Surat untuk Bintang Surat untuk Bintang Surat untuk Bintang
Oleh : Hidayah Tullah
Aku terdiam bersandar di bawah pohon, dua jam berlalu yang kulakukan hanya memandang langit pekat dengan sepasang earphone yang menyumbat telinga, i’ll be loving you (forever) oleh new kids on the block mengalun indah mengiringi malam. Tiga tahun lalu lagu ini menjadi salah satu lagu yang paling aku benci karna liriknya yang begitu cringe bagi remaja tahun 2000-an. Sembari lagu mengalun aku menatap album kenangan yang tak lagi ku sentuh sejak hari itu, setiap lembaran yang terlewati membuatku tertawa pedih, bagaimana bisa ia masih terlihat cantik walau hidup dengan penuh rasa sakit selama ini.
Minggu pagi di awal tahun 2017, i’ll be loving you (forever) mengalun merdu dari DVD tua peninggalan ayah, lagu yang katanya menjadi saksi percintaan mereka, lagu yang membuat ibu luluh dengan ayah dan menjadi bukti cinta mati ayah hingga ayah pergi lebih dulu.
Ibu bukan lulusan sarjana dengan perkerjaan dengan jabatan tinggi oleh karna itu selepas kepergian ayah ibu memilih berkerja katering untuk menyambung hidup.
“Kakak bangun, ayo bantu ibu antar katering.”
“bentar kakak pakai jilbab dulu,”
Beginilah saat hari libur suara ibu yang merdu selalu menjadi alarm terbaik untuk membuat anaknya terbangun dari mimpi indah, pagi ini katering ibu cukup banyak sebab Bu Lurah sedang ada acara syukuran suaminya yang naik pangkat.
“Duh Rere dah dateng, ayo masuk-masuk, sini ibu bantuin angkat ke dalam”
Bu Lurah membantu membawa katering ke dalam rumah, dan kalimat andalan bu Lurah terucap.
“Rere makin gede senyumnya makin mirip mama ya, anak mama banget ini mah.”
Aku yang sudah hafal dengan kalimat itu hanya tersenyum simpul, pasalnya aku bukan anak yang diambil dari pinggir jalan jadi wajar jika wajah dan senyumku sangat mirip dengan ibu.
Kalian tahu hal yang paling tidak menyenangkan setelah sesi masak-masak adalah cuci piring, biasanya dalam sesi cuci piring tugasku hanya bagian membilas saja karena, jika aku bagian menyabuni piring maka sabun cuci piring akan cepat sekali habis oleh ku dan berakhir dengan ibu yang menceramahi ku dengan kata-kata “kita harus hemat Rere”. Selama cuci piring lagu new kids on the block selalu terdengar, lagu jadul tahun 80-an itu mempunyai tempat tersendiri di hati ibu.
“Ibu, ganti lagu ah. Bosen lagu jadul mulu”
“Coba kamu hayati setiap lirik yang keluar, makna-maknanya dalam tahu, Re,”
“Ibu mah bilang aja kali kalo kangen sama ayah gausah gaya-gayaan bilang maknanya dalam”
Kali ini aku salah, membawa nama ayah dalam sebuah candaan adalah hal yang fatal. Benar saja ibu hanya membalas candaanku dengan senyuman manis tapi di balik senyum itu ada luka. Aku yang merasa bersalah hanya bisa memeluk ibu sambil mengucapkan kata maaf, walau ibu membalas dengan kalimat tidak apa-apa, aku tau ibu sangat terluka.
Hari ini aku terlambat pergi ke sekolah karena harus membantu ibu menyiapkan katering untuk besok, bahkan tadi pagi aku tidak sempat sarapan hanya karena waktu sarapanku habis untuk mencari kaos kakiku yang hilang. Sepulang sekolah aku lihat rumah sangat sepi biasanya lagu kesayangan ibu terdengar dari jauh menyambutku pulang.
Apa ibu pergi mengantarkan katering?
Tapi katering ibu ada di atas meja, aku pergi ke kamar dan benar saja ibu ada di kamar sedang tidur dengan tangan yang memegang perutnya.
“Ibu kenapa, ibu sakit?”
“ Enggak ibu cuma telat makan, makanya perut ibu sakit, Rere tolong antar katering ke rumah bu Fatma ya, kasian sudah nunggu dari tadi.” Ucap ibu.
“Iya bu, Rere ganti baju dulu nanti sekalian Rere beliin obat ya.”
Aku kembali dengan plastik berisi obat dengan air di tangan aku kembali ke kamar, kulihat ibu tak sadarkan diri ibu begitu pucat, aku keluar meminta tolong bu Lurah untuk membawa ibu ke rumah sakit.
Baca Juga: Hadirnya Pelangi untuk Mars
Dunia kini tidak lagi begitu menarik ketika ibu sakit, terlebih aku baru tahu sakit apa yang diderita ibu. Kerusakan pada ginjal ibu membuat terjadinya penumpukan cairan, limbah, dan racun di dalam tubuh. Pantas saja aku sering melihat ibu meminum obat diam-diam yang apabila kutanya selalu ibu jawab itu adalah vitamin. Bu Lurah menyuruhku pulang karena kondisiku benar-benar tidak memungkinkan untuk aku tinggal di rumah sakit. Beliau yang akan menjaga ibu malam ini.
Aku pulang dan berdoa pada tuhan, aku benar-benar takut ibu tidak lagi sadar dan pergi seperti ayah. Selama ini aku selalu berkata pada tuhan semua semua orang boleh pergi tapi tidak dengan ibu, aku takut nanti duniaku berhenti. Aku tertidur dengan posisi masih mengenakan mukena.
Ingin rasanya aku membolos dan pergi ke rumah sakit tapi ibu tak akan suka anak gadis kesayangannya tidak pergi sekolah. Pulang sekolah aku tidak pergi pulang ke rumah, aku langsung pergi menjenguk ibu. Ibu hanya bisa tiduran di kasur karena kerusakan ginjalnya sudah begitu parah membuat cairan sudah begitu banyak yang tertumpuk.
Sudah seminggu lebih ibu masih di rawat di rumah sakit hari ini tanggal 15 Oktober aku datang membawa tart bertulisan happy birthday, Rere. Tahun ini sedikit berbeda, biasanya kami merayakan ulang tahun dengan pergi jalan-jalan kali ini kami hanya merayakan di rumah sakit dengan teman-teman sekamar ibu.
“Ibu cepat sembuh ya, biar nanti kita bisa jalan-jalan buat kado ulang tahun Rere, tahun ini”
“Kata dokter ibu masih lama dirawat, kalo besok gimana kita jalan-jalan keliling rumah sakit aja” ujar ibu dengan semangat.
“Emang boleh bu, ibu dah enakan?”
“Bolehlah lagian ibu capek di kamar terus, besok ayo kita cari angin segar”
Pagi ini matahari seakan begitu bersemangat mengikutiku ke rumah sakit, ipod tua milik ibu juga ikut serta pergi hari ini, ibu bilang ia rindu dengan new kids on the block. Kursi roda bergerak dengan mulus di koridor rumah sakit, ibu sudah lebih sehat terlihat dari senyumnya yang tampak manis. Jalan-jalan hari ini berakhir dengan bersantainya kami di kolam ikan, ibu bilang ikannya terlihat enak jika digoreng padahal itu ikan hias tidak bisa digoreng.
Ibu bercanda tentang apa saja tentang daun, hujan, bahkan tentang hidup. Aku benci topik pembicaraan ini seakan-akan ibu sudah memprediksi hidupnya tidak akan lama lagi. Aku meninggalkan ibu ditepi kolam, aku pulang dengan perasaan marah aku benci pembicaraan itu aku tidak ingin ibu pergi, bukan tidak ingin tapi takut ibu pergi.
Malam ini hujan dan aku benci hujan setiap tetesannya memberikan luka, baru sejam aku tertidur handphoneku bergetar aku kira itu pesan spam yang biasa aku terima dari operator. Tapi spam kali ini berbeda tidak mungkin operator mengirimiku pesan tanpa jeda seperti ini, aku bangun aku baca satu demi satu pesan yang terkirim, isinya semua sama.
Aku berlari dengan baju tidur yang basah oleh hujan aku bahkan sampai terlupa mengenakan jilbabku, ini terjadi, ibuku pergi, duniaku pergi. Ibu terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit, aku menyesal marah pada ibu aku menyesal meninggalkan ibu sendiri di tepi kolam.
“Ibu….” aku menangis di pelukannya, sesenggukan, terisak menangis seperti orang gila hingga keluarga pasien menenangkanku yang histeris.
Baca Juga: Air Mata Kirana yang Tak Terbendung
Aku diam memandangi tanah merah basah dengan kayu bertulisan Ningsih, kini aku sendirian umurku bahkan baru menginjak 17 tahun kemarin dan sekarang aku tidak ada siapa-siapa. Siapa nanti yang membantuku mencari kaos kaki di pagi hari, siapa nanti yang membangunkanku saat aku hampir terlambat sekolah.
Tuhan bolehkah aku mengelak takdirmu kali ini. Ibu bahkan belum melihatku mengenakan toga, ibu belum melihatku menikah dan melahirkan cucu yang lucu. Tuhan kenapa harus terjadi padaku, kenapa harus ibuku aku benci hidup sendirian.
Tanpa kusadar ibu sekarang sudah tidak lagi merasa sakit. Kutuliskan surat untuk bintang kutitipkan dia padamu jangan buat dia terluka.[]
Leave a Review