Di dataran tinggi yang cukup makmur, Luak nan Bungsu, dilingkupi bukit-bukit hijau dengan pemandangan sesawahan bak permadani terhampar, dilengkapi udara khas tropis yang menyiratkan keakraban alam dengan manusia, berikut jejeran rumah-rumah gadang berbagai ukiran yang tetap tegak tegap mengisyaratkan kehidupan masyarakat Minangkabau yang masih kental, di sinilah berdiri sebuah surau tua dengan tonggak-tonggak kayunya yang seakan tak pupus digulung zaman. Itulah surau Batu Bulan, surau lama yang berusia entah berapa abad, namun tetap eksis meski tak sejaya dahulu pastinya.
Surau Batu Bulan adalah salah satu tonggak sejarah pendidikan Islam yang penting bagi masyarakat Talang Maua. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, di surau kayu yang berhawa sejuk itu ramai dikunjungi orang-orangsiak (santri dalam istilah Jawa) dari berbagai penjuru negeri di Limapuluh Kota untuk menimba ilmu keislaman kepada ulama terkemuka yang diam berkhitmat di sana. Nama ulama itu masih dikenang, meskipun riwayat perjalanannya tak lagi diperdengarkan, dia ialah Syekh Isma’il al-Khalidi (nama ulama ini jangan dikacaukan dengan Syekh Isma’il bin Abdullah, yang wafat sekitar tahun 1850-an, penyebar tariekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah yang terkemuka itu).
Baca Juga: Surau Belubus- Pusek Jalo Pumpunan Ikan
Penyebutan “al-Khalidi” dibelakang nama beliau merupakan nisbah kepada tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah (menurut gurisan silsilah Maulana Syekh Khalid Kurdi) yang dianut dan diamalkannya. Adapun aktivitas transmisi keilmuan di Surau Batu Bulan, di samping pengajian kitab yang lazim dilakukan di tanah Melayu ini, juga pengajaran amalan tarekat Naqsyabandiyah melalui aktivitas Suluk (khalwat). Untuk yang terakhir ini, Suluk Naqsyabandi, masih sempat kita merasakan hawa dingin sebagai bekas amalan orang-orang dahulu di dalam surau ini.
Melihat kepada bentuk arsiteknya, niscaya akan terlihat ketidak lazimannya untuk tipikal surau-surau di Darek, Limapuluh Kota khususnya, surau Batu Bulan bentuk atap dan gaya persendian tonggak-tonggaknya (tiang) mirip dengan surau-surau Syathariyah di pesisir Minangkabau. Atapnya bergonjong, seperti rumah gadang, persis gaya atap Surau Syekh Burhanuddin di Tanjuang Medan (Ulakan), tidak sama dengan surau-surau tua lainnya di Darek yang mempunyai atap tumpak dan bertingkat-tingkat. Entah ada pengaruh dari pesisir, penyelidikan kita belum memadai untuk mengungkap hal ini. Sebelum pemugaran di era 80-an, bentuk asli bagian dalam surau terdiri dari 3 tingkat hingga ke puncak. Tingkat pertama dipakai untuk salat dan mengaji, sedangkan untuk tingkat atas dipakai untuk melaksanakan Suluk Tarekat Naqsyabandiyah. Layaknya di surau-surau terkemuka lainnya, makam Syekh Isma’il terletak disebelah Mihrab Surau. Makam terbuat dari adukan semen dan batu kali, keadaannya sudah runtuh dan tampak kurang terawat. Dulu, masih ramai orang-orang berziarah ke pusara Syekh Isma’il, diantaranya ada yang datang dari negeri jauh-jauh, seperti Kampar. Namun kemudian, setelah kaji Naqsyabandiyah telah dipinggirkan, hanya satu dua yang masih setia untuk mengenang ulama yang satu ini.
Pada tahun 1984, Yuwono Sudibyo (arkeolog asal Yogja) bersama Tim, dalam pelaksanaan Tugas Inventarisasi Peninggalan Tradisi Megalitik di kabupaten Limapuluh Kota pernah berkunjung ke Surau Batu Bulan. Pada saat kunjungan, berikut penelitian lapangan inilah dilakukan pemugaran terhadap surau dengan terlebih dahulu melakukan pembongkaran terhadap dinding surau yang hampir rapuh. Pembukaan dinding dilakukan bersama-sama, pada saat itu banyak ditemui naskah-naskah kuno yang sengaja ditaruh dalam lapiras dinding. Naskah tersebut berbagai ukuran, mulai dari yang kecil hingga yang besar dan tebal-tebal. Beberapa barang antik pun sempat ditemui, diantaranya keris-keris usang yang terletak dalam lembar-lembar naskah itu. Konon, sebahagian naskah yang berupa lembaran di bakar anak-anak mengaji, alasan sepelenya karena tak tahu gunanya, mengenai naskah-naskah lainnya, menurut informasi dibawa oleh tim. Keberadaan naskah-naskah ini dibenarkan oleh H. Amirulis Yakun Dt. Majo Indo, tokoh masyarakat Batu Bulan, bahwa dahulu di masa PRRI, banyak naskah-naskah itu sengaja disembunyikan di semak belukar, sedang pemiliknya lari ke hutan, hingga kampung Batu Bulan tak berpenghuni. Ketika kembali, rupanya naskah-naskah itu telah rusak akibat rembesan air. Maka naskah-naskah ini akhirnya pun hanya tinggal cerita.
Baca Juga: Angku Syekh Jamaluddin dan Surau Parak Pisang
Inilah sekadar riwayat Surau Batu Bulan, sebagai bukti keemasan masa lalu di Minangkabau. Di masa ulama, kitab dan amalan tarekat Sufiyah masih dipegang erat; cerminan bagi kita yang lama tenggelam, untuk mambangkit batang tarandam di kemudian waktu.[]
*Ditulis berdasarkan perjalanan Ziarah penulis ke Surau Batu Bulan, Senin, 1 Agustus 2011/ 1 Ramadhan 1423 H
Leave a Review