scentivaid mycapturer thelightindonesia

Syekh Muhammad Mahfuzh Termas dan Karyanya tentang Kenabian Khidir

Syekh Muhammad Mahfuzh Termas dan Karyanya tentang Kenabian Khidir

Syekh Muhammad Mahfuzh Termas

Seperti biasa, setiap Ahad, 6 Desember 2020, saya mengisi “Webinar Tentang Ulama Nusantara” yang dikelola oleh sebuah komunitas “Pecinta Ilmu dan Dakwah” yang bernama Rewah (Remaja Dakwah), saya menyampaikan tentang Syekh Muhammad Mahfuzh Termas, seorang ulama besar Nusantara yang berasal dari tanah Jawa dan darinya lahir tokoh-tokoh ulama besar selanjutnya yang tersebar luas di wilayah tersebut.

Baca juga: Memahami Takdir Melalui Kisah Musa dan Khidhir

Sebuah kitab sebagai karya Syekh Muhammad Mahfuzh Termas ini adalah termasuk langka. Sebab, sampai meninggalnya ulama Termas ini, karya ini masih dalam bentuk manuskrip dan selanjutnya diterbitkan oleh Al-Maktabah al-Anwariyah, sebuah penerbit dan percetakan yang berada di bawah naungan pesantren Al-Anwar di Sarang yang berada di bawah asuhan KH. Maimun Zubar. Naskah manuskrip yang berjudul “Inayah al-Muftaqir bima Yata’allaq bi Sayyidina al-Khadir” yang dinukil penulisnya dari sebagian isi kitab Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani diberi pengantar oleh KH. Maimun Zubar.

Dalam kata pengantarnya, ulama besar Indonesia tersebut memberikan beberapa catatan sebagai kesimpulan, sebagai berikut:

a) tahun selesai penulisan pada tanggal 28 Shafar 1337 H dan menjadi karya terakhir kedua sebelum kitab Bugyah al-Adzkiya’ fi al-Bahts an Karamat al-Auliya’ yang selesai sekitar sebulan setelahnya,

b) karya yang membahas tentang kenabian Khidir termasuk jumlah tulisan yang sedikit,

c) sebab yang menjadi latar-belakang penulisan adalah sebagai respons banyaknya pertanyaan masyarakat terkait persoalan tentang kenabian dan kewalian Khidir, dan keberadaannya sampai saat ini, dimana, pendapat Syekh Muhammad Mahfuzh Termas terkait persoalan terakhir lebih memilih bahwa ia masih hidup sampai sekarang,

d) membaca dan mengetahui informasi tentangnya merupakan bentuk kecintaan seorang Muslim kepada seorang Nabi atau hamba saleh. Sebab, mencintai mereka merupakan sesuatu yang dituntut meskipun tidak sampai persis melakukan seperti yang mereka lakukan, setidaknya dengan mencintai mereka akan mendapatkan tempat bersama mereka, sesuai kandungan hadis nabi Muhammad SAW: “seseorang akan bersama orang yang dicintai” dengan syarat menurut Imam Nawawi bahwa orang yang dicintai adalah karena kebaikan dan kesalehan mereka,

e) bersambungnya sebagian sanad KH Maimun Zubair kepada nabi Khidir AS.

Apa yang dibahas Syekh Muhammad Mahfuzh Termas dalam kitab tersebut. Setidaknya ada beberapa bab yang sebenarnya sebagai jawabannya atas pertanyaan yang diajukan, yaitu: 1) nama dan kelahiran nabi Khidir AS, 2) persoalan seputar kenabian dan kewalian, 3) umur, perjumpaanya dengan nabi Muhammad SAW, 4) kehidupannya sampai sekarang, dan 5) pendapat yang dipilih penulis

Terkait nama dan kelahirannya, setidaknya ada sepuluh riwayat yang ditampilkan penulis. Sebagian riwayat tersebut diberi komentar dan penilaian, sementara yang lainnya tidak diberikan catatan apapun.

Seperti, riwayat pertama yang menyebutkan bahwa nabi Khidir AS adalah anak nabi Adam AS. Riwayat ini bersumber dari Imam ad-Daraqutni melalui jalur Rawad – al-Jarah – Muqatil bin Sulaiman – Dhahhak – Ibnu Abbas. Ia memberikan penilaian bahwa seorang perawi yang bernama Rawad termasuk lemah, Muqatil bin Sulaiman sebagai matruk, sedangkan Dhahhak tidak langsung mendengar hadis dari Ibnu Abbas. Oleh karenanya, ia tidak menyebutkan nama nabi yang pernah berdialog dengan nabi Musa AS ini sebagai Khidir AS. Menurutnya, penamaannya dikenal dengan Khidir (sesuatu yang berwarna Hijau), sebab menurut riwayat Imam Bukhari-Muslim bahwa apabila nabi Khidir AS duduk di sebuah tanah yang kering, maka akan tumbuh dan begerak di tempat duduknya sesuatu yang hijau –kemungkinan rerumputan hijau. Sementara sebutan kunyah-nya adalah Abu Abbas sebagaimana yang dinukil dari Imam Nawawi.

Persoalan selanjutnya tentang kenabian Khidir AS, yaitu apakah sebagai nabi atau sebatas wali. Dalam kesempatan ini, ia menampilkan dua pendapat sekaligus. Menurutnya, pendapat yang menyebutkan Khidir sebagai nabi berargumentasi dengan ayat al-Qur’an tentang dialog dan perjumpaan nabi Musa AS dengannya. Menurutnya, tidaklah perbuatannya membunuh seorang anak kecil dan melubangi sebuah kapan selain hal tersebut berupa wahyu. Selain itu, argumentasi lain menyebutkan bahwa mustahil seorang yang bukan nabi lebih mengetahui dari nabi; maksudnya, Khidir yang bukan nabi lebih pintar dari nabi Musa AS.

Perdebatan selanjutnya, kalau seorang nabi, apakah juga seorang rasul. Sebagian pendapat menyebutkan ia hanya sebatas nabi, tetapi sebagian lain berpendapat bahwa ia juga seorang rasul. Pendapat lainnya menyatakan bahwa kenabian Khidir dalam bentuk ilmu batin, sementara Musa dalam ilmu zahir. Adapun pendapat selanjutnya hanya menguatkan bahwa ia sebagai wali dan tidak sampai kepada derajat kenabian. Bahkan, Syekh Muhammad Mahfuzh Termas menukil sebuah pendapat lain yang menyebutkan ia adalah seorang malaikat dalam bentuk manusia.

Pembahasan selanjutnya terkait penyebab mengapa nabi Khidir AS berumur panjang. Setidaknya penulis menyebutkan tiga alasan: 1) bahwa dipanjang umurnya agar menjadi orang yang berdusta atas Dajjal, 2) sebab menguburkan jasad Nabi Adam AS. Hal tersebut, karena menjelang kematian Nabi Adam AS, ia memerintahkan kepada anaknya agar meletakkan jasadnya di sebuah gua dan kemudian dikebumikan di negeri Syam dan ia berdoa agar orang yang menguburkannya diberikan umur panjang. Jasad yang mulia tersebut akhirnya dikebumikan oleh Nabi Khidir AS, 3) sebab, ia meminum sebuah telaga yang dikenal dengan “Ain al-Hayah (telaga kehidupan). Ceritanya, raja Zulkarnain, seorang raja saleh yang menguasai Timur dan Barat, mempunyai seorang sahabat dari malaikat yang bernama Rafael. Suatu ketika, kedua duduk membicarakan sesuatu. Di sela pemicaraan tersebut, raja Zulkarnain bertanya kepada malaikat bagaimana ibadah mereka sebagai penduduk langit. Malaikat tersebut mengatakan bahwa ibadah mereka apabila dibandingkan dengan penduduk bumi sangat jauh. Sebab, di antara ibadah mereka, ada yang selamanya berdiri saja, rukuk dan sujud. Oleh karenanya, raja saleh tersebut bertanya kepada sahabat malaikatnya tersebut bagaimana agar diberikan umur yang panjang agar dapat menyamai ibadah para penduduk langit. Malaikat tersebut menyebutkan bahwa ada sebuah telaga yang disebut dengan “Ain al-Hayat” yang apabila meminum airnya akan diberikan umur panjang. Singkat cerita, raja Zulkarnain mencari tempat keberadaan telaga tersebut bersama dengan bala-tentarannya, di antaranya adalah Khidir yang kemudian berhasil minum, berwudhuk dan mandi di dalamnya.

Beberapa sub judul lainnya sangat menarik dibaca dalam kitab ini. Namun, di bagian akhirnya, Syekh Muhammad Mahfuzh Termas memilih dan menguatkan pendapat bahwa Nabi Khidir AS adalah hidup sampai sekarang.

Siapakah Syekh Muhammad Mahfuzh Termas? Nama ulama ini sangat terkenal di Nusantara, terutama di lingkungan tanah Jawa. Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah bin Abdul Mannan al-Tarmasi. Saya mendapatkan tulisan bahwa kakeknya, Syekh Abdul Mannan adalah orang yang pertama sekali belajar di Al-Azhar, Mesir dari ulama Nusantara. Lahir di Termas, 12 Jumadil Ula 1285 H dan meninggal tahun 1338 H di Makkah. Belajar kepada ulama tempat kelahirannya, termasuk Syekh Saleh Darat di Semarang. Sedangkan ulama-ulama terkemuka lainnya yang menjadi gurunya berada di Makkah, seperti Abubakar Syatha (yang menjadi ulama utama dalam sanad keilmuan), Syekh Mustafa Afifi, Syekh Muhammad Minsyawi, Syekh Ahmad Zawawi, Syekh Muhammad Amin Ridwan, dan masih banyak lagi. Sementara para muridnya adalah Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, Syekh Baqir Nur Jogjakarta, Syekh Muhammad Dimyati Termas, Syekh Ihsan Jampes, Syekh Abdul Muhit Surabaya, Syekh Baidhawi Lasem, Syekh Maksum Lasem, Syekh Siddiq Lasem, Syekh Abdul Wahab Jombang, Syekh Khalil Lasem, Syekh Abdul Qadir Mandailing, dan lainnya.

Baca Juga: Khotbah Terakhir Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Mei 1947 M/ Rajab 1366 H)

Dari daftar nama muridnya yang lebih mendominasi adalah dari daerah Jawa. Sementara karyanya kurang lebih sekitar 12 judul. Semua karya tersebut sesuai dengan gelar yang disematkan kepadanya yaitu “Al-Allamah (banyak ilmu), al-Faqih (ahli fiqih), al-Ushuli (ahli ushul fiqih), al-Muhaddis (ahli hadis), dan al-Muqri’ (ahli al-Qur’an dan qiraat). Terkait sanad keilmuannya tertuang dalam karyanya yang berjudul Kifayah al-Mustafid lima Ala min al-Asanid.[]

Ahmad Fauzi Ilyas
Ahmad Fauzi Ilyas Peneliti dan Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan.