Menjadi ulama, atau penggerak agama adalah sebuah cita-cita luhur yang (mungkin) banyak diidam-idamkan masyarakat, khususnya di Minangkabau. Catatan sejarah menuliskan bahwa hampir setiap pelosok negeri ini mempunyai ulama-ulama hebat sebagai tiang pancang agama di sana. Hal ini menyebabkan banyak orang yang bercita-cita untuk menjadi ulama di Minangkabau. Jika diri sendiri tak bisa menjadi ulama, anak keturunan dan kolega-kolega lah yang akan diharapkan untuk menjadi ulama.
Syarat utama dalam proyek mencetak ulama ini adalah menyerahkan si calon ulama ke guru-guru agama untuk diajar sedemikian rupa sampai alim. Dewasa ini, guru-guru agama bisa ditemukan di Madrasah/Pesantren. Alhasil, untuk menjadi seorang ulama, si calon ulama harus mengenyam pendidikan Madrasah/Pesantren hingga selesai. Hal ini senada dengan misi mayoritas Madrasah/Pesantren di Minangkabau, yaitu mencetak ulama-ulama penegak agama Allah Swt.
Namun dalam perjalanannya, menjalankan proyek ini tak mudah. Sangat sulit untuk menjadi seorang ulama. Tak ada renang ke tepian jika tak ada rakit ke hulu. Salah satu cobaan terberat seseorang dalam menjalani proses menjadi ulama adalah bertahan. Saringan alam dalam pendidikan agama itu sangat rapat. Tak banyak yang mampu bertahan hingga akhir di Madrasah/Pesantren. Berbagai alasan pun mengikutinya sebagai pembenaran atas terdiskualifikasinya seseorang dalam menerpa diri untuk jadi seorang ulama.
Untuk bertahan di Madrasah/Pesantren sampai jadi ulama itu butuh semacam support system. Tidak hanya keinginan diri si calon ulama sendiri, juga tidak hanya dukungan penuh orang tuanya saja. Tapi lebih dari itu. Jika hanya karena keinginan dirinya sendiri, suatu hari keinginan itu akan tergantikan oleh rasa jenuh dan masalah-masalah pribadi yang muncul di pertengahan jalan. Jika hanya dukungan kedua orang tua saja, keduanya akan luluh ketika anaknya merengek minta berhenti dari beratnya perjuangan menjadi seorang ulama.
Support system yang dimaksud adalah semacam jaringan yang terstruktur rapi yang akan saling mengisi dalam prosesnya. Berupa dukungan secara masif dari dirinya sendiri, keluarga inti, keluarga besar, ninik mamak, datuk, guru ngajinya di kampung halaman, dan sebagian besar orang kampungnya. Semua ini harus saling berjejaring dalam menyupport si calon ulama saat menjalani prosesnya. Ini yang membedakan pendidikan Madrasah/Pesantren dari sekolah umum.
Bentuk pengejawantahan support system ini tampak dari hal-hal sebagai berikut; saat pertama kali datang ke Madrasah/Pesantren, biasanya si calon ulama tidak hanya diantar oleh kedua orang tuanya saja, tapi semua yang tersebut di atas akan datang beramai-ramai ke Madrasah/Pesantren, sebagai simbol kepada si calon ulama bahwa dia sangat diharapkan oleh orang banyak. Tak hanya sampai di sana, saat prosesnya berjalan, semua orang akan turut turun tangan. Tak heran jika di Minangkabau tempo dulu, setiap kali seorang calon ulama pulang ke rumah orang tuanya, ia akan dikunjungi orang-orang hanya sekedar ingin tahu bagaimana proses yang ia lalui. Tak jarang juga mereka juga ikut urun menitipkan bekal untuk dibawa kembali ke Madrasah/Pesantrennya. Lagi-lagi ini juga simbol harapan kepada si calon ulama. Lantas, bagaimana mungkin si calon ulama akan patah semangat dan keluar dari medan juang saat support systemnya ini begitu rapi dan massf?
Lalu, saat si calon ulama dinyatakan lulus dari pendidikannya, atau layak untuk berkiprah ke tengah masyarakat, semua support systemnya tadi akan datang lagi beramai-ramai ke Madrasah/Pesantren untuk menjemputnya. Jika ada semacam seremoni penghargaan, mereka pun akan turun tangan kembali. Bagi mereka, proyek mencetak ulama itu ibarat berladang. Sebelum memanen hasilnya, mereka akan memupuk dan menyiraminya secara bersama-sama terlebih dahulu. Walhasil, bagaimana mungkin pohon akan lupa sama pupuk dan air penyiramnya! Akhirnya itulah yang menjadikan seorang ulama merasa bertanggung jawab atas keberagamaan umat, terkhusus koleganya sendiri.
Agaknya support system ini yang mulai alpa dari pendidikan keagamaan hari ini. Proses pencetakan ulama diserahkan secara penuh kepada kedua orang tua dan Madrasah/Pesantren saja. Sehingga, ketika si calon ulama menyerah dari kerasnya perjuangan, dan karena sayang sama anak, kedua orang tuanya juga tak tega melihat anaknya berjuang, akhirnya proyek percetakan ulama itu pun pupus.[]
Leave a Review