scentivaid mycapturer thelightindonesia

Sufistik sebagai Ciri Pemikiran Islam Nusantara

Ilustrasi/Dok.Istimewa

Tulisan berikut ini terinspirasi dari tulisan Taufik Abdullah dan Mohammad Hisyam dalam Sejarah Umat Islam Indonesia, hal. 82 yang menyatakan, “Apalagi pemikiran sufistik ternyata tidak saja menjadi ciri pemikiran Islam Nusantara ketika itu, tetapi juga telah mempengaruhi tradisi politik”. kalimat “pemikiran sufistik” menunjuk kepada para ulama (muballigh-muballigh) yang menyebarkan Islam di Nusantara adalah para sufi (ahli tasawuf), baik yang beraliran falsafi seperti Syekh Siti Jenar di Jawa, Hamzah Fansuri dan Samsuddin Sumatrani di Aceh maupun yang beraliran Sunni seperti Walisongo di Jawa dan Nuruddin ar Raniri dan Abdur Rauf Sinkli di Aceh. Kalimat “pemikiran Islam Nusantara ketika itu” berarti aspek-aspek pemikiran sufistik para ulama di Nusantara pada abad ke 16-17 yang mewarnai intelektual para pengikutnya. Abad ke 16-17 juga disebut sebagai abad pembentukan pemikiran Islam di Nusantara. Pemikiran yang sangat menonjol ketika itu adalah corak mengenai hubungan makhluk (manusia) dengan Khaliqnya (Allah), yakni pemikiran tasawuf. Hal ini tidak berarti bahwa pemikiran tentang etika Islam dan syariat terabaikan. Sedangkan kalimat “telah mempengaruhi tradisi politik” artinya bahwa dakwah Islam ketika itu telah sampai pada tahab pembentukan kerajaan Islam, seperti Aceh di Sumatera bagian utara, Demak di Jawa dan Ternate di Maluku. Kehadiran kerajaan-kerajaan Islam tersebut menbentuk fakta wilayah Islam yang berporoskan Aceh, Demak dan Ternate. Di antara ketiga poros Islam ini terjadi hubungan erat, baik dalam bentuk hubungan dagang maupun keagamaan.

Agar lebih jelas, istilah “Islam Nusantara” yang dimaksud oleh penulis dalam tulisan ini adalah bentuk dan perkembangan Islam di bumi Nusantara. Karena Islam itu tidak lahir di Nusantara namun dibawa dan disampaikan oleh para muballig Islam dari Timur Tengah, tepatnya dari Arab dan Persia apakah ia pedagang atau ulama ke bumi Nusantara. Dalam sebagian teori juga ada yang menyebut dari Gujarat, namun teori masuknya Islam ke Indonesia dari Gujarat ini lemah karena hanya berpedoman kepada “batu nisan” Malik al-Saleh sebagaimana yang disampaikan oleh Pijnappel, seorang ilmuwan kebangsaan Belanda dari Leiden University. Teori Pijnappel inilah yang kemudiannya dikembangkan oleh pengikutnya, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari Gujarat.

Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Tarekat Taqlid dan Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Sedangkan tema “Islam Nusantara” yang berkembang di segelintir kalangan akademisi di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dewasa ini diakui oleh M. Isom Yusqi, Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta bahwa belum semua warga nahdliyin mengetahui dan memahami gagasan tersebut. Agar semua warga nahdliyin memahami gagasan Islam Nusantara tersebut maka gagasan ini kemudiannya diangkat menjadi tema Muktamar NU ke-33 tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur. Gagasan Islam Nusantara  kata M. Isom Yusqi lahir dari pergumulan akademik para elit intelektual NU, terutama KH. Said Agil Siraj dan para akademisi STAINU Jakarta serta UNU Jakarta, terhitung sejak dibukanya Program Pascasarjana Kajian Islam Nusantara di penghujung tahun 2012 lalu. Kendatipun lahir dari rahim NU, Islam Nusantara kata M. Isom Yusqi akan dipersembahkan untuk peradaban dan keadaban seluruh umat manusia.

Istilah ‘Islam Nusantara” yang dimunculkan oleh elit para akademisi NU tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di sebagian kalangan. Sebagian memahami bahwa Islam Nusantara itu adalah keberadaan Islam di Nusantara. Sebagian lagi memahami bahwa “Islam Nusantara” itu adalah penerimaan Islam (para ulama) terhadap budaya Nusantara yang tidak bertentangan. Dan sebagian lagi memahami “Islam Nusantara” itu adalah budaya Nusantara dijadikan sebagai sumber Islam. Pemahaman yang pertama dan kedua adalah tepat dan tidak ada kontra pendapat di sini. Sedangkan pada pemahaman ketiga adalah pemahaman yang keliru karena mereka tidak mengerti akan sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan hadits.

Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, apabila kita ikuti penjelasan dari M. Isom Yusqi yang menyatakan, bahwa “Islam Nusantara ingin membangun peradaban dan melahirkan umat yang tidak adigang, adigung, adiguna, umat yang selalu menghargai perbedaan, berprinsip Bhineka Tunggal Ika serta tidak hobi menebar rasa kebencian, kecurigaan dan hasud kepada sesama, hanya karena perbedaan keyakinan, agama, suku, ras dan bangsa”. Kalimat “adigang, adigung, adiguna” yang disebut oleh M. Isom Yusqi tersebut jika kita baca buku yang ditulis oleh Agus Sunyoto, tokoh NU yang ikut merumuskan tema Islam Nusantara tersebut, dalam Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, sebenarnya berasal dari tradisi masyarakat Majapahit. Agus Sunyoto dalam buku tersebut menulis sebuah sub judul, yaitu Transvaluasi Nilai-Nilai Menjadi Islam Nusantara. Dalam sub tema ini Agus Sunyoto menjelaskan bahwa Majapahit sebagai imperium yang mempersatukan wilayah Nusantara, menganut nilai-nilai penaklukan yang tercermin pada Sumpah Amukti Palapa Mahapatih Gajah Mada, yaitu nilai-nilai keagungan, kemuliaan, kebesaran, keunggulan, superioritas, penaklukan, dan kemenangan. Nilai-Nilai tersebut jika diurai kata Agus Sunyoto meliputi: adighang (keunggulan), adhigung (keagungan), adhiguna (superioritas), rajas (nafsu yang berkobar-kobar tidak terkendali), tan halah (tak terkalahkan), kawasa (berkuasa), niratisaya (tidak terungguli), jaya (kemenangan), dan nirbhaya (tak kenal takut).

Dengan memahami bagaimana nilai-nilai yang dianut orang Jawa pada masa Majapahit kata Agus Sunyoto, sangat wajar jika munculnya berbagai kadipaten kecil yang dipimpin para warlord pasca runtuhnya Majapahit, membawa akibat pecahnya perang sipil yang berkepanjangan yang bermuara pada terciptanya suasana chaos dalam masyarakat. Kemunculan Demak Bintara sebagai kekuatan politik menyatukan beragam kekuasaan tersebut. Hal ini dipandang oleh Agus Sunyoto sebagai salah satu faktor pendorong bagi berlangsungnya transvaluasi nilai-nilai masyarakat Jawa yang semula bertumpu pada nilai-nilai keagungan, kemuliaan, kebesaran, keunggulan, superioritas, penaklukan, dan kemenangan yang khas Majapahit menjadi nilai-nilai yang islami.

Baca Juga: Sulaiman Arrasuli Ulama Pujangga nan Ahli Adat

Sejumlah nilai-nilai Islam yang ditanamkan oleh Walisongo pada masa kerajaan Demak Bintara yang dipimpin oleh Raden Patah dan kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh salah satu Walisongo juga yaitu Sunan Gunung Djati, jejaknya kata Agus Sunyoto masih terlihat dalam nilai-nilai moral yang dianut masyarakat Jawa seperti nilai kesabaran (shabar), keikhlasan (ikhlas), andap asor (tawadhu’), keadilan (‘adl), guyup rukun (ukhuwah), lila atau kerelaan (ridha), kesederhanaan (wara’), nrimo (qana’ah), eling (dzikir), ngalah (tawakkal), pasrah (lillah), yang menunjuk pada nilai-nilai sufistik. Kesimpulan yang dibuat oleh Agus Sunyoto ini hanyalah mempertegas apa yang disampaikan oleh Taufik dan Hisyam di atas tentang pemikiran sufistik. Jika yang disampaikan oleh Taufik dan Hisyam adalah pemikiran sufistik yang berkembang pada abad ke 16-17 sedangkan yang disampaikan oleh Agus Sunyoto adalah pengamalan sufistik yang hidup dalam tradisi masyarakat Jawa yang disampaikan oleh Walisongo dan para muballiq Islam lainnya dahulunya. kedua pendapat ini sebenarnya adalah saling menguatkan. Agar lebih jelas M. Solihin dalam Sejarah dan Pemikiran Tasawuf Di Indonesia, hal.79 menyatakan, keharuman nama Demak (Demak Bintara) sebagai basis penyebaran Islam di Jawa sesungguhnya tidak lepas dari peran Wali Songo. Bendera Islam yang diajarkan oleh para wali tersebut adalah bendera Islam dan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Adapun metode dakwah yang digunakan oleh para wali yang tergabung dalam Walisongo tersebut adalah metode dakwah sebagaimana yang diterapkan oleh para sufi sunni dalam menanamkan nilai nilai Islam yaitu melalui keteladanan yang baik sebelum berkata-kata. Dengan demikian, metode dakwah para wali tersebut adalah dakwah bil hal sebelum menerapkan dakwah bil maqal. Pola dakwah sufi sunni ini digambarkan oleh al-Ghazali dalam Munqid min adh dhalal, hal.39-40 bahwa hakikat tasawuf adalah ilmu dan amal yang menghasilkan budi pekerti yang luhur, jiwa yang suci, bukan ungkapan-ungkapan teoritis belaka.

Ada beberapa keunggulan para ulama yang berjiwa sufi dalam mendakwahkan Islam terutama ke masyarakat yang belum mengerti Islam. Pertama, para ulama tersebut memiliki budi pekerti yang luhur dan memiliki jiwa yang suci. Kedua, para ulama itu memiliki sikap keteladanan yang baik dalam hidup (melakukan dakwah bil hal). Ketiga, para ulama itu dianugerahi oleh Allah dengan kekuatan supranatural, sehingga sepak terjangnya dihormati oleh masyarakat sekaligus membuat masyarakat tertarik kepada ajaran yang dibawanya.

Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Ketertarikan masyarakat Jawa kepada nilai-nilai Islam yang dikembangkan oleh para muballiq seperti yang disampaikan oleh Walisongo seperti yang dinyatakan Agus Sunyoto bahwa jejaknya masih terlihat dalam nilai-nilai moral masyarakat Jawa sebenarnya adalah ketertarikan masyarakat Jawa kepada ajaran Islam karena pada masa itu yaitu di tengah masyarakat Hindu-Jawa adalah sangat menekankan perbedaan derajat manusia. nilai-nilai tauhid yang dikombinasikan dengan nilai-nilai sufistik sangat tepat untuk menghancurkan perbedaan derajat manusia tersebut. Para muballig Islam ketika itu memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat di antara sesama makhluk. strategi dakwahnya ketika itu adalah menyampaikan Islam dengan pelan dan secara bertahab tanpa menolak dengan keras dari situasi sosial-kultural masyarakat di sekitar komunitasnya.

Adapun Transvaluasi Nilai-Nilai Menjadi Islam Nusantara oleh Walisongo ke dalam nilai-nilai moral masyarakat Jawa sebagaimana yang dikemukakan oleh Agus Sunyoto di atas, memang benar adanya. Akan tetapi, budaya yang sudah berurat berakar itu sulit dihilangkan dari masyarakatnya. Sebagai contoh bahwa nilai-nilai adigang, adigung, adiguna yang dikembangkan oleh masyarakat Jawa pada masa Majapahit yang diterangkan oleh Agus Sunyoto tersebut sampai saat ini masih berurat berakar di masyarakat Jawa. Hal ini terlihat dengan munculnya istilah “Jawa” dan “Non Jawa” dalam pentas perpolitikan Indonesia. Satu tesis mengatakan bahwa masyarakat Jawa tidak akan setuju apabila presiden Indonesia berasal dari luar Jawa. Khasus Habibie misalnya, ketika pertanggung jawabannya ditolak oleh MPR, ketika itu banyak di antara anggota majelis mensenandungkan istiqhfar dan shalawat Nabi. Hal ini mereka lakukan sebagai bukti kemenangannya dalam menolak pertangungjawaban sang presiden Habibie. Ketika Gus Dur menjadi presiden, yang disebut sebagai pencetus pribumisasi Islam di Indonesia, berencana ingin membubarkan organisasi mahasiswa Islam (HMI), sama seperti yang dilakukan oleh presiden Soekarno terhadap Masyumi. Jika Masyumi berhasil dibubarkan oleh Soekarno sedangkan HMI tidak berhasil dibubarkan oleh Gus Dur cs. Jika dilihat dari perspektif ini maka tepat apa yang disampaikan oleh M. Isom Yusqi di atas bahwa “Islam Nusantara ingin membangun peradaban dan melahirkan umat yang tidak adigang, adigung, adiguna, umat yang selalu menghargai perbedaan, berprinsip Bhineka Tunggal Ika serta tidak hobi menebar rasa kebencian, kecurigaan dan hasud kepada sesama, hanya karena perbedaan keyakinan, agama, suku, ras dan bangsa”.

Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural

Berdasarkan analisa di atas dapat disimpulkan bahwa pencetus istilah ‘Islam Nusantara” itu adalah Taufik Abdullah dan Mohammad Hisyam. Istilah “Islam Nusantara” adalah untuk menggambarkan keberadaan Islam di bumi Nusantara. Kepiawaian para muballighnya dalam menyampaikan dakwah Islam di Nusantara telah membuat ketertarikan hati masyarakat Indonesia waktu itu untuk memeluk Islam, yaitu agama yang membawa keselamatan hidup dunia dan akhirat. Hasilnya adalah mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Strategi dakwah yang mereka gunakan adalah menyampaikan Islam dengan pelan dan secara bertahap tanpa menolak dengan keras dari situasi sosial-kultural masyarakat di sekitar komunitasnya. Dakwah Islam dengan pendekatan tauhid yang dibungkus dengan baju sufistik (dakwah bil hal sebelum bil maqal) menjadi tren dakwah para muballiq terutama para ulama yang tergabung dalam Walisongo ketika itu karena mereka berhadapan dengan masyarakat Hindu-Jawa yang sangat menekankan perbedaan derajat manusia.[]

Ali Wardana
Penulis dan Dosen