Di bawah kaki gunung Marapi, kira-kira lima belas kilometer timur Bukittinggi, tepatnya di perempatan Jalan Bukik Bulek, Kenagarian Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, berdiri sebuah pesantren. Nama pesantrennya Madrasah Miftahul Ulumi Syari’ah, atau orang lebih mudah menyingkatkan namanya dengan Pesantren M.MUS.
Madrasah Miftahul Ulumi Syari’ah didirikan oleh seorang ulama masyhur di Kenagarian Canduang Koto Laweh, Syekh Ahmad Taher. Ia lahir di Bingkudu, Kenagarian Canduang Koto laweh di bawah kaki gunung marapi tahun 1877. Ayahnya Anwar Angku Bagindo Sutan, seorang pangulu di V Suku Canduang. Dan ibunya bernama Habibah, seorang yang taat beragama. Ketika umur dua tahun ayah beliau meninggal dunia, dan tak berselang lama, ketika umur delapan tahun Habibah pun juga dipanggil kepangkuan Sang Khalik.
Ahmad Taher adalah seorang pekerja keras. Pada umur delapan tahun ia sudah mengembalakan kerbau milik seorang masyarakat yang bernama Rubiah. Dua tahun kemudian beliau dibawa oleh suami kakaknya Murijah, yang bergelar Angku Basa, ke Situjuh Payakumbuh. Di sana beliau belajar huruf hijaiyah, membaca al-Quran, dan belajar ilmu agama lainnya dengan Angku Basa.
Beliau adalah murid yang pintar, cerdas, dan gigih. Dengan kegigihan yang dimilikinya, beliau sanggup belajar Jus Amma dalam kurun waktu satu bulan. Pada tahun 1887, ketika berumur sepuluh tahun beliau diangkat gurunya sebagai guru bantu di Surau Situjuah untuk mengajarkan Al-Quran. Ahmad Taher digelari Pakiah Mudo atau orang muda yang paham di Surau itu.
Setelah berumur empat belas tahun Ahmad Taher belajar kitab kuning kepada Syekh H.M Thaib Umar di Surau Tanjung Sungayang. Beliau satu angkatan dengan Mahmud Yunus dan Syekh Sulaiman Arrasuli.
Semasa belajarnya, ada kisah unik pada diri beliau sebelum ujian akhir. Ahmad Taher menyendiri di sebuah kuburan baru, yang tak jauh dari suraunya itu. Di kuburan itu ia membaca, menghafal, dan mentelaah pelajaran yang akan diujikan. Beliau memasukkan kakinya ke dalam ember yang berisi air. Itu dilakukannya supaya tidak tertidur dan dapat menahan kantuk. Usaha yang dilakukannya mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Di ujian akhir, beliau mampu menyapu bersih pertanyaan dari gurunya.
Pada 1911 Ahmad Taher kembali ke kampung halamannya. Ia mengabdi dan mengembangkan ilmu yang beliau dapat ketika belajar di Sungayang kepada masyarakat Canduang. Beliau dianugerahi gelar oleh masyarakat dengan Angku Mantari (guru).
Menyempurnakan Rukun Islam yang ke lima, pada 1912, beliau menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Kebiasaan ulama-ulama Minangkabau setelah menunaikan ibadah haji adalah menetap di Mekkah sambil menuntut ilmu agama. Di sana beliau belajar dengan Syekh Ahmad Khatib Al-minangkabawi seorang ulama besar dari Ampek Angkek yang sudah lama menetap di sana. Di samping itu beliau juga belajar dengan Syekh Mukhtar Tharid, Sayyid Umar Bajaned dan lain-lain.
Setelah berlalu tiga tahun di Mekah, tepat pada tahun 1914 beliau pulang kembali ke Canduang. Sekembali dari Mekah beliau di beri gelar Syekh (ulama besar). Di Canduang, Syekh Ahmad Taher sangat aktif dalam mengembangkan ilmunya. Ia juga menanamkan dasar-dasar agama Islam kepada masyarakat. Contohnya, Ahmad Taher mengubah cara khotbah di Surau Bingkudu, yang dulunya bahasa Arab menjadi bahasa Indonesia. Hal itu dilakukan agar masyarakat lebih mudah memahami isi khotbah yang di sampaikan Khatib.
Baca Juga: Profil Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tarusan Kamang
Pada tahun 1928 Syekh Ahmad Taher ikut serta dalam merintis berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang. Beliau berperan sebagai guru pendidik. Di MTI Canduang beliau mengajar selama sepuluh tahun dari 1928-1937.
Syekh Ahmad Taher berhenti mengajar di MTI Canduang karena beliau berselisih paham dengan Syekh Sulaiman Arrasuli soal santri yang berhak mendapatkan ijazah. Menurutnya, santri yang belum bisa “mematangkan” kajian kitab, belum bisa mendapatkan ijazah. Tetapi menurut Syekh Sulaiman Arrasuli, santri sudah bisa mendapatkan ijazah karena sudah menyelesaikan kelas tujuh. Saat itu yang berwenang di MTI Canduang adalah Syekh Sulaiman Arrasuli sebagai kepala sekolah.
Seiring itu pula, masyarakat V Suku, daerah Canduang ateh, sangat mengharapkan Syekh Ahmad Taher mendirikan sekolah di V Suku Canduang. Saat itu masyarakat V Suku banyak yang menggemari pelajaran agama. Pendidirian sekolah juga dapat membantu santri yang ada di V Suku untuk tak jauh lagi belajar ke MTI Canduang.
Gayung bersambut, Syekh Ahmad Taher pada saat itu juga berkeinginan mendirikan pesantren untuk mengembangkan pendidikan agama. Ketika itu, Ahmad Taher juga melihat banyaknya masyarakat yang berperilaku tidak sesuai dengan syari’at.[]
Mksh byk utk tulisanno..tp skdr masukan krn iko riwayat dan oenulisanno seperti barita mhn di tulisan disabuik sumberno dari sia carito ko?
Ado masulkan wak ciek selaku urg bingkudu.. panggilan akrab beliau di masyrkt nan tau awak adolah “nyiak aji amat”… dan ndk do dipanggia syeikh satau wak…skdr masukan.
Oh yo,liau akrab dengan sebutan; Nyiak Aji Amat.
Terimo kasih masukkno.