Syekh Ahmad Khatib Minangkabau
Oleh: Ahmad Fauzi Ilyas
Bagi saya, sosok Syekh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang tokoh terkemuka ulama Nusantara di akhir abad 19 dan awal 20 masehi. Namanya sangat harum dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab namanya tercatat dengan tinta emas sebagai tokoh yang telah memberikan sumbangan keilmuan, pendidikan dan pergerakan kemerdekaan bagi Nusantara.
Banyak para peneliti dan penulis menyebutkan bahwa ia adalah tokoh di antara yang paling berpengaruh saat itu. Sebut saja contohnya, Syekh Mahmud Yunus dalam karyanya yang berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia menyebutkan bahwa ia merupakan seorang guru besar yang paling dituju oleh setiap santri dan pelajar dari Nusantara ketika berkeingian melanjutkan pelajaran mereka ke Haramain. Syekh Abdul Hamid al-Khatib, anaknya secara panjang lebar memaparkan sumbangan ayahnya di Nusantara lewat sebuah kitab yang berjudul Ahmad al-Khatib: Ba’its al-Nahdhah al-Islamiyah al-Taharruriyah fi Indunisia (Syekh Ahmad Khatib Minangkabau Sebagai Pemrakarsa Kebangkitan Islam di Indonesia). Dalam kata pengantarnya atas karya tulis di atas, Muhammad Zain Hasan, seorang konsul RI di Suriah, menyebutkan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau mempunyai pengaruh bagi dua ulama modernis yang kebetulan mereka berdua adalah muridnya di Haramain, yaitu KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Syekh Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah Buya Hamka.
Meskipun sudut pandang yang disorot dari sisi pembaruan Islam, tetapi Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, dari sisi keilmuan dan amaliyah adalah ulama Kaum Tua atau Tradisionalis menurut istilah yang sudah ada. Selain itu, dalam karyanya tentang kehidupan ulama Nusantara di Makkah yang diteliti sekitar tahun 1884 atau 1885, Snouck Hurgronje tidak menonjolkan nama ulama asal Minangkabau ini. Sebab, saat itu mahaguru ulama Nusantara awal abad 20 tersebut masih terlalu muda dan sebagai pelajar yang baru berumur sekitar 24 atau 25 tahun.
Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Wahhabi
Dari sisi keilmuan dan keulamaan, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau adalah rujukan masyarakat di Nusantara dalam memberikan fatwa terhadap masalah-masalah keagamaan yang viral dan berkembang saat itu. Tidak sedikit persoalan agama di Nusantara yang melibatkan nama besarnya. Dalam webinar tentang Ulama Nusantara dan Nasionalisme, saya menyebutkan, meski tinggal di Haramain, ia tokoh yang peduli terhadap kondisi umat Islam di Nusantara. Hal tersebut menandakan, setidaknya dari 47 karya tulisnya, sekitar 37 judul adalah sebagai respons yang ditulisnya atas permintaan dari orang-orang di Nusantara, dan 3 di antaranya sebagai sikapnya yang anti-kolonialisme Belanda.
Di antara permintaan fatwa yang diajukan kepadanya adalah persoalan hukum menjual ayam kepada Cina yang tinggal di Nusantara –dalam dokumen naskah ini adalah wilayah Mentok di Kepulauan Bangka Belitung yang sekarang sudah menjadi provinsi. Dokumen ini menurut saya sangat penting, sebab memuat fatwa dan jejaring keilmuan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau di daerah ini. Dokumen yang berisi 24 halaman dan diberi judul Ini Fatwa Maulana Syekh al-Islam wa Mufti al-Anam wa Ra’is Ulama al-Haram al-Syekh Muhammad Sa’id Babshil, Mufti al-Syafi’iyah bi Makkah al-Mahmiyah dan Fatwa Beberapa Ulama al-A’lam al-Mu’tabarin (Ini Fatwa Syaikh Muhammad Sa’id Babshil, Mufti Syafi’i di Haramain dan Beberapa Ulama Besar) yang saya peroleh dari seorang ulama yang tidak mau disebutkan identitasnya. Isinya adalah permintaan fatwa kepada ulama Minangkabau tersebut dari seorang ulama besar yang bernama Syekh Abdul Rahman Siddiq al-Banjari yang merupakan murid dan junior Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Kronologis permintaan fatwa ini berawal dari pernyataan Syekh Abdul Rahman Siddiq al-Banjari bahwa sampai tahun 1323 H, sudah mengeluarkan fatwa selama enam tahun lamanya terkait hukum haram menjual ayam kepada orang Cina. Sebab, ia mengeluarkan fatwa tersebut pada tahun 1317 H di daerah Afdeeling Mentuk. Respons terhadap fatwa tersebut beragam. Sebab, ada sebagian besar ulama di daerah tersebut menolak dan mengatakan hukumnya tidak dilarang. Di antaranya adalah Haji Madi bin Majin. Ia kemudian mengirim surat dan meminta fatwa kepada Syekh Abu al-Hasan bin Husain Talang Bali Palembang yang ada di Makkah. Ketika surat tersebut sampai di tangannya, ia dan dua sahabatnya yang lain, yaitu Syekh Umar Bali Anfanan dan Syekh Mansur Maliki sama-sama memberikan fatwa bolehnya hal tersebut. Dalam fatwa tersebut, selain berisi jawaban fatwa boleh, turut dilampirkan jawaban Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Sa’id Babshil yang menurutnya, kedua ulama tersebut mendukung jawaban yang membolehkan. Akhirnya fatwa tersebut sampai ke tangan yang bertanya, Haji Madi bin Majin dan selanjutnya menyerahkan salinannya kepada Syekh Abdul Rahmad Siddiq al-Banjari. Salinan fatwa tersebut kemudian dikirim kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan meminta fatwa atas persoalan hukum tersebut. Maka, pada hari Sabtu, 4 Syawal 1323 H, ia menerima surat darinya yang berisi sebagai berikut:
فرتما سورة توان شيخ أحمد خطيب: مندافتكن يغ مليا أديندا الحاج عبد الرحمن صديق بن محمد عفيف البنجرى يغ أدا فدا مسا إين ددالم نكرى منتوك فغكل فينغ –حفظه الله تعالى. آمين- يغ سهيا معلومكن كفد أديندا دغن سيمفن كلام سجا, يائت درفد سورة أديندا يغ ديكريم فد 20 جمد الاول, تله سهيا تريما. مك, معلومله كفد سكل يغ مذكور ددالمث. مك, سهيا توليسله ساتو سؤال كفد مفتى شافعى دان دافت جوابث دغن حرام جوال أيم إيت كفد جينا ايت. مك, سهيا سوره تيكين كفد علماء 2 يغ برتندا تاغن دباوه جواب ايت هندق سهيا بوات فركارا دغن عمر بالى دان أبو الحسن. مك, داتغ كدواث مغاكو ساله. مك, سهيا منت تندا تاغن كدواث دغم صح جواب مفتى ايت –مك, همدقله- أديندا ليهتكن جواب سؤال اين دان تندا تاغن علماء يغ ترتوليس فداث كفد سكل اورغ ملامن اديندا ايت سفيا تهو مركئت اكن بهوساث ابو الحسن بوات فلسو كفد علماء 2, هغكا منصورى سهيا تثا مك دجواب, سهيا تياد جواب دغن هاروس, تتافى تياد سهيا امبيل تندا تاغنث, كران اى لاين مذهب. برسما 2 سورة اين سهيا كيريم جواب ايت اداث. مكة, 20 رجب 1323 سنة. درفد سهيا أحمد خطيب.
Pertama surat Tuan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau: mendapatkan yang mulia, adinda H. Abdul Rahman Siddiq al-Banjari yang ada pada masa ini di dalam negeri Mentuk, Pangkal Pinang –semoga Allah selalu menjaganya. Amin. Saya infokan kepada adinda dengan singkat, bahwa surat adinda yang dikirim pada tanggal 20 Jumadil Ula sudah saya terima. Oleh karenanya, saya tahu semua yang disebutkan. Maka, saya menulis satu pertanyaan kepada mufti mazhab Syafi’i dan memperoleh jawaban fatwa berupa hukum “keharaman” menjual ayam kepada Cina. Kemudian, saya meminta beberapa ulama yang sudah memberikan fatwa dalam surat ini, supaya saya dapat mempertanyakan kepada saudara (Syekh) Umar Bali dan (Syekh) Abu al-Hasan. Keduanya datang dan mengaku salah, dan saya meminta kepada keduanya supaya membenarkan fatwa mufti tersebut. Adinda perlihatkan jawaban beserta tanda tangan ulama yang tertulis di dalamnya kepada semua orang yang menolak fatwa adinda, supaya mereka tahu bahwa (Syekh) Abu al-Hasan telah memalsukan fatwa ulama. Bahkan, (Syekh) Mansuri Maliki saya lontarkan juga pertanyaan dan memperoleh jawaban bahwa ia tidak memberikan fatwa bolehnya. Tetapi, tanda tangannya tidak saya lampirkan, sebab ia berlainan mazhab. Bersama surat ini saya kirim jawaban tersebut. Dari Makkah, 20 Rajab 1323 H, (Syekh) Ahmad Khatib Minangkabau.
Poin yang disampaikan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dalam fatwanya tersebut adalah:
1. Hubungan dekat antara Syekh Abdul Rahman Siddiq al-Banjari sebagai penanya dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau sebagai yang ditanya. Hubungan tersebut ditunjuk dengan sebutan “adinda”. Padahal, Syekh ulama yang bertanya termasuk barisan muridnya.
2. Klarifikasi dan validasi fatwa Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Sa’id Babshil; apakah benar keduanya memberikan fatwa dibolehkannya menjual ayam kepada orang Cina. Ternyata jawabannya adalah tidak benar. Sebab, keduanya memberikan fatwa haram. Klarifikasi dan validasi ini juga diajukannya kepada Syekh Umar Bali dan Syekh Abu al-Hasan Palembang, apakah benar keduanya pernah berfatwa demikian, dan setelah jelas duduk perkaranya, ia meminta pendapat keduanya setelah mengajukan fatwa dari beberapa ulama besar.
3. Kepada Syekh Abdul Rahman Siddiq al-Banjari agar menjelaskan kepada masyarakat di daerah Mentuk fatwa yang sebenarnya dari ulama-ulama Haramain terkait hal yang dipertanyakan
4. Mencukupkan fatwa ini dalam mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang dipakai oleh masyarakat di Nusantara secara umum
Selain Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan kedua mufti mazhab Syafi’i, ada beberapa fatwa ulama Haramain yang dilampirkan. Semuanya mendukung fatwa ulama besar tersebut. Mereka adalah Syekh Umar Sumbawa, Syekh Abubakar Bajunaid, dan kedua ulama yang awalnya berbeda fatwa, yaitu Syekh Umar Bali al-Anfanan dan Syekh Abu al-Hasan bin Husain Palembang.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada Syekh Muhammad Sa’id Babshil, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau menjelaskan bentuk pertanyaannya bahwa “menjual ayam kepada orang Cina yang biasanya tidak dengan cara sembelihan secara Islam. Tetapi, dengan memecahkan ayam yang kecil atau memukul kepala yang besar dengan besi dan semisalnya. Jawabannya yang diberikan adalah dengan keharaman, sebab orang kafir seperti Cina juga menurut hukum termasuk yang dituntut secara hukum Islam. Saya sendiri tidak dapat memastikan sejak kapan orang Cina sudah menempati bumi Nusantara ini. Tetapi, saya masih menduga-duga bahwa status mereka pada saat fatwa ini ditulis adalah sebagai seorang kafir yang jenis dzimmi, yaitu mereka yang hidup di wilayah penduduk Muslim.
Medan
Leave a Review