi hilang atau koeranglah doekatjitanja kalau ada didjangoek orang. Apalagi kalau jang mati ada ditahlilkan diratibkan dan didoakan dalam roemah jang mati itoe dan hingga dikatakan oleh indoek2, matinja tidaklah seperti mati kerbau sadja melainkan adalah mati berkeri ati oleh kaoem keloearga jang mati itoe.]
Keratan kalimat Dt. Bangkik itu setidaknya dapatlah dipahami dalam dua keadaan: pertama, pemuka agama bisa saja berdalil sekaligus berdalih ini salah; itu haram. Tapi, desakan nafsu membuat mereka lari dari pandangan yang lurus lagi bersih. Hasilnya, nilai agama yang sakral sekalipun bisa saja jadi lumbung pitih peisi saku.
Kedua, tarekat bukanlah sesuatu yang elitis. Ini beradu punggung dengan pandangan umum yang mengesankan hanya orang-orang terpilih yang dapat menjalankan laku tarekat. Dt. Sutan Maharaja tersirat menolak hal itu. Bahkan di beberapa tulisannya, dia secara terang-terang menjelaskan amalan tarekat yang ia lakoni. Tarekat mewujud dalam ruang sosial kehidupan masyarakat, seperti dalam bertahlil. Tahlil seperti itu, “lebih mehiboerkan dari pada tahlil jang boeroe2 maoe lekas sadja makan tjepak tjepong.”
Datuk Bangkik dan Teosofi
Ada yang menduga Dt. Bangkik penganut ajaran teosofi. Sekalipun tidak menolak, Dt. Bangkik juga tidak mengiyakan. Dia hanya menjelaskan teosofi itu adalah tarekat. Dia berpegang pada makna lafzi, bukan amali.
Tapi, tidaklah pada tempatnya saya menjelaskan bagaimana jalan tarekat yang dilakukan Dt. Bangkik. Cukuplah saat ini saya sampaikan, dia menamakannya dengan “Tarekat Mim”.[]
Jambi, 03 November 2020
Leave a Review