Alhamdulillah, beberapa waktu lalu dapat berziarah ke Makam salah seorang ulama besar Maninjau, yakni Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i. Makam beliau terletak tidak jauh dari tepian Danau Maninjau, tepatnya di Jorong Nagari, Kec.Tanjung Raya, Kab. Agam, Provinsi Sumatera Barat. Beliau Syekh Amrullah merupakan kakek dari Buya Hamka.
Kepopuleran Maninjau sebagai pusat keagamaan dapat kita lihat dari jejak rekam aktivitas intelektual di abad-abad yang lalu. Sejak abad XIX telah tercatat nama ulama Maninjau yang mempunyai pengaruh besar di Pedalaman Minangkabau. Begitu juga paruh pertama abad XX. Keadaan itu dirasa sangat kontras ketika memasuki milenium baru. Beberapa pusat keilmuan masa lalu yang tertulis dengan tinta emas dalam sejarah itu banyak menjadi puing. Hal ini tentu tidak disesalkan, sebab pergeseran nilai dengan masuknya pengaruh westernisasi dan modernisasi yang membadai; yang tak ayal menjadi salah satu ancaman bagi agama dan kearifan lokal setempat.
Di abad XIX dikenal tokoh ulama yang berpengaruh luas, antara lain Syekh Abdussamad Maninjau, Syekh Abdullah Koto Baru Maninjau, dan Syekh Amrullah Maninjau. Sedangkan di abad XX terdapat nama-nama antara lain Syekh Muhammad Salim Bayur Maninjau, Syekh Abu Bakar Maninjau, Syekh Hasan Bashri Maninjau dan Syekh Abdul Karim Amrullah Maninjau. Aktivitas yang menjadi prestasi dalam bidang keagamaan ulama-ulama Maninjau tersebut bukan hanya mengajar, namun mereka juga berperan dalam mendirikan lembaga pendidikan, seperti surau dan madrasah. Lebih dari itu beberapa di antara mereka juga menerbitkan jurnal (majalah), seperti Syekh Hasan Basri yang tercatat sebagai redaktur Majalah al-Mizan yang terbit di Maninjau (sebelum terbit di Bukittinggi). Selain itu di Maninjau juga didirikan penerbit dan pencetak kitab-kitab keagamaan, antara lain Syarikat al-Ihsan Maninjau. Sayang, sebagian besar dari hasil tangan ulama-ulama itu hanya tinggal cerita.
Dalam tulisan singkat ini, kita akan melihat sekilas tentang Syekh Amrullah, ulama besar Maninjau abad XIX. Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i lahir pada permulaan bulan Rajab 1256. Hamka, berdasarkan penjelasan ayahnya, bercerita tentang riwayat datuknya itu (Dalam buku “Ayahku”, hal. 40-51). Menurut riwayat yang diuraikannya itu, Syekh Amrullah, lengkapnya Syekh Muhammad Amrullah, ialah keturunan dari ulama-ulama terkemuka. Ayahnya ialah Syekh Muhammad Shaleh yang digelari dengan “Tuanku Syekh Guguk Katur”, seorang ulama sufi yang terkemuka. Konon, beliau hafal kitab Hikam karangan Syekh Atha’illah al-Sakadari yang masyhur itu. Sedangkan kakeknya ialah Tuanku nan Tuo Ampek Koto, atau yang dikenal dengan “Tuanku Pariaman”. Beliau ialah salah seorang ulama Syattariyah. Muridnya ialah Tuanku Sutan, guru dari Tuanku Aluma Koto Tuo. Tuanku Aluma (w. 1963) ialah ulama besar Syattariyah abad XX.
Dari jalur keturunan, jelas bahwasannya Syekh Amrullah lahir dari lingkungan ulama. Lingkungan keluarga ini membawa dampak dalam perkembangan Syekh Amrullah di masa kecilnya. Di usia yang masih terbilang belia, Syekh Amrullah telah belajar al-Qur’an dengan ayahnya. Di tahun 1853, ia dibawa ayahnya itu menemui kakeknya di Ampek Koto, untuk melanjutkan pelajaran agama. Di Ampek Koto, Syekh Amrullah sama-sama belajar dengan Syekh Tuanku Sutan.
Pada tahun 1864, Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i kembali ke kampung halamannya. Beliau telah menerima ijazah dari kakeknya, Tuanku nan Tuo, sebagai tanda bahwa keilmuannya telah diakui. Di Maninjau, berdasarkan kesepakatan tokoh-tokoh adat dan agama, Syekh Amrullah diberi gelar dengan “Tuanku Kisa’i” dengan sebuah perhelatan cukup besar. Konon, gelar “Tuanku Kisa’i” itu dilekatkan karena Syekh Amrullah hafal al-Qur’an. Al-Kisa’i adalah nama seorang ahli Qira’at al-Qur’an yang muktabar.
Tak berapa lama setelah itu, Syekh Amrullah berangkat ke Makkah. Di sana beliau, di samping ber-haji, juga belajar kepada ulama-ulama terkemuka, seperti Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Hasbullah. Cukup lama beliau bermukim di Makkah, kabarnya bertahun-tahun.
Setelah itu, Syekh Amrullah kembali ke kampung halamannya dan berkhitmat dengan cara mengajar agama Islam. Setelah kepulangannya itu, namanya semakin harum di kalangan penuntut-penuntut ilmu. Seiring kemasyhurannya, ia diundang ke berbagai daerah untuk mengajar agama, antara lain ke Sungai Landai, Koto Tuo, Banuhampu, Kapas Panji dan daerah-daerah lainnya. Kabarnya, dalam mengunjungi daerah-daerah itu beliau tidak berjalan, malah ditandu oleh murid-muridnya; sebagai alamat bahasa beliau ialah seorang ulama yang sangat dihormati.
Selain terkemuka sebagai ulama yang mahir dalam ilmu al-Qur’an, Syekh Amrullah juga masyhur selaku ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah. Namun, sampai saat ini belum ditemui informasi gurunya dalam tarekat ini, padahal Syekh nan Tuo ialah tokoh Syattariyah, dan berdebatan Syattariyah dan Naqsyabandiyah masih hangat saat itu.
Berdasarkan runut jaringan intelektual ulama Minangkabau, Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i termasuk jaringan inti di abad XIX. Ia telah mendidik beberapa ulama yang kemudian berperan dalam jaringan ulama setelahnya. Salah satu ulama besar hasil didikannya ialah Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, salah seorang ulama besar, pimpinan Ittihad Ulama Sumatera dan sesepuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Seperti yang telah diuraikan oleh Buya Apria Putra, MA.Hum tak banyak karya dan tulisan Syekh Amrullah yang dapat kita temui saat ini. Meskipun dua generasi setelahnya, yaitu Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Buya Hamka, adalah ulama yang sangat menghargai buku dan kitab, namun hanya satu dua saja yang terselamatkan. Itupun wakaf orang kepadanya, mungkin hal ini jualah yang membuat Buya Hamka dikenal seantero Negeri dengan segudang ilmu yang ia miliki, namanya dikenang hingga saat ini begitupun ayahnya
Buya Hamka dalam sebuah pengajiannya berkata ” Pulau Pandan jauh di tengah, di balik pulau Angsa Dua hancur badan dikandung tanah, budi yang baik terkenang jua. ” dan setelah itu Buya Hamka mengutip salah satu sya’ir daripada Syauqi, penyair Arab Mesir yang terkenal “Sebelum engkau mati, peliharalah sebutan dirimu yang akan dikenang orang dari pada dirimu, karena kenangan atas ketika hidup yang dulu itu, adalah umur yang kedua kali bagi manusia.”
Leave a Review