Selain wasiat Imam Syafi’i –رحمه الله- kepada pencari ilmu yang sangat populer (أخي لن تنال العلم إلا بستة), guru-guru kami di Al-Azhar juga sering memberikan pesan (yang bisa dibilang sebagai intisari dari wasiat Imam Syafi’i tersebut) bahwa syarat mendapatkan ilmu ada empat:
1. ‘Aql Rajjah (عقل رجاح): Akal yang kuat yang siap menerima ilmu secara bertahap dari guru.
2. Syaikh Fattah (شيخ فتاح) : Guru yang membuka jalan pemahaman bagi si murid.
3. Kutub Shihah (كتب صحاح) : Buku-buku yang valid dan terpercaya untuk dijadikan sebagai rujukan.
4. Mudawamah wa Ilhah (مداومة وإلحاح): Kontinyu, pantang menyerah dan penuh semangat.
Syarat pertama menyangkut kesiapan dan potensi akal yang mesti dimiliki seorang penuntut ilmu untuk mengarungi lautan ilmu yang sangat luas dan dalam. Syarat kedua menyangkut sosok yang akan membimbing seorang penuntut ilmu, dan ia telah lebih dahulu mengarungi lautan tersebut sehingga lebih mengerti bagaimana caranya agar selamat, tidak terombang-ambing, tidak salah arah, dan bisa meringkaskan (shorcut) perjalanan. Dengan ungkapan lain, guru adalah nakhoda kapalnya.
Syarat ketiga menyangkut sumber dan referensi yang akan digunakan dalam proses mendapatkan ilmu. Mengajarkan buku yang tidak tepat, apalagi tidak benar, berpotensi membahayakan proses menuntut ilmu, sama seperti mengarungi lautan luas dengan menggunakan sampan kecil yang rapuh.
Syarat keempat menyangkut semangat dan kontinuitas mencari ilmu. Ini akan menjadi bahan bakar yang tak pernah habis bagi seorang penuntut ilmu. Tanpanya, seorang penuntut ilmu akan berhenti di tengah jalan seperti halnya seorang mahasiswa yang meninggalkan bangku kuliah padahal baru semester dua. Atau seperti seorang pemuda yang langsung menyerah ketika menyadari bahwa jalan untuk mendapatkan si dia terlalu panjang dan ‘berdarah-darah’ (ini yang disebut mubalaghah).
Baca Juga: “Ahli Ilmu”; Orang Nusantara di Makkah dalam Catatan Sejarawan Arab di Akhir Abad ke-19 M
☆☆☆
Yang menarik untuk didiskusikan adalah poin kedua; guru. Sebegitu pentingkah posisi seorang guru sehingga ia dikatakan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan ilmu? Bukankah setiap seorang bisa saja langsung belajar dari buku (otodidak)? Perlu dicatat bahwa dalam konteks ini kita bicara tentang ilmu syar’i. Karena boleh jadi dalam disiplin ilmu yang lain, peran guru tidak terlalu signifikan.
Para ulama salaf mengatakan, ilmu itu berada di dada para ulama, hanya kemudian ‘dipindahkan’ ke buku. Namun demikian, meskipun sudah pindah ke buku, akan tetapi kuncinya tetap ada pada ulama. Ini sejalan dengan apa yang difirmankan Allah –عز وجل- dalam QS. Al-‘Ankabut ayat 49:
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
Seorang ulama abad kedelapan, Imam Muhammad asy-Syumuni al-Maghribi menggubah sebuah syair yang sangat indah:
من يأخذ العلم عن شيخ مشافهة يكن من الزيغ والتصحيف في حرم
ومن يكن آخذا للعلم عن صحف فعلمه عند أهل العلم كالعدم
Terjemahan bebasnya:
Orang yang mengambil ilmu dari mulut seorang guru
Niscaya ia jauh dari ‘tersesat’ dan keliru
Tapi orang yang mengambil ilmu dari buku
Maka ilmunya, dalam pandangan ulama, sama dengan tak ada
☆☆☆
Mungkin ada yang berkata, siapa sih di masa ini yang tidak punya guru. Semiskin-miskinnya orang, ia tentu pernah mengecap pendidikan formal di sekolah atau non formal di masyarakat. Tidak sedikit yang kemudian menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi. Bahkan, kalangan yang sering ‘dinilai’ tidak punya guru, banyak dari mereka yang meraih gelar Doktor, MA, atau setidaknya Lc di universitas-universitas ternama di Timur Tengah. Jadi, semua orang, apalagi ustadz, pasti punya guru.
Di sinilah perlunya dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘berguru’ dalam terminologi para ulama dahulu. ‘Berguru’ tidak sekadar punya guru seperti halnya murid SD punya guru, atau siswa madrasah punya ustadz. Tidak demikian.
Memang, para ulama kita mengajarkan bahwa:
مَنْ عَلَّمَكَ حَرْفًا فَهُوَ شَيْخُكَ
“Siapa yang pernah mengajarkan satu huruf padamu, maka ia adalah gurumu.”
Tapi ungkapan ini lebih bersifat nasihat agar kita menghargai semua orang, apalagi orang yang kita pernah mendapatkan ilmu darinya meskipun tampak sepele. Namun, definisi ‘guru’ yang dimaksudkan oleh para ulama tentu tidak sesederhana itu.
Guru yang dimaksud sebagai syarat mendapatkan ilmu adalah guru ‘mulazamah’ yang ‘ditetapi’ oleh sang murid (يلازمه التلميذ). Sang murid selalu datang ke majelis sang guru, mengenal dan dikenal dekat oleh sang guru. Bahkan hubungan mereka sudah seperti ayah dan anak, sehingga sang murid tidak hanya belajar ilmu guru tapi juga adab dan akhlak guru. Mulazamah seperti ini yang menimbulkan sifat tawaduk dalam diri si murid. Karena ia menyadari bahwa kalau bukan karena guru ia tidak ada apa-apanya.
Berbeda dengan sebagian ustadz (atau sudah disebut ulama) yang tidak punya guru. Ilmunya mungkin dalam dan luas. Tapi ia semua itu ia peroleh dengan usaha sendiri, tanpa bantuan seorang guru. Tidak mustahil ia bisa terjebak dalam logika Qarun:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“… apa yang aku punya adalah karena ilmu milikku…” (QS. Al-Qashash : 78)
Maka wajar, kalau sebagian mereka kurang memiliki rasa hormat kepada para ulama. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mereka terdengar ‘lancang’ dan ‘pedas’. Ini bukan hanya karena mereka tidak merasa berhutang budi pada siapapun, tapi juga karena mereka tidak belajar adab dan akhlak para ulama dari sebuah proses mulazamah.
Baca Juga: Manjalang Guru Tradisi Memuliakan Urang Siak
☆☆☆
Ketika seorang murid sudah selesai mengaji satu cabang keilmuan di bawah bimbingan seorang guru dari proses mulazamah yang cukup panjang itu, maka ia disebut:
تَخَرَّجَ بِهِ
Terjemahan bebasnya: ia alumni sang guru.
Kata مُتَخَرِّجٌ atau خِرِّيْجٌ yang berasal dari kata تَخَرَّجَ memang populer diartikan dengan ‘alumni’. Hanya bedanya, kalau dulu yang dimaksud dengan مُتَخَرِّجٌ ‘alumni’ adalah alumni seorang guru dalam cabang ilmu tertentu, tapi sekarang diartikan sebagai alumni sebuah perguruan tinggi untuk banyak cabang keilmuan.
Imam Muhammad asy-Syumuni yang syairnya kita nukil di atas memiliki guru yang banyak dalam bidang hadis. Namun dari sekian banyak gurunya, yang menjadi guru mulazamah-nya dalam bidang hadis adalah Imam al-‘Iraqi dan Imam az-Zarkasyi. Sehingga dalam biografinya dikatakan:
أخذ عن العراقي وتخرج به وبالبدر الزركشي في الحديث
☆☆☆
Hanya ada satu hal yang perlu menjadi evaluasi bagi sebagian penuntut ilmu. Beberapa dari mereka lebih mementingkan mendapat ijazah dari syekh fulan, sama’ syekh fulan dan sebagainya. Sementara mulazamah dengan syekh tersebut tidak ada. Akhirnya, ijazah hanya untuk tabarruk semata, atau bahkan –dan ini yang berbahaya- menjadi alat untuk membanggakan diri.
Padahal tujuan utama dari berguru bukan untuk mendapatkan ijazah, melainkan untuk menggali ilmu dari ahlinya serta meneladani adab dan akhlaknya.[]
جعلنا الله ممن يحب العلم ويتعلمه ويعمل به ويتنور به ويحب أهله ، آمين
Leave a Review