Perseteruan antara kaum tua dan kaum di Sumatera Barat di awal abad 20 sudah jamak diketahui. Diantara figur yang dianggap mewakili kaum tua adalah Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) dan Syekh Muhammad Djamil Jaho (Inyiak Jaho). Sementara figur yang dianggap mewakili kaum muda adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul) dan Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek).
Titik beda antara kaum tua dan kaum muda ini sebenarnya lebih banyak bersinggungan dengan masalah furu’iyyah, seperti masalah melafazkan niat dalam salat, membaca sayyidina di depan nama Nabi apalagi dalam salat, mengadakan tahlilan atau kenduri kematian dan sebagainya. Perbedaan yang cukup mendasar barangkali terletak pada masalah taqayyud (membatasi diri) pada mazhab Syafi’iyyah dan tidak berijtihad.
Karena perbedaan itulah maka kaum tua sering dicap sebagai muqallidah (pentaklid), sementara kaum muda tak jarang dituduh sebagai wahabi.
Terlepas dari kebenaran ‘tuduhan’ dan pelabelan ini, namun satu hal yang menonjol pada sosok Syekh Muhammad Djamil Jaho yang dinilai sebagai representasi kaum tua adalah ia bisa menjadi penengah antara kaum tua dan kaum muda jika terjadi perseteruan dan perbedaan pendapat yang tajam di kalangan mereka. Hal ini karena pribadinya yang santun, berwibawa dan sangat tenang. Ia tidak mau terlibat dalam berbagai pertentangan. Ia lebih suka mengalah daripada membuka front (Fiqur Syekh Muhammad Djamil Jaho oleh AN. Yunus hal. 22).
Baca Juga: Kilas Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho di Luhak nan Tuo
Maka, ketika ada polemik yang terjadi antara kaum tua dan kaum muda, beliau berada di tengah-tengah. Beliaulah tempat mengadu oleh kaum tua dan kaum muda. Begitu juga dengan kaum adat, terutama tentang harta pusaka tinggi di Minangkabau. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap berpendirian bahwa harta pusaka tinggi Minangkabau adalah harta syubhat (Adi Bermana, 1981: 102).
Meskipun dalam beberapa hal ia berbeda pendapat dengan sahabatnya sendiri; Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul; ayah Buya Hamka), dua orang murid unggulan Syekh Ahmad Khatib al-Minkabawi yang diberinya izin untuk mengajar di Masjidil Haram, namun hal itu tidak menghalanginya untuk membela Inyiak Rasul yang akan diasingkan oleh Pemerintah Belanda ke Tanah Jawa atas permintaan beberapa ‘ulama’ yang tidak senang kepadanya. Ia berkata: “Hanya dalam hal-hal khilafiah dan furu’ kami berlainan pendapat. Tetapi dalam pokok-pokok agama kami tidak pernah berselisih.”
Syekh Djamil Jaho adalah seorang yang setia kepada mazhab Syafi’iyyah. Ia melihat bahwa ijtihad untuk saat ini adalah sesuatu yang sangat sulit, kalau bukan mustahil. Karena itu ia lebih memilih untuk berpegang-teguh kepada mazhab Syafi’iyyah.
Ini juga yang membuatnya memutuskan untuk keluar dari Muhammadiyah yang telah ia perjuangkan selama bertahun-tahun di Padang Panjang. Karena, setelah mengikuti Muktamar Muhammadiyah ke 16 di Pekalongan, ia merasa tidak bisa menyatu lagi dengan ruh Muhammadiyyah. Tapi ini tidak berarti komunikasinya dengan pengurus dan tokoh-tokoh Muhamamdiyah terputus. Apalagi yang melanjutkan kepengurusan Muhammadiyah setelah itu adalah kadernya yang juga putera dari sahabatnya sendiri yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka ; putera Inyiak Rasul).
Baca Juga: Al-Hujjat al-Balighah Karya Syekh Jamil Jaho
Ada banyak hal menarik dari sosok Inyiak Djaho, baik metode yang ia gunakan dalam berdakwah maupun pendapat-pendapatnya dalam menyoroti masalah agama dan adat. Diantaranya, ia banyak menciptakan syair dan pantun yang sering dibawakan dalam seni Minang bernafaskan Islam yang bernama selawat talam.
Di samping itu ia juga menguasai silat Minang yang cukup tangguh. Aliran silatnya bernama Rantau dan Kumango. Kemampuan bela-diri ini digunakannya untuk mendekati para parewa (preman) Minang dan menyentuh hati mereka untuk mau mengaji dan taat menjalankan perintah-perintah agama.
رحمه الله رحمة واسعة ونفعنا بعلومه فى الدارين ، آمين
Leave a Review