Beliau berasal dari Minangkabau, ayahnya adalah seorang ulama, khatib, sedangkan ibunya berasal dari keturunan bangsawan Minang. Semenjak kecil Syekh Ahmad Khatib dikenal pemberani, cerdas dan bersungguh sungguh.
Mengawali karier keilmuannya Syekh Ahmad Khatib belajar langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama dan Khatib Nagari. Merasa ilmunya masih minim, Syekh Ahmad Khatib melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Timur Tengah, tepatnya di Masjidil Haram yang merupakan sentral keilmuan dunia pada masa yang lalu.
Beliau belajar dari beberapa ulama besar Masjidil Haram yang umumnya berasal dari Keluarga Syatta yaitu Syekh Abu Bakar Syatta, Syekh Utsman Syatta dan Guru para ulama Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Adapun Syekh Abu Bakar Syatta merupakan ulama besar dan guru utamanya yang menulis Kitab Hasyiah I’anatuththalibin yang banyak dikaji di pesantren seluruh Aceh, dimana Kitab tersebut merupakan ulasan untuk Kitab Fathul Mu’in karya dari Ulama Malabar India yaitu Syekh Zainuddin Malibari. Dari Syekh Abu Bakar Syatta, Syekh Ahmad Khatib banyak mereguk ilmu.
Setelah menjadi alim yang diperhitungkan, Syekh Ahmad Khatib diambil menantu oleh seorang ulama juga hartawan Kota Makkah yaitu Syekh Saleh Kurdi, pengusaha besar yang memiliki akses ke syarif-syarif/pemimpin Makkah. Sebenarnya Syekh Ahmad Khatib menolak tawaran tersebut, karena beliau tidak memiliki finansial yang cukup, namun Syekh Saleh Kurdi yang bersedia memfasilitasi semuanya. Bahkan ada beberapa orang Arab yang meledek Syekh Saleh Kurdi dengan mengatakan “kami mendengarkan bahwa kamu menikahkan anakmu dengan orang yang baru belajar Bahasa Arab?”, Syekh Saleh menjawab “Asalkan dia pemuda yang salih dan bertakwa”. Sebenarnya celotehan-celotehan itu tidak berdasar sama sekali.
Kemudian karena penguasaan ilmu dan kesalihannya, beliau dipilih menjadi Imam, Khatib Masjidil Haram sekaligus Mufti dalam Mazhab Syafi’i. Sehingga tepatlah pujian dari muridnya, Syekh Karim Amrullah ayahnya Buya Hamka bahwa “tidak ada ulama di Arab ketika itu yang mampu bersaing dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau”, mungkin terkesan berlebihan, namun itulah pandangan para muridnya.
Selain sebagai imam di Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib juga merupakan Syekhul Masyayikh para ulama Indonesia sesudahnya, bahkan pendiri hampir seluruh organisasi keislaman. Sebut saja diantaranya adalah: Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah buya Hamka), Syekh Jamil Jaho (mertua Abuya Muda Wali), Syekh Abbas Ladang Lawas (Ayah KH Siradjuddin Abbas pengarang terkenal), Syekh Sulaiman Arrasuli (Pendiri Perti), Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Tuan Guru Zainuddin Lombok (Pendiri Nahdhatul Wathan), Syekh Hasan Maksum (Ulama besar Washliyah Medan, juga Mufti Kerajaan Deli), Syekh Khatib Ali (Tokoh Naqsyabandiyah Padang) dan banyak ulama lainnya. Bahkan pada masa itu disebutkan puncak karier seorang ulama adalah ketika bisa berjumpa dan belajar langsung dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Walaupun Syekh Ahmad Khatib tidak pernah pulang ke Indonesia, namun beliau adalah seorang nasionalis yang menyuarakan semangat untuk merdeka, dan mengangkat harkat dan martabat Indonesia di kancah internasional. Beliau juga yang ulama produktif dalam menulis. Diantara karya monumentalnya adalah Nafahat Syarah Waraqat, sebuah kitab ulasan terhadap kitab Waraqat dalam bidang Ushul Fiqh. Kitab Nafahat umumnya dikaji di seluruh pesantren di Indonesia. Dan Syekh Ahmad Khatib sebagai mana pengakuan Snouck/Haji Abdul Ghafar (penasehat Belanda), menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib adalah ulama yang tegas, tidak kompromi dengan penjajah, namun beliau intelektual Indonesia yang paling berpengaruh pada masanya. Rahimahullah rahmatan wasiatan Syekh Ahmad Khatib al Mingkabawi.
Wallahua’lam.
Leave a Review