Di atas semua itu, ia senang konsep spritualitas durian merepresentasikan banyak hal dalam kepalanya. Terutama soal-soal kesejahteraan sosial dan cara beragama di negerinya.
Sebelumnya Menulis dari Kampung (5): Benteng Terakhir Syattariyah di Sutera
Oleh: Raudal Tanjung Banua
Sementara di Thailand dan kota besar Tanah Air, durian sudah sedemikian “profan”—dengan berbagai varietas unggulan dan produk olahan—nun di pedalaman Sumatera, seseorang masih mendambakan “sakralitas” dunia durian.
Suatu dunia di mana buah durian dihasilkan oleh pohon-pohonnya yang sudah tua, berbuah sesuai musim, ditunggui jatuhnya setiap malam (sesekali berebut dengan harimau). Setelah banyak terkumpul lalu dipikul turun bukit. Pemasarannya cukup di pondok-pondok buatan tepi jalan. Di sana orang-orang yang lewat berhenti membeli. Mereka memakannya sambil menikmati suasana kampung yang asri. Sebagian membawanya sebagai oleh-oleh ke kota.
Di kota sendiri, ia tahu, durian masih dianggap buah impian. Tak mudah mendapatkannya. Selain musiman, harganya tak bisa dibilang murah. Tak semua keluarga bisa pesta durian. Meski bagi sebagian lain, durian relatif mudah didapatkan. Ada sejumlah sentra durian dan gerai olahannya. Atau bisa pesan langsung ke daerah penghasil si kulit duri dan akan dikirim melalui jasa ekspedisi yang dalam perdagangan online sekarang makin besar perannya.
Maka bagaimana pun, durian adalah buah-buahan “klasik” Indonesia yang selalu dirindui, selain jengkol dan petai. Sama keras baunya, tapi menggairahkan selera bagi yang suka.
Karena termasuk buah “klasik”, ia biarkan juga dirinya menghikmati langkah-langkah “klasikal”—atau tradisional—untuk mendapatkan sebuah durian. Sebutlah pikirannya kelewat romantik. Sebab masa sekarang apa-apa serba lompatan, percepatan. Dalam hal durian, mula-mula harus ada peremajaan tanaman. Mungkin dengan membiarkan bijian durian tua tumbuh sendiri. Kemudian ada yang sengaja dibibitkan. Tapi masih terhubung dengan pohon indukan.
Lama-lama muncul keinginan menggantinya dengan bibit sama sekali baru. Varietas yang dianggap lebih unggul. Bukan hanya buahnya gede, juga cepat masa panennya. Dari yang semula butuh bertahun-tahun, kini cukup 3-4 tahun. Bibitnya lalu didatangkan dari kota atau tempat pembibitan khusus. Bisa beli sendiri atau lewat program dan proyek.
Toh tetap saja ia merasa apa-apa yang ia pikirkan tentang durian mengandung semacam spritualitas yang tak semuanya dapat tergantikan.
Suaka Ingatan
Ia punya sebidang ladang di Bukit Pendakian, Taratak, dengan beberapa batang durian tua peninggalan orang tuanya. Durian-durian itu, yang tampak menyerupai pohon-pohon di hutan, selalu berbuah lebat pada musimnya. Sebagai siklus tahunan, musim duren bersamaan dengan musim rambutan dan manggis. Secara bergurau, orang kampungnya biasa berkata bahwa kita di Indonesia punya banyak musim. Bukan hanya musim hujan dan musim kemarau, juga musim buah wabilkhusus musim durian. Belum musim banjir, musim asap, musim Pemilu dan musim kawin.
Dan ia ingat perjuangan mencari jodoh dalam selarik lagu “Wali” yang bergema di radio, ketika beberapa tahun lalu, ia ikut menunggui durian jatuh: dari musim duren hingga musim rambutan…
“Wah, itu penantian singkat berarti!” selorohnya.
Ikal, kawan karibnya yang suka main karaoke, melongo,”Kenapa begitu?”
“Bukankah musim duren dan musim rambutan itu berdekatan? Hanya beda tipis,” ia jawab terpingkal. ”Ibarat Lebaran; ada jatuhnya lewat hisab dan ada lewat rukyat. Tapi ‘kan musim angpo dan salamannya jatuh bersamaan?” Kawan-kawannya tertawa bahagia mendengarnya.
Ramailah suasana menunggu durian jatuh kala itu.
Ia senang saat-saat seperti itu. Lebih senang lagi mendapatkan buah durian warisan orang tuanya betapa enak, manis, lembut dan lumer di mulut. Dagingnya tebal, matang merata. Ia tahu ada varietas durian cepat berbuah. Tingginya tak lebih seukuran tubuhnya. Malah ada yang ditanam dalam pot. Tapi ia yakin rasa durian tua tak terkalahkan. Ia pun menganggap menengadah ke pohon tinggi merupakan takdirnya; dengan begitu ia menghayati sebuah penantian. Ia tak memetik langsung, ia menunggu buah bergedubum jatuh sendiri ke tanah huma. Nikmat sekali rasanya.
Ia merasa jadi kanak kembali, berdebar dan berlari mengejar buah yang jatuh. Kadang buah itu berlobang bekas sisa tupai atau kelelawar semalam. Kadang durinya memar saat jatuh di batu. Tapi itu menambah nikmat belaka. Seperti kopi bekas santapan luwak yang kian nikmat, atau durian bekas ditelan gajah di Lampung sana.
Itu semua membuatnya sulit membayangkan jenis durian yang saking ekstrem modifikasinya sampai tak punya biji segala. Lalu bagaimana kelangsungan hidupnya nanti? Bagaimana itu akan jadi pohon yang dapat merawat ingatan pada tanah kelahiran atau ladang kenangan?
Pemuliaan Tanaman
Seseorang yang kita ceritakan ini adalah lelaki di atas 40 tahun, anak petani tulen. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di sawah dan di ladang sebelum akhirnya ia putuskan pergi merantau. Kepergian tak mengubah caranya memperlakukan pohon durian.
Boleh jadi ia dianggap tak memiliki kemajuan pikiran dalam hal budidaya tanaman. Apalagi jika diukur dengan gerakan “1000 pohon durian” yang sedang digalakkan di kampungnya. Gerakan nagari itu menyasar ladang-ladang durian yang dianggap sudah tidak produktif. Berbuah hanya sekali semusim, ditunggui setiap malam dan hal-hal sejenis yang dianggap sudah tidak relevan.
Bukankah ini cara praktis dan ekonomis mendongkrak pendapatan? Mungkin. Hanya baginya faktor ekonomi bukan segalanya. Toh membiarkan durian miliknya hidup dalam siklus alamiah, itu sama dengan menjaga pendapatan meski tak setiap waktu. Tapi selalu ada jaminan, menunggu musim buah tiba. Bukankah ini juga bentuk kontrol ekonomi yang baik, tak kemaruk menyangkutkan segala hal dengan prospek ekonomis serba-kilatan?
Kalau hanya soal ekonomi ia masih bisa menanami ladangnya dengan tanaman lain. Gambir, cengkeh dan kulit manis. Termasuk aneka palawija yang dapat dipetik tiap akhir pekan. Itu cukup. Dan pohon-pohon durian itu menjadi salah satu alasan bagi keluarganya untuk tetap datang berulang ke ladang, mengolah sambil menjaga lahan.
Boleh jadi dalam budidaya tanaman, pikirannya tampak seolah stagnan. Tapi jelas ia punya sikap dalam hal pemuliaan tanaman. Ketika banyak peladang menebang pohon-pohon durian tua miliknya dan mengganti dengan bibit baru yang diklaim lebih unggul, ia bergeming. Tentu ia menanam juga sejumlah pohon durian baru sebagai bentuk peremajaan. Tapi tidak mengorbankan pohon lama, bahkan sebagian bibitnya berasal dari pohon durian tua itu juga.
Baginya, durian tua miliknya tak tergantikan. Kecuali batang itu sendiri yang tumbang atau mati. Ia berpantang menebang. Ia selalu berpesan kepada adiknya yang menggantikannya merawat ladang itu kemudian. Tiap kali menelepon, ia selalu bilang, kita lestarikan varietas “jadul” itu! Tak usah tergiur bibit baru yang belum teruji waktu. Jika mau, cobalah beberapa batang. Tapi jangan menebang! Jangan lupakan bibit pohon lama!
Itu selalu ia wanti-wanti. Ia sadari bahwa sejak dulu, Kabupaten Pesisir Selatan, kampungnya, termasuk lumbung durian. Salah satunya Langgai, kampung di hulu sungai. Di sana pohon durian tumbuh besar-besar berusia puluhan tahun dan tetap produktif sampai sekarang. Tentu pada musimnya. Dulu, semasa harus berjalan kaki dan berenang menyeberangi sungai, ia beberapa kali datang ke Langgai. Saudaranya dari pihak ayah punya beberapa tumpak ladang berisi pohon durian. Dan rasa durian Langgai tak pernah tergantikan dengan rupa-rupa durian yang pernah ia santap kemudian. Persis rasa durian di ladangnya. Maklum sama berasal dari pohon yang jelas asal-usulnya.
Ia yakin jika tak ada upaya pelestarian pada jenis durian tua, atau sebut saja varietas asli itu—demi mengejar varietas baru—maka varietas lama akan langka. Hilang dari ladangnya, dari Langgai dan tempat lain, dan mungkin dari muka bumi.
Pohon Tarekat
Belum lama ini ia pulang, bertepatan meninggalnya sang ibu yang ia cintai. Ia pergi ke ladangnya. Dari tepi sebuah perigi jernih di mana ia mencuci muka karena terpercik air mata sendiri, ia tengadah menatap deretan pohon durian tua yang dulu dirawat ibunya. Baginya pohon-pohon itu memiliki sejarah dan spritualitas. Upaya memeliharanya mengandung maksud yang dalam.
Memandang batangnya saja, ia ingat durian dalam tambo: dari sikilang aie bangih sampai taratak aie hitam, dari sipisok-pisok pisau hanyuik sampai ka sialang balantak basi. Dari riak nan badabue sampai durian ditakuak rajo. Itulah batas-batas alam Minangkabau.
Ia duduk di pokok batang, bersandar dan mulai berpikir tentang sesuatu yang tumbuh dan berkembang. Ia tahu, di kampungnya ada ormas keagamaan dan pendidikan tua pernah tumbuh. Yakni, Tarbiyah Islamiyah atau PERTI. Penanamnya Syekh Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang dan dikembangkan penuh kasih oleh Inyiak Jaho, Syekh Abdul Wahid, Syekh Muhammad Arifin, dan lain-lain.
Di sisi lain, kampungnya juga jadi lintasan sejumlah aliran tarekat dan dekat kepada PERTI. Bahkan secara simbolik, ia melihat “pohon tarekat” persis pohon durian tua yang ia sandari; hidup dalam sunyi, sambil terus memberi buah-buah hakikat yang masak di batang.
Sayang “peremajaan” pohon organisasi PERTI kurang berjalan lancar karena sempat ada perpecahan dan percabangan, termasuk terpaan badai politik. Akibatnya, muncul bibit lain dari varietas salafi. Ibarat durian berbuah cepat, salafi dianggap varietas unggul karena gerakannya begitu masif jika bukan agresif. Persis gerakan penanaman “1000 pohon durian”. Varietas itu kini tumbuh subur di setiap lahan kampung halaman materilinealnya.
Sementara pertumbuhan dahan dan cabang-cabang “pohon tarekat” ikut surut. Surau tempat bersuluk ditinggalkan. Mencari buya yang sebenar-benar buya sekarang sulitnya minta ampun. (Hatinya kian perih teringat sosok Buya Ahmad Syafii Maarif yang telah berpulang!). Sebagian orang juga merasa puas belajar dari “ustaz Youtube”. Ia teringat kembali tulisan Yendri Junaidi, “Ketika Ilmu Menjadi Sesuatu yang Murah(an)” di Tarbiyahislamiyah.id, 5 juli 2022 dan ia membenarkan kenyataan itu. “Pohon tarekat” di ladang sunyi kini terasa semakin jauh untuk dijelang.
Untunglah tunas PERTI dalam bentuk madrasah dan pesantren tetap tumbuh di mana-mana. MTI/PTI (Madrasah/Pesantren Tarbiyah Islamiyah) perlahan tapi pasti terus melahirkan anak siak (santri). Mereka mulai sadar eksistensi sebatang pohon yang jelas sanad dan silsilahnya. Dan sebagai sesama Aswaja, ajarannya hidup bersama dua ormas yang juga tumbuh dari sejenis pohon tua bersejarah dan penuh spritualitas itu; Muhammadiyah dan NU.
Sama seperti PERTI, pertumbuhan dan peremajaan kedua “pohon hayat umat” ini relatif alami. Meski pada zaman Orde Baru, sempat juga hendak dibonsai. Tapi untunglah bibitnya telah tersebar baik di seantero negeri, dan buah-buahnya segar karena tidak dikarbit. Maka ia merasa tak ada yang terlalu hilang dalam hal ini.
Varietas Gus Durian
Ia masih duduk di bawah pokok duren, di mana mengalir pancuran bambu. Merdu gemericik sepanjang waktu. Menyatu dengan semilir angin, kepak capung dan suara burung. Inilah tepian mandinya dahulu. Di sini, bukan hanya badan yang segar, hati pun terbawa tenteram. Ia makin merasakan bahwa penghormatan terhadap pohon-pohon tua adalah keharusan. Meski cara seperti ini tetap akan melanggengkan durian sebagai buah yang tak sepenuhnya “profan”.
Pemuliaannya terhadap pohon durian tua merupakan bentuk bakti dan terima kasih. Pohon-pohon itu telah menjaga ladangnya: mengikat humus, menyetabilkan tanah dan melestarikan mata air. Di atas semua itu, ia senang konsep spritualitas durian merepresentasikan banyak hal dalam kepalanya. Terutama soal-soal kesejahteraan sosial dan cara beragama di negerinya.
Ia menggelisahkan itu semua sejak bersentuhan dengan Paradigma Islam: Intrepretasi untuk Aksi Kuntowijoyo. Dan Buya Syafii Maarif sejak awal telah lebih dulu tampil memberi contoh. Aksi mereka bukan dengan dogma dan instruksi agama yang kini kerap jadi jalan pintas lembaga adat dan agama di daerah asalnya. Mereka bertungkus-lumus sepanjang waktu dengan interpretasi, kerja dan ilmu demi satu gagasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ia juga tertarik melihat pembaruan Islam dan adat di Minangkabau. Penuh pergulatan, adu gagasan dan argumen. Ia melihatnya antara lain dari sejarah Sumatera Thawalib yang ditulis Burhanuddin Daya. Bukan dengan bim-salabim fatwa dan undang-undang syariah.
Ia suka menyelusuri Jaringan Ulama kajian Azyumardi Azra. Di situ Nusantara muncul sebagai titik simpul penyebaran dan pembaruan Islam. Jika sekarang konsepsi Islam Nusantara coba diaktualkan, bukan ujug-ujug. Itu visi sejarah. Yang jelas tak terkait perubahan kiblat dan akidah. Maka tak selayaknya dihadapi dengan sekadar tolak atau terima ala dogma.
Ketika angin bertiup lebih kencang, tiba-tiba ia teringat sebatang “durian” tangguh di tengah ladang kebangsaan. Hayatnya sudah lama tak dikandung badan, tapi spirit-nya tak lekang di panas tak lapuk di hujan. Pohon itu menjelma sebagai manusia berintegritas (human with integrity): Abdurahman Wahid alias Gus Dur!
Buah-buah pikirannya tetap semerbak, aromanya agak keras, duri-durinya kadang sangat tajam. Kau harus berjuang membukanya, bukan sekadar seperti pesta “belah duren” di kota. Inilah yang bikin tak enak hati sejumlah pihak yang biasanya dimanjakan buah-buah kupasan impor, baik yang datang dari barat maupun dari timur.
Meski tak tergantikan, toh pohon-pohon baru tetap tumbuh. Bibitnya berasal dari biji buah pohon tua “indukan” itu. Sebuah varietas unggul muncul: Gus Durian. Semoga varietas Gus Durian tumbuh kuat dan meneduhkan. Jangan kebanyakan pupuk pabrikan. Jangan sampai dibonsai. Buah-buahnya biarkan matang tanpa dikarbit.
Ia pun bangkit. Sekali lagi ia basuh muka. Angin mulai reda dan cuaca cerah.
Selanjutnya Menulis dari Kampung (7): Anjing Penjaga Surau
Leave a Review