scentivaid mycapturer thelightindonesia

Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki dan Kitab Maqasid at-Tahkim fi Bayan Tsubut Syahr as-Shaum bi al-Hisab wa at-Tanjim

Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki dan Maqasid at-Tahkim fi Bayan Tsubut Syahr as-Shaum bi al-Hisab wa at-Tanjim
Ilustrasi/Dok.https://eshaykh.com/

Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, adalah salah satu mahaguru ulama Nusantara awal abad 20 silam. Syekh Muhammad Ali Husain al-Maliki, pernah menjadi mufti mazhab Maliki di Makkah. Sebagian karya tulisnya sebagai respons keagamaan yang terjadi di Nusantara (Indonesia dan Malaysia). Salah satu karya beliau berjudul “Maqasid at-Tahkim fi Bayan Tsubut Syahr as-Shaum bi al-Hisab wa at-Tanjim” seputar polemik penetapan puasa Ramadan dengan hisab dan tanjim.

Jumlah halaman kitab ini keseluruhannya 64 halaman, dimana 40 halamannya khusus tentang masalah puasa. Sementara masalah-masalah lain yang dilampirkan adalah fatwa tentang isra dan mikraj, perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan dan pengelompokan di masyarakat, bantahan atas bias misionaris dalam tafsir Audah al-Tafasir terkait 2 hadis tentang pribadi nabi Muhammad saw.

Latarbelakang penulisan kitab ini seperti yang disebutkan penulisnya adalah karena permintaan fatwa dan penjelasan dari Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari selaku rais akbar Nahdatul Ulama yang mengirim kepada penulis 2 risalah pendek (salah satunya kemungkinan besar karya Syekh Muhammad Mansur Betawi, seorang ulama yang ahli ilmu falak asal Batavia yang mana judulnya tidak disebutkan tetapi dicetak pada pertengahan Jumadil Ula 1355 H di percetakan Sayyid Ali Alaidrus no 38 Batavia Centrum) pada tanggal 12 Rajab 1355 H dari pesantren Tebuireng Jombang beserta dengan surat tulisan beliau yang berbunyi:

“Saya mengirim kepada tuan (syekh) 2 risalah dimana keduanya merupakan perspektif penulisnya seputar persoalan puasa yang banyak menyebabkan polemik antara ulama kita tanpa adanya pentahkikkan. Persoalan ini termasuk diantara banyak permasalahan yang menjadi penyebab fanatisme buta dengan konsekuensi lahirnya perpecahan (tafarruq) dan (taba’ud) ketidak-akraban antar kewarganegaraan. Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan kepada tuan untuk melihat perbedaan pendapat dalam masalah ini, sesuai dengan keluasan bacaan tuan dari beberapa pendapat yang baik, dengan memberikan pendapat yang dapat menjadikan ketenangan hati. Semoga Allah swt selalu memberikan kita hidayah dan taufiq-Nya. Wassalamu’alaikum wr. Wb

Baca Juga: Buya Hamka Saya Kembali ke Rukyah

Syekh Muhammad Ali al-Maliki kemudian membaca 2 risalah tersebut dan mengambil kesimpulan bahwa isinya ada 2 pendapat: a) mengatakan tidak wajib berpuasa berdasarkan pendapat munajjim (orang yang melihat awal bulan dengan terbitnya bulan) dan hasib (pengguna hisab) dan b) mewajibkan.

Oleh karenanya, penulis membagi pembahasan kitab ini dengan 3 pembahasan:
1. Argumentasi yang tidak mewajibkan (penulis mendukung pendapat ini)
2. Argumentasi yang mewajibkan (pendapat ini dibantah oleh penulis)
3. Membantah argumentasi Syekh Muhammad Mansur bin Abdul Hamid Betawi

Untuk bagian pertama -dimana penulisnya mendukung pendapat ini- merujuk langsung kepada beberapa dalil dari a) hadis, b) ijmak dan c) pendapat empat mazhab fikih. Dari hadis, seperti hadis Imam al-Bukhari: “Puasalah karena melihatnya dan makanlah karena melihatnya. Kalau terhalang –dari melihatnya- atas kamu, maka sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Hadis lain, seperti “Kami kaum ummi ‘tidak pandai menulis dan menghitung”, “Tidaklah seorang yang mengambil ilmu nujum melainkan ia mengambil bagian dari ilmu sihir), dan “pelajarilah ilmu nujum untuk mengetahui dengannya gelapnya daratan dan lautan kemudian (amsiku) tahanlah.”sementara ijmak menyebutkan bahwa “sekiranya imam berpendapat dengan hisab, kemudian hilal ditetapkan, maka pendapat imam tersebut tidak diikuti.” Sedangkan pendapat 4 mazhab menyepakati ijmak tersebut.

Untuk memperjelaskan pendapat mazhab, di sini akan ditampilkan mazhab Syafi’i, bahwa menurut Imam al-Qasthalani, tidak boleh mengambil pendapat munajjim, kemudian ia berkata (dan juga pendapat) al-hasib, yaitu yang menghitung posisi bulan dan menentukan perjalanannya sama seperti munajjim. Sementara maksud ayat: “dengan bintang mereka mengetahui” adalah ‘mengetahui dalil-dalil kiblat ketika melakukan perjalanan, dimana dengan hisabnya boleh diterima seperti salat, bukan maksudnya diterima dengan hisab untuk penetapan puasa. Adapun pendapat yang mengatakan “apabila hisab menunjukkan atas hilal sudah muncul (terlihat), tetapi ada yang menghalangi dari melihatnya, maka ini menjadikan kewajiban puasa, karena ada sebabnya secara syar’i. Menurut penulisnya, pernyataan terakhir bisa diterima sekiranya yang mengatakan adalah orang yang jujur yaitu dengan melihat dan menyaksikan secara langsung. Tidak ada yang menyalahi pendapat mazhab Syafi’i kecuali Imam as-Subki ketika ditanya “kalau seseorang bersaksi melihat bulan malam ke-30 Sya’ban, kemudian al-hasib mengatakan tidak ada kemungkinan bulan dapat dilihat (adam imkan rukyah) malam tersebut, maka yang diperpegangi adalah pendapat al-hasib, sebab hisab adalah qat’i sementara syahadah (bersaksi) termasuk zhanni. Pendapat ini dibantah oleh banyak ulama mazhab Syafi’i sendiri.

Baca Juga: Awal Ramadan Perspektif Tarbiyah Islamiyah

Dalam mazhab Hambali, perdebatan terkait ketika bulan terhalangi dari penglihatan. Dalam hal ini, ada 2 pendapat dalam generasi sahabat: a) pendapat Abu Hurairah ra yaitu dengan melengkapi bulan Sya’ban menjadi 30 hari dan melarang puasa hari 30 Sya’ban. Sementara Ibnu Umar mewajibkan puasa hari 30 Sya’ban (yang sebenarnya 1 Ramadan) dengan niat Ramadan secara hukum zanni dan kehati-hatian, bukan secara yakin (niyat Ramadan hukman zanniyan ihtiyatan la zanniyan) dan ini juga pendapat sebagian sahabat, karena sebenarnya asal jumlah bulan qamariyah adalah 29 hari, dengan menafsirkan kata “faqduru lahu” dengan arti “dayyiqu” (menyempitkan) yaitu menjadikannya 29 hari).

Untuk bagian kedua (yang mewajibkan) dengan 3 alasan: a) menganalogikan boleh menggunakan hisab dalam puasa dengan analoginya untuk salat, yang menurut penulis analogi ini adalah qiyas fi mahalli an-nash (qiyas dengan adanya nash) tidak dibolehkan. B) zahir nash ayat ‘wa bin an-najm hum yahtadun” yang menunjukkan makna umum. Menurut penulis keumuman makna ayat dikhususkan dengan hadis-hadis yang tidak menyebutkan hisab sebagai alat penetapan puasa, dan c) menganalogikan bolehnya puasa dengan hisab yang zanni dengan bolehnya menghadap kiblat dengan zanni dalam keadaan bingung, juga dibantah dengan argumentasi yang pertama yaitu qiyas fi mahalli an-nash.

Untuk bagian ketiga, penulis mengkhususkan bantahannya atas pendapat Syekh Muhammad Mansur bin Abdul Hamid Betawi dalam 8 argumentasi dan bagian ini merupakan pembahasan yang terpanjang.

Semoga bermanfaat dan Allah membalas yang terbaik bagi penulisnya

Medan

Ahmad Fauzi Ilyas
Ahmad Fauzi Ilyas Peneliti dan Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan.