Sulaiman ar-Rasuli, Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural (Bagian II)
Sebagai tokoh pendidikan Islam, Syekh Sulaiman ar-Rasuli juga memiliki pemikiran yang khas tentang pendidikan Islam. Pemikiran itu dapat diteliti dari beberapa karya tulisnya, meskipun tidak ditemukan suatu kitab yang khusus mengkaji pendidikan. Tetapi kitabnya yang berjudul “Pedoman Hidup di Alam Minangkabau; Sesuai Garisan Adat dan Syarak” atau disebut juga “Kisah Muhammad Arif,” dikenal sebagai kitab tasawuf, tetapi di dalamnya ditemukan sejumlah pokok bahasan tentang pendidikan Islam. Kitab ini ditulis berbahasa Minang dengan aksara Arab Melayu serta memuat kisah Siti Budiman bersama kedua anaknya: Muhammad Arif dan Siti Arifah. Di kitab ini dikisahkan bagaimana ibunya mendidik Muhammad Arif sejak kecil, menjadi murid hingga akhirnya menjadi guru. Menariknya, kisah ini disajikan dengan kultur Minangkabau.
Di samping itu, kajian pendidikan—meskipun bukan tema pokok—juga ditemukan dalam kitab Tabligh Amanah, Risālah al-Qaul al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān, dan Kitab Enam Risalah, dan Tsamarat al-Ihsān fī Walādat Sayyid al-Insān. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pokok pikiran Syekh Sulaiman ar-Rasuli tentang Pendidikan Islam.
Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural Bagian 1
Hakikat Manusia
Hakikat manusia, dalam pandangan Syekh Sulaiman, dapat dirumuskan pada empat bagian. Pertama, manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Ketika mengkaji manusia, ia menyebut manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani, tetapi dimensi rohani lebih mempengaruhi kepribadian seseorang. Menurutnya, asal mula sekalian makhluk adalah Nur Muhammad. Nur itu berpindah-pindah dari nabi hingga kepada orang-orang yang beriman; orang-orang yang memiliki kesucian rohani (Syekh Suliaman ar-Rasuli, selanjutnya disebut SSA, 1923: 5). Ia juga menegaskan, ada dua penyakit manusia, yaitu bodoh (jāhil) dan lalai (ghāfil). Obat bodoh adalah ilmu, obat lalai adalah zikir. Ia juga mengkritik orang-orang yang berzikir tanpa ilmu lalu menjadikannya sebagai alat untuk mencari keuntungan duniawi. (Syekh Sulaiman ar-Rasuli, selanjutnya disebut “SSR”, 1929: 129-130).
Kedua, manusia sebagai hamba (‘abd) Allah dan khalīfah-Nya di muka bumi. Ia menulis, “Bermula makna beribadah ialah berhina diri sampai kepada kesudah-sudahan hina serta membesarkan akan orang yang disembah yang sampai kepada kesudah-sudahan membesarkan.”(SSR, 1929: 6). Baginya, khalīfah yang paling ideal hanya ada pada diri Nabi Muhammad SAW, karena terdapat kemampuan untuk memimpin/mengatur dan kemampuan mendidik umatnya untuk senantiasa mampu menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Jika tidak ditemukan lagi seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana layaknya khalīfah yang ideal tersebut, maka penguasa harus bertanya dan bekerja sama dengan ulama (SSR, 1927: 2).Dalam bahasa kiasan, ia menulis: “Kedua orang itu umpama orang yang melayarkan kapal. Seorang jaga haluan dan seorang jaga kemudi, kalau keduanya ada sepakat alamat pelayaran akan sampai dan si penumpang akan selamat, dan kalau keduanya bersalahan tanda pelayaran tidak akan sampai dan si penumpang akan dapat kecelakaan” (SSR, 1927: 4-5).
Ketiga, manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Ia mengklasifikasikan tipe manusia dalam lingkungan masyarakatnya, seperti yang ia tulis dalam kitabnya “Pedoman Hidoep di Alam Minangkabau” khususnya pada satu sub bahasan dengan judul “pembagian manusia.” Secara garis besar, manusia itu dikelompokkannya kepada lima kategori, yaitu penghulu (pemimpin), ulama, urang mudo (pemuda), padusi (perempuan), dan urang tuo (orang tua). Setiap komponen masyarakat itu ada yang ideal, ada pula yang tidak. Pemuda, misalnya, yang ideal disebutnya pemuda pesurau, yaitu pemuda shaleh yang memakmurkan surau. Tetapi ada pemuda yang buruk, yaitu pemuda palapau (suka duduk di kedai dan kurang tanggung jawab pada keluarga), pemuda parinsau (suka mengeluh dan menyia-nyiakan waktu), pemuda pengusu (suka membuat onar), dan pemuda lingkisau (berpenyakit hati) (SSR, 1930: 59-65). Pengelompokan manusia seperti ini membuktikan bahwa ia juga memahami karakter manusia yang berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap manusia harus berupaya untuk memposisikan dirinya sesuai dengan peran dan kapasitasnya masing-masing.
Tujuan Pendidikan
Ada empat tujuan pendidikan dalam pandangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Pertama, memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Orang yang bahagia dunia akhirat adalah: “Orang yang iman lagi shaleh lagi membayarkan segala hak Allah Ta’ala dan hak segala makhluk lagi mengikut dari syari’at pada zahir dan batin lagi berpaling dari pada perhiasan dunia yang lata ini.” (SSR, 1346 H/1927 M: 62).
Kedua, menjadi hamba Allah. Menuntut ilmu lewat proses pendidikan pada hakikatnya dilakukan agar manusia itu mampu beribadah kepada-Nya secara benar. Setiap aktivitas yang tidak didasari oleh ilmu yang benar, maka ia tidak termasuk dalam kategori “amal dalam pandangan Syarak.” (SSR, 1929: 128).
Ketiga, memiliki akhlak mulia. Mendidik akhlak yang baik itu perlu pendidikan di lembaga formal. Seseorang yang tidak sekolah atau tidak berpendidikan cenderung terpengaruh dengan lingkungannya. Orang yang tidak berpendidikan, ia menggambarkannya sebagai berikut: Duduk dalam kampung, atau duduk banagari, tidak ada sekolahnya, hanya nan banyak tiru-tiruan, caliaklah kanak-kanak kini, dibiar sajo salironyo, kadang kandaknyo nan diturut, nan tak dimakan alur patut, lah babanak ka ampu kaki, batareh ka ujuang dahan, alamat dunia ka binaso, dangalah pepatah Minangkabau, maso ketek taranja-ranja, lah gadang tabao-bao, sampai tuo tarubah tido,(SSR, 1930: 10-11).
Keempat, menjadi insan yang cerdas. Dengan belajar ke sekolah, maka seorang anak akan mampu tulis-baca dan berhitung. Dengan begitu ia bisa berbuat sesuatu dengan senang hati sehingga memperoleh keselamatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya (SSR, 1930: 12).
Materi
Syekh Sulaiman ar-Rasuli memandang bahwa materi pendidikan yang paling utama adalah ilmu-ilmu yang berorientasi pada tafaqquh fi al-din. Ilmu-ilmu tersebut dituntut hendaklah atas motivasi keimanan kepada Allah sehingga muncul sifat ikhlas karena Allah semata, bukan untuk duniawi (SSR, 1930: 26).Ia menulis:
Baikkan niat jo sangajo, menuntut karano Allah, apo ilmu nan lah dapek barang pangajian nan lah matang taraso, dipakai diamalkan ka bekal pulang ka akhirat. Jangan sangajo untuak dunia, tuah pangkat, uang jo pitih, sakali jangan itu anak. Sabagai anak kanduang, manuntut ado tartibnyo, paralu ain (fardh ain) dahulukan, paralu kifayah (fardh kifayah) nan kaduo, sudah itu sunat-sunat.
Materi pendidikan yang lebih berorientasi pada ilmu-ilmu agama juga pernah ia ungkapkan kepada murid-muridnya, “Jan padi disisiak jo ilalang” (jangan padi disisip dengan ilalang) dan ungkapan lain, “Banyakkan buah dari pada daun.” Nasehat ini mengisyaratkan bahwa MTI yang ia dirikan untuk mendidik para santri agar memahami ilmu agama, jangan sampai rusak konsentrasi santri belajar karenanya banyaknya ilmu umum yang dipelajari (Amilizar, Wawancara, 9 Juli 2013).
Meskipun demikian, ia tidak menolak ilmu-ilmu dalam kategori umum, tetapi ia mengkritik orang-orang yang sibuk menuntut ilmu dunia tetapi tidak mengetahui ilmu-ilmu agama. Menurutnya, perkembangan ilmu agama semakin lama semakin berkurang. Berbeda halnya dengan ilmu umum yang semakin lama semakin berkembang, apalagi adanya pergaulan dengan budaya bangsa asing yang banyak hal bertentangan dengan ajaran agama. Tetapi, sulit melahirkan para mujtahid di bidang agama, karena cahaya nubuwah semakin lama semakin gelap (SSR, 1346 H/1927 M: 57). Karena itu, kajian ilmu agama menjadi prioritas.
Di antara materi pendidikan yang harus dipelajari, dapat diklasifikasikan menjadi enam, yaitu: 1) Al-Qur’ān dan Hadis; harus didukung oleh ilmu-ilmu lain, di antaranya: Ilmu bahasa Arab yang memiliki dua belas cabang, Ilmu ushul, Ilmu al-Qur’ān, Ilmu Hadis; dan Ilmu-ilmu alat dalam berijtihad; 2) Bahasa Arab sebagai ilmu alat; 3) Aqidah/Tauhid; 4) Fiqh; 5) Akhlak; dan 6) Keterampilan (SSR, 1930: 29-30).
Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Metode Pendidikan
Jika ditelaah karya-karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli, dapat dirumuskan bahwa terdapat lima metode penting dalam pendidikan. Pertama, metode keteladanan. Ia menyebutkan bahwa seorang guru harus menjadi “suluah bendang di nagari, camin taruih dalam suku…(SSR, 1930: 30), yang bermakna bahwa seorang guru harus seperti cermin. Peserta didik cenderung meniru perkataan dan perbuatan gurunya, atau guru menjadi sumber rujukan dalam berbuat. Kedua, metode kisah. Pentingnya metode kisah tampak dalam kitabnya “Pedoman Hidoep di Alam Minangkabau,” yang menjelaskan pola pendidikan Siti Budiman yang menggunakan metode kisah untuk mendidik anaknya (SSR, 1930: 20). Ketiga, metode pembiasaan. Pembiasaan sejak usia dini relevan dengan pepatah Minangkabau yang juga ia kutip: “maso ketek taranja-ranja, lah gadang tabao-bao, sampai tuo tarubah tido,” (SSR, 1930: 11). Keempat, metode nasehat. Kelima, metode bertahap (al-tadrīj). Pentingnya metode ini, ia tulis dalam bentuk nasehat: Alah jadi itu dahulu, untuk bamulo kaji sajo, otak anak belum kuat, pikiran belum tatap bana, kok den tambah bana banyak-banyak, ka lepas sajo keluar, elok saketek-saketek asal tatap, apo gunonyo banyak taserak” (1930: 20).
Selain dari lima metode di atas, dapat pula dirumuskan enam prinsip metode pendidikan Islam dalam pemikiran Syekh Sulaiman. Pertama, prinsip kesesuaian psikologi perkembangan jiwa anak. Ia menulis, “Hikmah dan gunanya merahasiakan sebahagian dari pada ilmu kepada setengah manusia ialah karena dada manusia itu belum patut menerima ilmu yang dirahasiakan itu, seperti kanak-kanak yang belum mempunyai gigi dan geraman, tidak boleh diberi makanan keras.” (SSR, 1954: 10). Kedua, prinsip kesesuaian dengan tingkat kecerdasan peserta didik. Ketika menasehati anak yang masih kecil, ia berpesan: “Kalau ditunjuk-diajari, pemahaman dan daya akalnya belum sempurna, rasanya tidak akan lekat apa yang disampaikan. Seperti air hujan jatuh ke pasir, bagaikan sumpit diisi nasi, masuk bisa tapi rasanya tak ada yang dapat. Kalau sudah masuk dia ke sekolah, sudah berpaham dan berakal agak sedikit, sudah paham apa yang dikatakan, di situlah baru ditunjuk diajari, Insya Allah bisa melekat.” (SSR, 1930: 13).
Ketiga, prinsip kesesuaian dengan lingkungan di mana ilmu tersebut akan disampaikan. Ia menulis, Sungguah pun anak basekolah, salamo nyawo di kanduang badan, agamo jangan anak gadaikan, adat jangan anak jual. (SSR, 1930: 22). Maka sesuaikan pelaksanaan pendidikan dengan kearifan lokal.Keempat, prinsip penyajian materi secara tertib, sesuai alur dan patut. Ia menulis, “Menuntut ilmu harus tertib, dahulukan yang fardhu baru yang sunat-sunat” (SSR, 1930: 26). Kelima, prinsip spesifikasi keilmuan. Ia menulis, “Mambali sabanyak pitih, bababan kiro katajujuang, mamakan kiro katalulua. Jangan bak cando urang kini, sifat rambang dipakainyo, itu taragak iko katuju, makasuid sagalo pandai,” (SSR, 1930: 26).Nasehatini mengandung makna bahwa ilmu yang dituntut itu harus spesifik, jangan semua bidang keilmuan yang di luar kemampuan ingin dikuasai.Keenam, prinsip holistik dan terintegrasi dalam penyajian materi. Ia menulis:
Kalau mangaji di sekolah, kaji kitab sampai-sampai dari awal lalu ka akhirnyo, dari pangka sampai ka ujuang, makasuik matan habiskan bana, nan mutlak ado qa’idnyo, nan umum ado khususnyo, letakkan ayat di tampeknyo, begitu hadits kata nabi, kata ulama dalam kitab, jangan ditukar maksudnya. Jangan semacam muda kini, mangaji bakariak-kariak, kaji kutipan nan dipakai, diambil mana nan murah, atau sekira nan katuju, di salin ka buku hijau, sangkut pautnyo jo nan lain-lain, saketek tidak nan tantu, saseklah paham kasudahan, jadi manggaduah dalam kampuang, mangusuik urang di nagari, lah putuih silaturrahmi, bacarai anak dengan bapak basibak mamak jo kamanakan guru jo murid jan disabuik (1930: 30).
Hakikat dan Kode Etik Pendidik
Syekh Sulaiman ar-Rasuli memahami peran guru sebagai ulama yang tidak saja bertugas untuk mendidik peserta didiknya di surau atau sekolah, tetapi berperan sebagai orang yang memiliki ilmu secara mendalam, sebagai pelindung dan pembimbing bagi masyarakat. Dalam hal ini, istilah yang digunakannya adalah “jadi guru di nan banyak, suluah bendang di nagari, camin taruih dalam suku, tampek batanyo di rakyat.” (1930: 30-31).
Peran guru sebagai ulama juga diakui oleh Abuddin Nata (2005: 238-239). Menurutnya, dalam perannya sebagai ulama, seorang guru harus menguasai ilmu agama dan ilmu secara mendalam, mau mengajarkan ilmunya itu atas panggilan agama; memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan bagi masyarakat; mengembangkan ilmunya secara terus menerus, melakukan peran sebagai pelindung dan pembimbing masyarakat, sebagai motivator dalam pembangunan, melakukan peran sebagai tokoh masyarakat, pemimpin perang, hakim yang memutuskan perkara, penasihat, tenaga medis, dan sebagainya. Peran-peran yang dimainkan para ulama ini juga merupakan peran yang harus dimainkan oleh seorang guru.
Namun Syekh Sulaiman ar-Rasuli mengkritik ulama dengan membaginya kepada tujuh bagian (1930: 60). Pertama, ulama matahari; suluah bendang di nagari, camin taruih dalam suku, kok iduik bakeh batanyo, kok mati tampek bakawal, itu ulama sabananyo. Tipe ulama ini menunjukkan tipe guru yang ideal, yaitu profesional dalam menjalankan tugasnya, mendidik, mencerdaskan, dan mencerahkan peserta didiknya serta menjadi teladan dan penuh kasih sayang.
Kedua, ulama sumbu lampu; ulama banyak bafatwa, tapi untuak urang sajo, sakali tidak diamalkan, urang banyak dapek faedah, badan sendiri nan di bakar, sabab tidak ada mengamalkan. Ini adalah tipe guru yang pandai menyampaikan materi, tetapi tidak menjadi teladan. Ia hanya memainkan perannya sebagai orang yang memindahkan ilmu (transfer of knowledge), tetapi tidak mampu melakukan internalisasi nilai (internalization of values).
Ketiga, ulama nan pamacah; Fatwanyo banyak nan ganjia, kajinyo banyak nan baru, pamacah urang sakampuang, pancarai anak jo bapak, pamutuih silaturrahmi, panghasuang malawan guru, danga nagari lah kusuik, sabab marampas karajo urang, naik mimbar jadi khatib, tidak siapo nan manyuruah, sadang wak nyo balum khatibnyo, sampai manyusah pamarintah. Tipe ulama ini adalah guru yang bersifat provokatif, pembela status quo, sulit menerima apalagi melakukan inovasi/perubahan yang positif. Biasanya, guru seperti ini penentang inovasi pendidikan yang diterapkan.
Keempat, ulama banyak lancah; Iyo ulama nan pajalan, tiok pasar dijalangnyo, tiok pakan dituruiknyo, habis nagari ditampuahnyo, satu tidak nan diturik, hanyo samato lancah sajo, diam disitu anam bulan baranjak pulo ke sini, diam di sini duo bulan, pindah pulo ka nan lain, lasak badukuang tu namonyo, dari lutuik nak ka bahu, dari bahu ka kapalo, itulah sifat ulama lancah. Tipe ulama ini menunjukkan tipe guru yang selalu meninggalkan tugas pokoknya di sekolah, suka keluar tanpa alasan yang benar. Anehnya, jika ia benar berkunjung ke tempat lain, kunjungannya tidak meninggalkan pesan positif bagi orang lain. Tegasnya, keberadaannya tidak memberi manfaat bagi orang lain.
Kelima, ulama bak kancah; Iyo ulama nan lah bisu, tidak manyuruah babuek baik, tidak managah babuek jahat, tak manyampaikan hukum Tuhan, tumbuah barapek musyawarah, baliau tidak mangecek-ngecek, hanyo bamanuang-manuang sajo, kadang manggango bagai kancah. Tipe ulama ini menggambarkan tipe guru yang berpangku tangan, tidak mau tahu tentang program sekolah. Jika ada inovasi pendidikan yang diterapkan, ia tidak memberi respons; menolak atau menerima. Lebih celakanya, ia juga membiarkan perangai anak didiknya, baik atau buruk.
Keenam, ulama ruok sabun; Ulama nan kurang kaji, tapi maruok inyo pandai, kalau tabligh di muko umum, dihafal ayat sapotong dilancar hadits sabuah, lalu diruok dihotakan, ditambah jo kecek banyak, sampai ka langik ka awan biru, lalu ka makah ka bano roma, mangeser pulo ka tanah cino, harilah sampai tangah malam, si pandanga lah banyak lalok, sabuah tidak nan dapek, hanyo dek kanyang ruok sajo, bak makan jo gulai amba, dagiang sapotong dalam pinggan, rempahnyo hampia sakatidiang. Tipe ulama ini menunjukkan tipe guru yang kurang ilmu, hanya pandai berapologi dan banyak bicara. Kompetensinya rendah, tetapi pandai berkilah sehingga anak didik pun tidak memiliki kompetensi sebagaimana yang diinginkan.
Ketujuh, ulama nan pangkauik; Apo kaji nan kaluar baik fatwa nan ka tangah lain tak bukan maksudnyo, hanyolah untuang diri sajo, membanyakkan isi sakuih, mampagadang isi dompet, bak ilmu urang mangauik, mahelo manulak tidak, itu ulama sifat riya, manjual agamo dengan dunia. Tipe ulama ini menggambarkan tipe guru yang pragmatis dan materialistis. Setiap kali mengerjakan tugas yang diberikan selalu dihitung dengan materi. Jika ia seorang guru yang telah diberi gaji, maka prinsip hidupnya: “kerja tidak mau bertambah, gaji tidak mau berkurang.” (1930: 60)
Mengenai pembagian ulama ini juga pernah ditulis oleh Imam al-Ghazali. Dalam kitabnya Ihyā’ Ulūm al-dīn, Imam al-Ghazali (1991: 120-153) membagi tipe ulama menjadi dua, yaitu ulama al-sū’ dan ulama akhirat. Ulama al-sū’ adalah ulama yang buruk di mana tujuan mereka dari ilmu adalah menikmati dunia dan dapat mencapai pangkat dan kedudukan bagi ahlinya. Adapun ulama akhirat adalah ulama yang sebenarnya. Tanda-tandanya adalah: (1) ia tidak mencari dunia dengan ilmunya, bersifat khusyu’ dan zuhud; (2) perbuatannya tidak berlainan dengan perkataannya, bahkan ia tidak memerintahkan sesuatu selama ia tidak menjadi orang yang mengamalkannya; (3) perhatiannya untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat di akhirat, yang menggemarkan untuk taat, ia menjauhi ilmu-ilmu yang sedikit manfaatnya, dan banyak perdebatan dan omong kosong; (4) ia tidak cenderung kepada kemewahan dalam makanan dan minuman, pakaian yang indah, perabot dan tempat tinggal yang elok-elok; (5) ia menjauh dari sultan-sultan atau penguasa; (6) ia tidak segera memberi fatwa tetapi ia menghentikan dan menjaga apa yang didapatinya untuk mencari jalan terbaik; dan (6) lebih banyak perhatiannya kepada ilmu batin, mengawasi hati, mengenal dan menempuh jalan akhirat, dan membenarkan harapan tentang terbukanya hal itu dari mujahadah dan muraqabah.
Selain itu, terdapat pula gagasan Syekh Sulaiman yang dapat dikategorikan sebagai kode etik pendidik. Ia menulis: Mengenai kode etik guru ini, ia menulis: Anak kok lapeh di sekolah, tamat kelas tujuah, dapek surek dari guru, surek ploma maso kini, surek ijazah kadang namonyo, di siko anak mako susah, sabagai duduak di mato pedang, bak manitih banang sahalai, murah jatuhnyo kiri kanan. Anak kok duduk dalam kampuang, jadi guru di nan banyak, suluah bendang di nagari, camin taruih dalam suku…(1930: 30).
Ia juga menulis: Urang kok datang sakaliliang, nak manguji pado anak, bagi-bagi derajatnyo, ado kayo ado miskin, ado mulia ado hina, siko anak tagak lurus, samo disayangi dikasihi, sangkolah murid anak kanduang, jangan bak cando nan den caliak, bamurid balabiah kurang, agak sayang ka nan kayo, agak kasih ka nan mulia, tando mangajar tak ikhlas, itu basifat riya, masuak narako kasudahan (1930: 31).
Pentingnya kasih sayang guru kepada murid dan menganggapnya sebagai anak kandung, juga dikemukakan oleh Imam al-Ghazali (2009: 171). Menurutnya, tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang guru adalah “belas kasih kepada orang-orang yang belajar dan memperlakukan mereka seperti memperlakukan anak-anaknya.”Dalam hal ini, al-Ghazali juga mengutip hadis Rasulullah SAW:اِنَّمَا اَنَالَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِArtinya: Sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya. (HR. Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah dan Ibn Hibbah dari Abu Hurairah).
Syekh Sulaiman juga berpendapat bahwa sosok guru harus mampu bekerjasama dengan umara. Ia menulis, “Apo pangajian nan maraso, nan balum biaso diamalkan, balum tapakai di nagari, elok panghulu malalukan, ulama tingga bafatwa, bunyi pepatah Minangkabau, syarak mangato adat mamakai.”(SSR, 1930: 30-31).
Guru harus berhati-hati berpendapat, jangan tergesa-gesa. Ia menulis: Kalau datang urang batanyo, tantang hukuman agamo kito, halal haram sah jo batal, sunat paralu jo makruh, di siko anak labiah susah, narako sajo tantangannyo, ingeklah anak kato junjuangan…urang barani bafatwa, itu barani masuak narako (SSR, 1930: 32).
Untuk menjaga kehati-hatian, seorang guru bisa menunda waktu untuk menentukan solusi atau menjawab tentang suatu persoalan, itu pun jika masih memungkinkan. Jika tidak, maka seorang guru harus mengakui ketidaktahuannya. Ia tidak boleh malu untuk mengakui sesuatu yang benar-benar tidak diketahuinya. Sikap semacam ini juga dilakukan oleh ulama-ulama terkemuka zaman dahulu. Syekh Sulaiman ar-Rasuli mencontohkan Imam Malik, guru dari Imam Syafi’i, 40 orang datang bertanya, hanya 4 saja yang ia jawab. Selebihnya ia menjawab “tidak tahu.”
Guru juga harus menghormati yang lebih tua darinya. “Sabuah lai anak kanduang, kalau ado urang nan alim, nan lah tuo dari anak, elok baliau bafatwa, anak mandangalah dahulu. Pado maso sahabat batolak-tolak bafatwa (SSR, 1930: 32). Dari beberapa tulisan itu, maka kode etik guru dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) menjadi teladan bagi orang lain, 2) memiliki jiwa sosial yang tinggi atau pandai bermasyarakat, 3) bekerja sama dengan umara, 4) bersifat Adil (tagak luruih) kepada peserta didik, 5) penuh kasih sayang kepada peserta didik, 6) memperlakukan peserta didik seperti anak kandung, 7) memiliki sifat ikhlas, 8) hati-hati dalam berpendapat dan jangan tergesa-gesa, 9) mengakui kelemahan diri jika tidak mengetahui, dan 10) menghormati orang yang lebih mendalam ilmunya.[]
Leave a Review