Perbincangan gender dari waktu ke waktu telah sampai dalam diskusi-diskusi akademisi, forum seminar, dan menjadi beberapa pembahasan karya ilmiah di Indonesia. Lambat laun gender diartikan dalam berbagai definisi menurut para ahli, yang jelas gender bukan hanya sekadar artian jenis kelamin atau bentuk biologis dari manusia (laki-laki/perempuan) saja. Gender hadir akibat ada faktor lingkungan yang membentuk insan-insan pada lingkungan tersebut, istilah laki-laki cocok dengan pekerjaan ‘keras’ dan perempuan dengan pekerjaan ‘lembut’ bisa nantinya berbeda pandangan untuk memahami itu. Mungkin itu hadir dalam lingkungan yang kerap memang tampak di mata kancah dunia. Tapi, itu hanya satu persepsi yang dinilai, banyak bingkai lain pun melihatkan bahwa kenyataan tadi hadir dalam keadaan terbalik.
Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh factor social budaya masyarakat.[1] Jadi, dalam tatanan budaya masyarakat di suatu daerah membentuk bermacam-macam tugas dan peran sebagai laki-laki maupun perempuan. Hubungan dari kedua jenis manusia tersebut berdampak pada melanjutkan keturunan biologis dari manusia yang berbeda kelamin itu. Jadi, anak adalah hasil dari hubungan seksual yang bagaimana sperma membuahi rahim yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang sudah dewasa atau dikenal baligh dalam Islam. Anak secara qathi/pasti merupakan tanggung jawab dari orang tua baik itu ayah maupun ibu, masalah yang hadir adalah peranan kedua orang tua tersebut tidak jarang dilontarkan kepada institusi-institusi sosial dan pendidikan negeri/swasta. Padahal, orang tua sangat berperan penting untuk membentuk dan mendidik anak, terkhusus perihal identitas gender.
Identitas gender sendiri adalah kesadaran psikologis yang mendasari rasa diri sebagai seorang laki-laki atau perempuan.[2] Kesadaran itu lahir dan didasari dari pembentukan yang mestinya harus diasuh duluan oleh orang tua, bagaimana tidak, banyak fenomena yang hadir seperti laki-laki yang menyerupai dan bersifat halnya perempuan (banci) atau sebaliknya yang disebut tomboi. Karena apa demikian? Untuk pembekalan gender pertama itu berasal dari orang tua, dan harus terpenuhi sebelum si anak terjun dalam tatanan masyarakat, budaya, dan pendidikan. Melihat dari situasi lingkungan, hidup di Indonesia berarti hidup dalam keadaan plural (majemuk) dan kondisi sifat serta mental yang berbeda-beda dapat disimpulkan bahwa stereotip itu sendiri adalah pelabelan yang diawali dengan proses persepsi terhadap objek persepsi mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat personal yang melekat (seakan permanen).
Stereotip memiliki tiga macam karakteristik: Pengkategorisasian atau pengelompokan orang ke dalam ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang bersifat relasional-persepsual, konsensus terhadap ciri atau sifat-sifat relasional-persepsual tersebut, dan adanya perbedaan atau ketidakcocokan antara ciri atau sifat-sifat relasional-persepsual dengan sifat atau ciri-ciri aktual.[3] Oleh karena itu stereotip juga diartikan sebuah rangkaian kepercayaan yang terstruktur mengenai berbagai macam ciri atau sifat-sifat personal dari sekelompok orang.[4] Dalam keadaan sekarang, kajian ini akan membahas salah satu bagian Indonesia tepatnya di Minangkabau yang merupakan daerah kultural dan daerah adminisratifnya yaitu Sumatera Barat.
Minangkabau dalam lingkup Indonesia adalah suku yang memilki sistem kekeluargaan matrilineal, dari ramainya sistem kekeluargaan di Indonesia yang menganut patrilineal menjadikan Minangkabau sebagai kajian yang menarik ditelusuri oleh banyak peneliti dan budayawan di Indonesia, tak terlepas pula para sosiolog. Akibatnya, perbedaan iklim budaya, politik, dan lingkungan sosial berdampak pada kehidupan di Minangkabau.
Lingkungan sosial di Minangkabau ditafsirkan begitu adati, kendati orang-orangnya yang religius. Konsep fundamen itu dinamai dengan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Maka lahirlah manusia Minangkabau yang berintegritas. Lantaran begitu, manusia yang terbagi kepada dua gender, Laki-laki dan perempuan dan di Minangkabau anak-anak diasuh dan dipapah dengan norma adat serta agama secara bersamaan, agar terbentuknya pribadi Minangkabau.
Minangkabau sendiri tak terlepas dari tokoh-tokoh yang cendekiawan, yang banyak menyumbang hasil buah pikiran demi kemajuan pengetahuan. Salah satunya adalah Syekh Sulaiman Arrasuli yang terkenal sebagai alim ulama dan cerdik pandai, juga ahli dalam kepenghuluan dan pencetus berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Canduang.[5] Beliau akrab disapa dengan Inyiak Canduang juga seorang literator dan penulis dengan banyak karya, yang paling terkenal adalah (1) “Pertalian Adat Dan Syarak” dan (2) “Pedoman Hidup Di Alam Minangkabau Menurut Garisan Adat Dan Syarak” dengan khas kepenulisannya Arab-Melayu. Pembahasan kali ini diambil dari sisi yang terlihat dalam karya Inyiak Canduang yang kedua. Karya ini pun dalam kalangan santri pondokan beliau disebut pula dengan “Kisah Si Muhammad Arif”, diterbitkan pada tahun 1939 oleh Derekrij Tsamarul Ikhwan, Bukittinggi. Buku kecil yang terdiri dari 70 halaman ini berisi kisah populer tentang seorang ibu bernama Siti Budiman yang menuturkan nasihat-nasihat kepada anaknya, Muhammad Arif, ketika selesai menamatkan sekolah dasar dam akan melanjutkan pendidikan ke sekolah agama.[6] Serta adik perempuannya yang dinamai Siti Arifah yang hendak pula memulai pendidikannya.
Baca Juga: Kajian Hadis Bolehkah Perempuan Jadi Imam Salat
Dilihat dari tapak kilas dari karya tersebut, salah satu kajian ilmiah yang dapat diambil adalah pentingnya pembentukan gender sejak dini. Peranan orang tua (Siti Budiman) di atas menunjukkan tanggung jawab orang tua kepada anak yang dalam masa pertumbuhan. Maka dari karya itu pula bisa dilihat pandangan Syekh Sulaiman Arrasuli membentuk gender yang mana bersesuian dengan adat dan syarak di Minangkabau. Jadi, bagaimana peranan orang tua dalam kekeluargaan sebagai agen sosialisasi gender. Serta, apa stereotip gender yang lahir terhadap laki-laki dan perempuan di Minangkabau. Pertanyaan ini akan dijelaskan dan akan terus digali sesuai kemampuan penulis dalam menelaah perspektif Syekh Sulaiman Arrasulli.
Sosialisasi Gender Dari Lingkup Keluarga
Orang tua adalah orang yang pertama dikenali oleh anak dan menjadi jembatan penghubung untuk ber-sosial dengan orang lain di masa yang akan datang. Peran orang tua bukan hanya sekadar membesarkan, memperhatikan, menumbuhkan badan saja, nalar anak dibangun atas kemauan orang tua. Maka kewajiban ayah dan ibu tidak hanya memberi asupan gizi maupun nutrisi. Tapi, juga bertanggung jawab untuk memberi asupan pikiran, sosial, dan lingkungan dengan begitu orang tua menjadi guru pertama bagi anak. Memang bukan sekolah formal, tetapi untuk melangkah kepada itu, mestilah anak mendapatkan hal-hal ini dahulu dari sekolah non-formal yaitu keluarga.
Lingkungan keluarga memperkenalkan seorang anak kepada dunia dan kepada harapan tuntunan gender mereka.[7] Secara luas tindakan ini dipegang sebagai tujuan primer dan berkelanjutan. Agen sosialisasi yang pertama ialah keluarga, yang mengajarkan seorang anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan menganut sifat feminis.[8] Dalam sosiologi, gender tidak bersifat biologis melainkan bersifat dekonstruksi secara sosial.
Dalam peranan sosialisasi gender, orang tua menjadi agen pertama, hingga nanti akan dilanjutkan kepada lingkungan kerabat, masyarakat, sekolah, hingga dunia pekerjaan. Kekeliruan yang hadir terdapat kepada terlalu dininya peranan orang tua kepada anak. Akibat terburuk terjadi itu adalah kerugian yang didapati oleh orang tua sendiri yaitu anak minim untuk berkomunikasi dengan orang tua, baik belajar maupun bermain. Fenomena yang tampak hari ini adalah banyaknya orang tua lebih percaya untuk menitipkan anak ke tempat penitipan anak, PAUD, taman kanak-kanak. Sebenarnya tindakan seperti itu bisa dipertimbangkan ulang kembali, karena risiko yang ditanggung seperti di atas dapat terjadi dengan ringannya. Padahal dari setiap tindakan anak merupakan tanggung jawab orang tua walaupun anak sudah dinyatakan baligh. Sisi lainnya orang tua mesti punya kesiapan terhadap merawat anak, itu pun semua demi keluarga, kendati demikian orang tua memikirkan pilihan yang terbaik untuk anak. Sehingga, orang tua malahan sekarang sulit dalam menentukan pilihan, apakah dengan memakai pihak ketiga adalah langkah efektif?
Lantas, efektif atau tidaknya, efektif sendiri bisa dibilang cenderung lebih memudahkan. Padahal usaha yang dijalin demi terbentuk anak yang paham akan gender lebih manjur dahulunya diperhatikan oleh orang tua dahulu. Mengajarkan norma-norma adat, agama, dan sosial terbilang sulit, tak bisa dimungkiri pula itulah yang sebenarnya peran tangguh orang tua. Menyiapkan pengajaran tersebut untuk anak yang akan terjun ke ranah ‘luar rumah’ dengan bekal pengetahuan dari orang tuanya, itu sudah lebih dari cukup dan kecil risiko akan tertularnya pengaruh buruk dari luar.
Banyaknya sekarang terjadi penyimpangan gender oleh anak akibat kecil kesadaran orang tua atau anggota keluarga untuk mensosialisasikan gender kepada mereeka. Dari gaya hidup dunia barat terlihat penyimpangan gender yang disebut dengan istilah theybies[9]. Keadaan ini menggambarkan keputusan orang tua untuk tidak menentukan gender anaknya. Walaupun dengan secara biologis bisa dilihat orang tua tersebut, ketidakinginan berurusan dengan itu lantaran khawatir anak akan dideranya dengan stereotip gender ketika dewasa kelak. Tidak adanya kegiatan sosialisasi gender dari orang tua cenderung jatuh dalam permulaan keadaan memiliki karakteristik laki-laki dan perempuan secara bersamaan atau disebut dengan androgini.
Sosialisasi menurut Charlotte Buhler adalah sebuah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berfikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya.[10] Secara sederhana, sosialisasi adalah sebagai proses belajar bagi seseorang atau sekelompok orang selama hidupnya untuk mengenali pola-pola hidup, nilai-nilai dan norma sosial agar ia dapat berkembang menjadi pribadi yang bisa diterima oleh kelompoknya. Sosialisasi juga dapat diartikan sebagai proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup dan berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya.[11]
Sosialisasi dalam lingkup keluarga terjadi dalam dua bentuk. Pertama, sosialisasi secara sadar, dalam bentuk ini orang tua secara gamblang mengajarkan kepada anak apa itu gender, bagaimana laki-laki dan perempuan bersikap. Mereka mengajari sesuai dengan lingkungan sosial di tempat tinggalnya. seperti contoh, anak laki-laki diajarkan supaya bermental dan berjasmani kuat yang didapati dari ayahnya. Anak perempuan mendapati sifat ibunya, sifat yang lemah lembut, suka berhias. Kendati demikian, jika anak laki-laki dan perempuan dalam satu keadaan sama-sama menangis misalnya. Maka, yang diperhatikan dahulu adalah anak perempuan. Dari hal ini, analisisnya adalah anak laki-laki diprioritaskan untuk menjadi pribadi mandiri sementara anak perempuan tidak diharuskan.
Kedua, secara tidak sadar, berarti dalam keadaan seperti ini anak belajar dari orang tua dengan memperhatikan tindakan dan keputusan yang diambil orang tua dalam kehidupan keluarga. Dalam ketidaksadaran orang tua tersebut, akibatnya anak yang belum tahu bagaimana nilai-nilai positif dan negatif itu apa. Jadi, orang tua mestilah berhati-hati untuk bersikap ketika dekat dengan anak. Cemasnya, si anak malahan akan meniru perilaku-perilaku negatif atau perilaku yang belum pantas dikerjakan olehnya.
Dalam “Pedoman Hidup Di Alam Minangkabau Menurut Garisan Adat Dan Syarak” karangan Syekh Sulaiaman Arrasuli banyak penamaan untuk karya ini, pertama “Kisah si Muhammad Arif”, kedua “Roman Siti Budiman”. Untuk pendekatan selanjutnya penulis namai dengan roman Siti Budiman.
Dalam pengajarannya dalam karya ini dilihat dalam perspektif gender, bagaimana Ibu (selanjutnya Siti Budiman) mengajari dua anaknya (selanjutnya Arif dan Arifah) pada masa depan akan menjadi pribadi sejati sesuai dengan gender mereka masing-masing. Datuak Rajo Adil sebagai Mamak.[12] Alur yang disediakan dalam roman ini menjelaskan sebelumnya bahwa keadaan si ayah tidak dilanjutkan dengan cerita bahwa si ayah telah meninggal.
Dalam Minangkabau dapat dilihat pula bahwa sistem kekeluargaannya menganut matrilineal, keadaan tempat yang juga matrilokal menjadikan sifat matriarkat. Siti Budiman sebagai kepala keluarga mengajarkan kepada anak-anaknya secara umum norma-norma keadatan Minangkabau dan syariat keislaman.
Sebagaimana Siti Budiman dalam kehidupannya dalam roman ini sekaligus menjadi guru pertama bagi anak-anak. Seperti kalimat yang ditulis Inyiak Canduang itu yang berkata Datuak Rajo Adil:
“kalau karajo nan ka elok, di ambo tidak basalahi, kalau ditimbang-timbang bana patut lah kau ajari, mulo-mulo dari kini, mako baitu kato denai, sagalo kaka, itu nan mulo jadi guru, kok masuak bana ka sekolah, di rumah indak di didik, indak juo tu akan elok, lama sebentar sudah itu, lorong kapado siti budiman, tidak kurang maaja anak, labiah-labiah mandidiknya, dengan kalakuan, atau karajo patang pagi, untuak pendidiak anak juo, kalakuan siti budiman, kalau dihampir anak kanduang, tak mambao lain-lain hanya membaca zikir allah. Kadang shalawat atas nabi, kadang al quran dilagukan, apo karajo nan buatan, kalau dihampir anak cako, dipilih nan baik-baik, untuk pendidik.”
Arif adalah anak laki-laki sekaligus sulung, ajaran yang diberikan kepadanya oleh siti budiman adalah membangun dirinya sebagai laki-laki mandiri yang taat kepada agama dan dalam lingkungan adat menjadi panutan. Arif diajari oleh ibunya sebagai pria yang siap terjun dalam masyarkat dengan bekal didikan Siti Budiman.
“Anak den Muhammad Arif, kalau duduak dalam kampuang, nan tuo handak muliakan nan mudo handak kasihi, samo gadang lawan mufakat, nan labiah bana diingek i, apo nan elok untuak diri, itu nan elok untuak kawan, kalau anak tak katuju, di kawan tantu ndak elok, kato junjungan handak ingek i, balum dipandang iman kito, sabalum kasiah kapado kawan, samacam kasih pado diri.”
Arifah adalah anak perempuan bungsu, Siti Budiman dalam ajaran menghidupkan Arifah dengan sifat pemalu sebagai tanda anak perempuan Minangkabau. Dalam kehidupan sekarang bisa diketahui bahwa kebanyakan anak perempuan tidak lagi segan-segan untuk berdekatan dengan lawan jenis. Padahal, secara adat dan agama itu sangat bertentangan. Maka dari itu dalam nasihat yang dilontarkan menegaskan Arifah agar tidak seperti demikian.
“nan den sebut-sebut juo, sifat pamalu jangan tinggal, itulah benteng perempuan, kok batamu jo laki-laki nan bukan muhrim kito, bukan kaum bukan pamili, tak buliah banyak mangecek, kiro paralu sajo buliahnyo, nan labiah jahat dari itu,duduak sabendi jo urang lain, nan bukan pamili awak, mamak tidak suami tidak,bapak dan kakak tidak pula, biar guru atau sahabat, perbuatan sumbang itu namonyo, sabagai laki anak den, kalau anak tinggal di rumah, laki-laki naik di hadapan, anak nan jangan lalu linteh, tatap sajo di balakang, galak-galak sakali jangan, galak tabahak galak syaitan, sakali jangan anak pakai, apo karajo baik-baik, tanang-tanang apo dibuek, jangan sarupo urang di lapau, hiruak pikuak bunyinyo piriang, basingguang satu samo lain, anak ku banyak galak-galak, banyak mangecek jo laki-laki, nan tidak karib jo muhrim, tandonyo anak tak pamalu, lah runtuah benteng perempuan, alamat musuah akan masuak ialah setan jo iblis.”
Pada roman Siti Budiman dijelaskan pula bahwa orang tua terbagi kepada empat kategori. Pengkategorian ini bermuara dari hasil-hasil perilaku sosial masyarakat Minangkabau yang telah dikelompokkan oleh Inyiak Canduang dalam romanya itu:
Tuo Karambia Masak:”tuo nan banyak faedahnyo, apo katonyo nan kalua, barang tuturno na ka tangah, jadi si tawa jo si dingin, urang salisiah dapek damai, kok nan bodoh jadi cadiak, nan tak tahu jadi pandai, jauh jalan nyo banyak basuo, lamo hiduiknyo banyak dirasai, jadi patunjuak pangajar, kepado nak kemenakan, untuk pengajar di nan mudo, kerambia masak den katokan, sabuk masak tampuruang kareh, guno banyak di nagari, tantang isinyo mandeh katokan, sadang rancak makan pangua, sampai ditanak jadi minyak, minyak banyak lagi pun harum, hinggo sampai lah baguno juo.”
Maksud yang dapat ditangkap dari argumen diatas, memperlihatkan bentuk kesempurnaan dari kesiapan orang tua. Dijelaskan bahwa orang tua “Karambia Masak” adalah orang tua yang hidupnya menjadi panutan bagi masyarakat, kehidupan yang dijalaninya berlandaskan kepada adat dan agama yang dalam Minangkabau itu merupakan fundamental. Bagi si anak orang tua bisa menjadi sahabatnya, agaknya si anak jadi lebih terbuka kepada orang tua karena dalam pribadi orang tua ini dalam istilah minang “si tawa si dingin” yaitu penyejuk hati.
Tuo Nyinyia Tak Manantu:”bak balam talampau jinak, maangkuik-angkuik tabuang aia, pancotok kili-kilinyo, dimabuk kecek lumak-lamik, rundiangan sarasah turun, tidak olok galib manyingguang bisua urang, itulah tuo nan cilako sabab tak ada berilmu.”
Maksud di atas, orang tua pada masalahnya bertindak semaunya. Padahal, atas semua tindakan kepada anak tentu ada batas-batas. Seperti pepatah minang “tau alua jo patuik” sementara orang tua dalam kasus ini tidak mengukur apa yang pantas untuk anak terima sesuai dengan masa pertumbuhannya baik itu dalam menyampaikan dan bertindak.
Diamuak Badak Jantan:“nan tidak tahu di duri, kok di duri akan mancucuak, kok dahan akan manimpo, haram mutlak kok lai tahu kulit tasuriah janganlah luko, namun lenggoknyo baiak juo, bak kabau jolong kareh-kareh iduang, parunyuik pambulang tai, tidak lah di kandangnyo, ba ilmu tukang rabab, tak buliah kito salahi, hanyo kahandak hatinyo surang, itulah tuo nan cilako, sabab miskin pado budi.”
Artinya orang tua yang kurang kebijaksanaannya dalam menerima keterbukaan dari orang lain maupun anaknya sendiri. Kebanyakan yang hadir adalah orang tua sombong dan selalu merasa benar dalam setiap tindakan. Padahal, nasihat atau pelajaran yang diberikannya kepada anak tak selalu benar dalam lingkup masyarakat, sehingga apabila orang tua seperti ini dinasihati demi memperbaiki kesalahannya malahan akan membenci orang yang menasihatinya.
Riang-Riang Asam:“bak kancah laweh arangnyo, pahamnyo tabuang sarueh, kok dapek kakok-kakoknyo, taruah sajo bak katidiang kok taelok awai-awainyo tasurut sajo ba anjolai, siapo pandai maujukan dipujikan bamuko-muko, bukan main gadang hatinyo, bak diambuang bantiang kurus, siapo urang tak mamuji, tak mamuji di mukonyo, barapo upek di balakang, sampai dicacek dihinokan, buruak jo aib lah bahimpun, setan barjuntai di lidahnyo, iblis datang manolong, itulah tuo nan cilako, sabab tak suko ka agamo, ka surau bapantang datang, guru diambil jadi musuah.”
Artinya orang tua perihal ini sangat suka dipuji-puji dan disanjung-sanjung, baik itu dari masyarakat atau pun anak dan suka memuji diri sendiri atas perbuatannya. Apabila setiap tindakannya tak diberi respons baik, maka orang tua seperti ini akan membenci orang-orang sekitarnya. Perilaku seperti ini digambarkan dalam Tasawuf Islam dengan sifat tercela.
Laki-Laki dan Perempuan Minangkabau
Adapun kepribadian laki-laki Minang yaitu:
Mudo Nan Pasurau: ”ialah muda nan sejati, adat teguh agama kuat, basa basi jan disabuik nan biaso diam di surau, ka lapaunyo kadang-kadang kalau paralu mamabali sajo.”
Maksudnya adalah laki-laki Minangkabau yang diberi ajaran oleh orang tuanya dengan ajaran adat dan agama. Setelah itu, selalu diaplikasikan dalam kehidupan. Dalam keadaan apapun laki-laki seperti ini menjadi panutan dalam lingkungan sosialnya.
Mudo Palapau: “den tarangkan mambali tidak manjua tidak, tapeknyo di lapau sajo, dari pagi sampai patang, indak baranjak inyo di sinan, dunsanak ado bini lai minum makan di lapau juo, alah ditaun pisang goreng, alah dimabuak katan angek indak takana anak dan bini nan lamak dimakan surang indak dimakan basamo-samo tando mudo nan cilako.”
Artinya setiap kedaan apapun selalu membuang waktu, menyianyiakan umur. Walau sudah memiliki istri pun laki-laki ini masih memprioritaskan kehendak diri tanpa memikirkan akibat yang lain. Laki-laki ini digambarkan dengan manusia yang selalu meremehkan keadaan apapun.
Mudo Parinsau: “siang malam bahati rindu, patang pagi bahati rambang, belum diimbau lah babunyi, belum digabik inyo lah datang, belum dijujai inyo lah galak, bak katidiang tingga bingkai, bak payuang tabukak kasau, dimana duduak inyo banyanyi, dimana tagak lah basiul, itu mudo nan cilako.
Lelaki di atas digambarkan dengan sebagai seorang melankolis, malahan utopis. Secara berlebihan tentunya, dalam keadaan seperti itu malah membuat masyarakat risi menerimanya, bahkan nantinya akan menjadi bahan pembicaraan dalam lingkungan.
Mudo Pangusu: adolah bak bunyi pantun minangkabau:
cicin perak duo parmato cicin tambago bakilatan lah riuk sapanuah koto adat urang kasabutan |
“ilia mudik inyo manyusah, kiri kanan mamacah parang, dari jorong sapanuah jorong, dari kampuang sapanuah kampuang, barang tajumbai na mahelo, apo nan tampak nan manarik, apo barang inyo nak iyo, maminta jo kareh ati, indak mamandang suko urang, mambali indak jo harga, bak elang terbang rendah, ayam dilasuang disembanyo itu mudo nan cilako, sabab dimabuak uas-uas”.
Maksudnya laki-laki dalam pandangan di atas menjelaskan, bahwa ia menjadi musuh bagi masyarakat. Karena, laki-laki ini memiliki sifat dengki dan iri terhadap apa yang dilihatnya sekitar lingkungan. Malahan, ia senang untuk memulai masalah dengan orang lain.
Mudo Langkisau: ”anak kanduang, itulah mudo lidah aia, sapantun talingo angin labuah sampik, kudo panyipak, arang karang lari ikua kupik kapalo rendah, kulit taba ajaran kurang, akal busuak i’tikad jahat, paham tak suko, ka nan baik, manaruah dengki jo khiyanat, sifat takubua, dalam hati, kok di halau inyo manyipak, kok dihirik inyo manggigik itulah mudo nan cilako.”
Maksudnya laki-laki yang kesal apabila dinasihati dengan kebaikan oleh orang-orang sekitarnya. Biasanya dalam kehidupannya, ia terlalu berlama-lama dalam menentukan prinsip dan tindakan, setiap perbuatannya selalu mempertanyakan tujuannya kembali. Apabila disalahkan perbuatannya, ia malahan dongkol terhadap orang-orang.
Dan perempuan:
Sejati perempuan: “nan manurut kitab allah lai maikuik nabi kito, manurut ajaran ibu bapak, niniak jo mamak diikutinyo, adat lai dipakainyo, limbago lai dituanginyo, baso basi jan disabuik.”
Perempuan ini menjadi idaman setiap lelaki dengan sikap yang diperlihakatnya menggambar perempuan yang diajari adat dan agama, sopan dan santun, dan memahami posisi dirinya sebaga perempuan.
Samariuwan: “pahamnyo bak gatah cair, iko elok, iko katuju, pikiran tidak amuah tatap, bak cando pimpiang di lereng, baliang-baliang di ateh bukik, kemana angin nan kareh, ka kiyun rabah hatinyo, walapun balaki bana, bak umpamo tidak juo, itu padusi kutuk allah, isi neraka tujuah lapis, di dunia mambari malu kapado ibu bapaknyo, niniak jo mamak mandapek aib.”
Perempuan seperti ini menandakan ketidakmatangan dirinya sebagai perempuan dewasa. Karena, setiap tindakan yang dikerjakannya selalu menghadirkan keragu-raguan. Dalam islam dimaksud dengan tidak ada istiqomah dalam diri perempuan tersebut.
Si Mumbang Riuwan: ”itu padusi tinggi hati, kok mangecek samo gadang, atau barundiang di nan rami, inginnyo tidak ka nan lain hati, tasambil juo ka lakinyo, dibincang bapak si buyuang, disebut juo bapak si upiak, sebagai labiah dari urang, babilang ribu jo ratuih, lakinyo labiah sakali, tentang balanjo nahfkahnyo, baik pun pulang ka rumahnyo, labiah banyak tiap hari, kadang tidak baranjak umaik, pendek kato den tarangkan, kecek malagak bakeh kawan, di awak sagalo labiah, di urang sagalo kurang, itu nan banyak maso kini, anak usah bak cando itu.”
Maksudnya perempuan sombong. Setiap tindakannya selalu ia anggap benar, apabila ada kesalahan dalamnya berarti ia menyalahkan orang lain. Ia selalu memuji dirinya, menganggap diri lebih dari orang lain.
Gadih Palawan: “den curaikan, danga di anak jaleh-jaleh, itu padusi busuak hati, suko bacaran jo suaminyo, nan tak inti basalisiah, banyak bantah jo kalahi, kalau takuruang agak saketek, apo dibali suaminya, atau talambek laki pulang, hatinyo masam dahulu, duduaknyo tamanuang sajo, muko merah-merah padam, mato merah, caliak lia, bak harimau tingga labau, itu padusi nan cilako, loba tamak, jadi pakaian, balaki duo satahun, tatapi tidak nan salamat, sasakali jangan anak tiru.”
Berarti gadis yang durhaka. Selalu berlawanan dengan orang tua, apabila bersuami pun juga demikian. Sifat-sifat tercela dalam Islam dan adat selalu ia kerjakan bukan dihindari.
Baca Juga: Memaknai Kitab Suci Pendidikan Inyiak Canduang I
Penutup
Sosialisasi gender pertama kali dilakukan oleh orang tua kepada anak, karena secara hakikatnya pun orang tua bukan sekadar memberi tanggung jawab material, tetapi juga moril. Guru dalam kehidupan anak pun adalah orang tuanya, sengaja atau tidak. Sikap dan perilaku anak dalam bermasyarakat nantinya adalah hasil dari didikan orang tua. Orang tua yang baik akan tergambar dari sikap anak yang sopan santun. Pelajaran yang anak dapatkan dari orang tua pertama, adalah bagaimana membangun akhlak dan kedua, mengingatkan diri bahwa gendernya sebagai laki-laki atau perempuan akan berbeda posisinya dalam mengambil tindakan.
Stereotip gender di Minangkabau dilihat dari lingkungan masyarakat yang hidup dari pedoman adat dan agama. Ada lima kategori bagi laki-laki yaitu Mudo Nan Pasurau, Mudo Palapau, Mudo Parinsau, Mudo Pangusu, dan Mudo Langkisau. Serta empat kategori bagi perempuan yaitu Sejati perempuan, Samariuwan, Si Mumbang Riuwan , dan Gadih Palawan.
Daftar Pustaka
Arrasuli, Sulaiman. 1939. Pedoman Hidup di Alam Minangkabau: Nasihat Siti Budiman Menurut Garisan Adat dan Syarak. Bukittinggi: Derekrij Tsamaratul Ikhwan
Brata, Sumardi Surya. 1996. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Tarsito
Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Sukerti, Ni Nyoman dan Ayu Agung Ariani. 2016. Buku Ajar Gender Dalam Hukum. Bali: Pustaka Ekspresi
Izmy, Hamdan (Alih Bahasa). 2003. Pertalian Adat & Syarak. Jakarta: Ciputat Press
Suci, Faradina Nurul. 2016. Hubungan Sosialisasi Gender oleh Orang Tua dengan Identitas Gender Remaja. Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim
Mulyadi. 2019. Stereotip Gender di Perpustakaan. JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) 4 (1): 18-30.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
CNN Indonesia. 2018. ”Theybies, Anak yang Dibesarkan Tanpa Stereotip Gender”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180803100624-255-319149/theybies-anak-yang-dibesarkan-tanpa-stereotip-gender . ( 7 Januari 2020).
Muzir, Inyiak Ridwan. 2019. Sosiologi Pendidikan Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) dalam Buku “Kisah si Muhammad Arif” (Bag #1). https://tarbiyahislamiyah.id/sosiologi-pendidikan-syekh-sulaiman-arrasuli-inyiak-canduang-dalam-buku-kisah-si-muhammad-arif-bag-1/ . (2 Januari 2020).
[1] Ni Nyoman Sukerti dan Ayu Agung Ariani, Buku Ajar Gender Dalam Hukum, (Bali: Pustaka Ekspresi, 2016), hal. 2.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[3] Mulyadi, Stereotip Gender di Perpustakaan , JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1, 2019, hal. 21.
[4] Ibid.
[5] Syekh Sulaiman Arrasuli, “Pertalian Adat dan Syarak”, ed. Hamdan Izmy, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) hal. iv
[6] Inyiak Ridwan Muzir, “Sosiologi Pendidikan Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) dalam Buku “Kisah si Muhammad Arif” (Bag #1)”, https://tarbiyahislamiyah.id/sosiologi-pendidikan-syekh-sulaiman-arrasuli-inyiak-canduang-dalam-buku-kisah-si-muhammad-arif-bag-1/ (diakses pada 2 Januari 2020, pukul 02.03).
[7] Faradina Nurul Suci, Skripsi: “Hubungan Sosialisasi Gender oleh Orang Tua dengan Identitas Gender Remaja” (Malang: UIN, 2016) hal. 28.
[8] Ibid, hal 27.
[9] CNN Indonesia, ”Theybies, Anak yang Dibesarkan Tanpa Stereotip Gender”, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180803100624-255-319149/theybies-anak-yang-dibesarkan-tanpa-stereotip-gender ( 7 Januari 2020, pukul 20.47).
[10] Sumardi Surya Brata, “Psikologi Pendidikan”, (Jakarta: Tarsito, 1996), hal. 24.
[11] T.O. Ihromi, “Bunga Rampai Sosiologi Keluarga”, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1999), hal, 30.
[12] Mamak adalah saudara laki-laki dari ibu.
Leave a Review