scentivaid mycapturer thelightindonesia

Syekh Muhammad Sai’id Bonjo; Ulama Kaum Tua yang Gigih dalam Tarekat Naqsyabandiyah

Syekh Muhammad Sai'id Bonjo; Ulama Kaum Tua yang Gigih dalam Tarekat Naqsyabandiyah
Maulana Sayyidi Syekh Ibrahim Kumpulan, Pasaman merupakan satu-satunya murid daripada Maulana Syekh Sa'id Padang Bubus, Bonjol dan Maulana Sayyidi Syekh Ibrahim Kumpulan pula memiliki murid yang bernama pula Syekh Sa'id Bonjol, maka barangkali inilah yang terdapat di dalam foto ini. sementara kami yang faqir daripada jalur Sayyidi Syekh Daud al-Khalidi, Durian Gunjo Malampah

Syekh Muhammad Sai’id Bonjo adalah salah satu dari banyaknya Ulama Kaum Tua. Kita banyak mengenal banyak nama kaum tua yang gigih dalam mempertahankan Naqsyabandiah. Mereka adalah para alim-alim tarekat. Berikut adalah di antara deretan nama-nama besar itu: Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim, Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan Pasaman, Syekh Mukhtar Angku Lakuang Koto Panjang, dan tak ketinggalan ada Syaikhul Masyaikh Ulama Minangkabau yakni al-Allamah Syekh Muhammad Sa’ad Al-Khalidi Mungka.

Semuanya adalah jawara-jawara alim ini pernah menghalau semua dentuman-dentuman cacian, kritik dan sentimen negatif terhadap Naqsyabandiah. Terlebih Syekh Ibrahim Kumpulan, tak tanggung-tanggung utusan kolonial dahulunya pernah ingin mendebat pengajian Halaqah Naqsyabandiah beliau.

Dalam sebuah kisah, dengan membawa kitab rujukan, seorang kolonialis menghadap kepada Syekh Ibrahim Kumpulan Pasaman. Ketika membuka kitab rujukkannya tersebut, sang utusan itupun terkejut bahwa kitab yang telah ia bawa jauh-jauh telah putih. Tanpa ada tulisan, putih bersih. Begitulah di antara tuah-tuah kekeramatan Tuan-tuan Naqsyabandiah itu. Kisah-kisah kekeramatan seperti itu masih terdengar hari ini.

***

Masih di daerah Pasaman, mungkin kita tidak asing mendengar nama Syekh Muhammad Sa’id Bonjo. Beliau lahir pada tahun 1881 di Ganggo Hiliia dari pasangan Syifat Sutan Mudo dan Ibu Kamimah.

Beliau merupakan murid dari Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan. Dalam ilmu al-Qur’an beliau memiliki seorang guru bernama Syekh Jamaluddin Tanjuang Bungo.

Beliau Syekh Muhammad Sai’id Bonjo adalah seorang Ulama dari Kaum Tua yang gigih dalam Naqsyabandiah. Ketokohan beliau sebagai Mursyid Tarekat Naqsyabandiah dan juga sebagai tokoh yang terlibat dalam pembentukan perhimpunan ulama Kaum Tuo di Minangkabau.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) sebagai organisasi kaum yang berdiri pada 1928, Syekh Muhammad Sai’id Bonjo terlibat dalam pendiriannya. Beliau juga menjabat ketua Dewan Tarekat PI Perti pada muktamar 1953. Tak ketinggalan, beliau juga terlibat dalam Konferensi Tarekat di Bukittinggi yang membahas beberapa kejanggalan dari salah seorang tokoh Tarekat pada masa itu.

mDari sekian banyak pencapaian yang telah beliau meroleh tersebut, beliau selalu memposisikan diri beliau dalam kesederhanaan. Beliau menggeluti pertanian dan berladang, seperti layaknya masyarakat di kampung. Disini kita dapat menilai dari seorang Tokoh Naqsyabandiah, apa arti dari Naqsyabandiah yang sebenarnya. Bahkan dalam suatu riwayat menyebutkan, jikalau hendak pergi ke Kumpulan, beliau melakukannya dengan senang hati berjalan kaki. Sesederhana itu beliau.

Tidak hanya di Ranah Minang, pengarang Nazham al-Wasiyah inipun juga pernah menginjakkan kaki di Tanah Mekkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1910 (Usia 29 tahun) tersebut dalam riwayat ketika hendak berjalan ke Mekkah, beliau Syekh Muhammad Sai’id Bonjo dibekali oleh Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan dengan tiga suku mata uang logam Belanda. Ketika sampai di perjalanan pun uang itu masih utuh. Saat hendak berjalan semua masyarakat berkumpul tak terkecuali Syekh Ibrahim Kumpulan, para Jema’ah, Khalifah. Perjalanan beliau dilepas dengan kumandang azan oleh salah satu khalifah pada masa itu.

Di tengah perjalanan, tepatnya di Riau, beliau bertemu dengan Sultan Siak. Disana Syekh Muhammad Sai’id Bonjo pun dijamu dan diminta untuk mengajar beberapa saat. Namun karena kepatuhan beliau kepada Syekh Ibrahim kumpulan, dan tujuan yang masih jauh, beliaupun menolak permintaan sang Sultan dengan halus. Belau melanjutkan perjalanan melalui Sungai Siak, hingga ke Malaysia. Dari Malaysia, menuju Siam (Thailand ), Burma, Bangladesh, semua ditempuh melalui jalan darat hingga sesampainya di India. Dari India barulah beliau menaiki kapal menuju ke tanah suci.

Di Makkah beliau berguru pada beberapa sosok alim di Tanah Suci Mekkah, hingga Jabal Abi Qubais pun menjadi tempat tujuan beliau. Pada masa itu Jabal Abi Qubais disebutkan sebagai tempat berkumpulnya para ulama-ulama Tarekat Naqsyabandiah, dan bahkan Syekh Ibrahim kumpulan pun pernah berguru disana.

Selama 4 tahun beliau tinggal di Mekkah, setelah itu pada tahun 1914 (Umur 33 Tahun) beliau memutuskan untuk kembali ke Ranah Minang.

Menurut salah satu riwayat yang pernah dihimpun dari salah seorang khalifah beliau yakni Buya Malin parpatiah beliau menuturkan bahwasannya ketika Syekh Muhammad Sai’id Bonjo ketika masih tinggal di Mekkah beliau bermimpi pernah didatangi seekor burung merpati yang sangat-sangat putih. Lalu kemudian hinggap di tangan kiri beliau, lalu ditangkap. Ketika terbangun dari mimpinya, beliaupun menceritakannya kepada guru beliau yang berada di Mekkah. Sang guru menjawab, bahwa telah meninggal seorang Tuan Syekh di kampungmu, dan yang akan menggantikannya ialah seseorang yang amat ia sayangi. Ternyata benar. Singkat cerita ketika beliau kembali Syekh Ibrahim Kumpulan telah meninggal dunia.

Di kampung itu Syekh Ibrahim Kumpulan adalah seorang ulama yang gemar dalam membangun masjid. Tercatat ada beberapa masjid yang telah ia bangun di Pasaman. Beliau disebutkan juga pernah mendirikan sebuah sekolah agama yakni Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) pada tahun 1932-1940 di Air Hangat, Padang Baru. Sekolah ini terhenti pada masa kependudukan Jepang, dan Madrasah tersebut pun beralih fungsi menjadi sekolah buta huruf.

Setelah sekitar 5 tahun, beliau kembali berinisiatif menghidupkan MTI tersebut di Masjid Padang Baru Bonjo, dengan salah satu Syekh lainnya, yakni Syekh H.Muhammad Thaib. Sayangnya madrasah ini kembali mengalami kebuntuan karena adanya pergolakan PRRI pada masa itu.

Syekh Muhammad Sa’id Bonjo meninggal pada tahun 1979. Kelangsungan durau pun diteruskan oleh putra beliau Buya H.Harun Al-Rasyid.

Teks ataupun Naskah ini menguraikan tentang masalah doktrin mistik dan ritual magis serta praktik penyembuhan magis. Ciri fisik: Ukuran naskah 17x21cm, halaman 15 baris, tinta hitam merah, kertas Belanda dengan watermark Pro Patria, beberapa halaman tidak terbaca, ilustrasi dibuat dengan tinta hitam biru. Ditulis oleh riq’ah dan naskh. Akses : Journal The Surau Haji Muhammad Sa’id Bonjol Collection [1800 to 1900s] British Library Endangered Archives Programme

Dalam sebuah jurnal yang berjudul The Surau Haji Muhammad Sa’id Bonjol Collection [1800 to 1900s] British Library Endangered Archives Programme, pada proses digitalisasi tahun 2013 ditemukan ada 12 manuskrip tentang tasawuf (ajaran sufi), praktik ritual, sejarah dan sastra dua persaudaraan: Naqsybandiyah dan Shattariyah. Teks manuskrip digunakan untuk pengajaran dan proses ritual serta fikih. Ciri-ciri fisik: Kertas Eropa dan Indonesia. Kondisi manuskrip kritis dan terancam punah, naskah tersapu, halaman sobek. Ada diantara naskah-naskah tersebut ditulis pada tahun 1898, dan juga 1918. Salah satu naskah (Manuskrip) tersebut ada di lampiran foto di atas.

Habibur Rahman
Pecinta ulama dari Ranah Minang