Beliau masyhur digelari dengan Uwai Limopuluah Malalo atau Syekh Tuanku Limopuluah Malalo (1730-1930), tokoh dikenal sebagai salah seorang ulama besar tarekat syathariyah. Beliau mempunyai jaringan intelektual yang luas di kalangan ulama-ulama Minangkabau, apakah di Rantau, sebagai pusat Syathariyah, maupun di Darek yang dipandang secara gamblang menjadi pesaing Ulakan (Pariaman). Di samping itu, ulama yang satu ini mempunyai karier serta reputasi yang sangat diperhitungkan dalam membidani surau-surau basis tarekat di pesisir maupun di pedalaman Minangkabau.
Meski menjadi salah satu ikon inti dalam jaringan pendidikan di abad XVIII hingga akhir awal abad XX, namun tak banyak sumber yang berbicara langsung mengenai tokoh yang satu ini. Bukti keterkaitan beliau selanjutnya kita lihat dalam silsilah keilmuan tarekat Syathariyah, di mana cukup banyak ulama-ulama di abad XIX dan XX, yang mengaitkan keilmuan mereka kepada Tuanku Limopuluah ini. Demi melihat sejarah intelektual beliau, kita akan mendapati berbagai macam kesaksian tentang ketokohan ulama ini. Dalam satu besluit gubernur jenderal pemerintahan Belanda, yang dipahat pada sebuah marmer, terdapat inskripsi yang menginformasikan wafat beliau. Beliau dicatat wafat pada tahun 1930, dalam usia yang sangat sepuh, yaitu 200 tahun. Bisa dibayangkan berapa peristiwa besar sepanjang abad XIX telah dijalaninya di usianya yang panjang itu, terutama dalam membina karier intelektual, dalam ranah keulamaan syathariyah.
Bila kita hitung mundur dari informasi wafat Tuanku Limopuluah, kita dapati bahwa tahun kelahiran beliau ialah di awal abad XVIII, tepatnya tahun 1730. Nama kecil beliau ialah Djinang, setelah dewasa yang agak alim digelari dengan Pakiah Madjolelo, dan setelah menjadi ulama terkemuka masyhur disebut dengan Syekh Tuanku Limopuluah Malalo. Ada beberapa versi kisah yang diterima dari sumber-sumber oral di Malalo mengenai sebab pemakaian gelar “Limopuluah” setelah tanda keulamaan “Tuanku”. Yang pasti ungkapan “Limopuluah” merujuk kepada sebuah negeri, yaitu Luak Limopuluah, salah satu daerah di pedalaman Minangkabau yang termasuk wilayah asal (inti) Minangkabau.
Versi pertama menyebutkan bahwa gelaran “Limopuluah” berasal dari dedikasi intelektual beliau ketika berdebat dengan ulama-ulama “Limapuluah Kota”. Inti perdebatan yang dimaksud ialah mengenai permasalahan “Martabat Tujuh”, kajian filosofis dalam tarekat syathariyah. Sebagaimana disebut dalam beberapa sumber, terdapat polemik yang cukup hangat antara ulama-ulama Darek dengan ulama-ulama Pesisir dalam hal tarekat ini. Ulama Darek kala itu, yang secara genetis dikenal sebagai pembaharu, mengungkapkan kajian “Martabat Tujuh” yang dibawa oleh pemuka syathariyah merupakan satu materi yang rumit, sehingga hanya dapat dipahami dan diajarkan oleh ulama-ulama besar yang mumpuni seperti Syekh Abdurrauf Singkel. Selain itu, pengajian “Martabat Tujuh” yang berkembang di kalangan ulama-ulama masa itu sudah terlalu jauh melewati ranah filsafat metafisika yang rumit, bahkan terkadang bisa membawa kepada kekufuran sedangkan ulama-ulama pemangkunya tidak dipandang begitu alim untuk mengajarkan paham yang pelik ini. Selain itu juga ada sementara kalangan yang mencap kajian ini sebagai celah menjadi zindik, bukan memperdekat, malah memperjauh dari ketuhanan. Tak banyak ulama-ulama syathariyah yang maju ke depan membela ajaran mereka, kebanyakan nampak berdiam diri. Namun tidak begitu dengan Uwai Limopuluah.
Salah satu daerah yang dihuni oleh ulama-ulama ialah Luak Limopuluah, di sana telah dinyatakan sengketa terhadap paham “Martabat Tujuh”. Melihat demikian diadakanlah semacam muzakarah untuk membicarakan paham yang pelik tersebut di muka sekalian ulama-ulama Luak Limopuluah, sedangkan di kalangan Syathariyah diundanglah Syekh Tuanku Limopuluah Malalo sebagai pembandingnya. Setelah dilangsungkan, ternyata Tuanku Limopuluah dapat mempertahankan argumentasinya terhadap “Martabat Tujuh” tersebut, meskipun telah berganti-ganti ulama Limopuluah untuk mendadah sekaligus mendebat pengajian lama itu, tiada yang mampu menjatuhkan hujjah Uwaih. Akhir dari muzakarah itu para ulama Limopuluah mengakui kealiman Syekh Tuanku Limopuluah Malalo, sehingga digelarilah beliau dengan “Tuanku Limopuluah”, yang berarti Tuanku yang telah mempertahankan kaji “Martabat Tujuh” di depan ulama-ulama Limopuluah. Sehingga sebagian orang mengatakan, kalau tidaklah Tuanku Limopuluah, tentu habis sajalah pengajian syathariyah ini di Minangkabau.
Versi kedua sebab gelaran “Limopuluah” ialah di mana Tuanku ini telah lama menetap dan mengajar di Luak Limopuluah kota. Sehingga digelari sajalah beliau dengan “Tuanku Limopuluah”.
Mengenai jaringan intelektual beliau, kita tidak menemui satu catatan yang sempurna mengenai guru-guru beliau tempat menimba ilmu. Hal ini telah merupakan implikasi dari kitab-kitab peninggalan beliau yang sebahagian besarnya raib, sehingga informasi, betapa besar pun, tidak bisa kita temukan dari cacatan-cacatan yang ditinggalkannya.
Dari sumber-sumber yang ada disebutkan bahwa Tuanku Limopuluah pernah menimba ilmu kepada Tuan Syekh Abdullah “Beliau Surau Gadang” (w. 1901), ayah dari Syekh Abbas Abdullah, Padang Japang Payakumbuh. Guru beliau ini diketahui sebagai seorang ulama besar, pemimpin lembaga pendidikan tradisional “Surau” yang besar di abad XIX, yaitu Surau Gadang Padang Japang. Syekh Abdullah memiliki rantai keilmuan yang kokoh, sebab beliau telah memperoleh ilmu di Surau Taram, dari Tuanku Syekh Sungai Durian. Guru Tuanku Limopuluah lainnya yang cukup terkemuka di kalangan Syathariyah ialah Tuanku Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah Pariaman, beliau merupakan salah seorang ulama tersohor dalam jaringan ulama syathariyah, mempunyai sanad keilmuan hingga Syekh Burhanuddin Ulakan sendiri. Cukup lama Syekh Limopuluah di Lubuak Ipuah, sehingga beliau dipercaya Syekh Lubuak Ipuah untuk mengajar murid-murid yang banyak di surau ini. Hanya tokoh ulama ini yang diketahui sebagai tempat pengambilan ilmu Tuanku Limopuluah. Untuk selanjutnya, setelah lama menimba ilmu, Tuanku Limopuluah kemudian kembali ke Malalo dan mendirikan surau terkemuka di kalangan penuntut ilmu belakangan di kaki sebuah gunung. Kemudian hari surau itu dikenal dengan nama “Surau Uwai Limopuluah”.
Sistem belajar yang beliau terapkan di Surau Uwaih ialah sistem kaji duduk (halaqah) di mana murid-murid mengelilingi guru. Materi yang diajarkan mencakup cabang-cabang pokok keilmuan Islam, yaitu fikih, tauhid dan tasawuf, di samping ilmu alat berupa nahwu. Kitab yang diajarkan berupa kitab-kitab klasik di kalangan ulama-ulama mazhab Syafi’i, seperti Minhajutthalibin (karya Imam Nawawi) dalam ilmu Fikih, Awamil dan Fawakih Janiyyah (karya Syekh Khatab) dalam ilmu alat. Kitab-kitab itu disalin dengan tangan oleh murid-murid dari kitab-kitab induk yang berusia lebih tua. Pengajaran tarekat syathariyah menjadi pelajaran yang populer tentunya di surau Uwai Limopuluah, namun kita tidak menemui catatan kitab-kitab apa yang menjadi rujukan di Surau Uwai, disinyalir, kitab-kitab Syekh Abdurrauf seperti Tanbihul Masyi tetap menjadi pegangan utama.
Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan oleh Tuanku Limopuluah dalam mengajar pengajian “tubuh” ialah dalam kesenian salawat Dulang, berupa nyanyian sya’ir-sya’ir dalam bahasa Minang, yang sangat kental dengan pengajian “Tubuh”. Di antara materi salawat Dulang (atau salawat Talam) ini ialah:
Assalamu ‘alaikum e tolan sahabat
O jikalau kito ka mangaji hakikat
Nyawa jo tubuah lah nyato sakabek
Urang mandanga samonyo ingek
Urang ulama banyak nan kiramaik
…………
Lai malainkan suci sungguah Tajali
Banamo Muhammad, banamo Muhammad
Zahir batini, zahir batini
A’yan Tsabitah iyo mangko katantu
Syekh Tuanku Uwai Limopuluah wafat pada tanggal 28 Agustus 1930, dan beliau dimakamkan di ketinggian bukit Malalo, tidak jauh dari suraunya. Sebelum dimakamkan, ketika dimandikan, nampak betapa beliau digandrungi oleh masyarakat banyak, hingga air bekas mandi beliau itu diperebutkan orang untuk diambil berkahnya.
Cukup banyak ulama-ulama yang menyandarkan silsilah keilmuannya kepada Uwai Limopuluah Malalo. Sebahagian mereka menjadi pionir dari kalangan ulama syathariyah di kemudian hari, di antaranya ialah:
1. Syekh Angku Aluma Koto Tuo (w. 1961). Beliau ialah seorang ulama tarekat syathariyah di Darek yang mempunyai pengaruh besar, hingga disebut ketika Ulakan tidak lagi menampakkan pengaruh, nyaris Koto Tuo (dalam hal ini Surau Angku Aluma ini) menyaingi posisi Ulakan, bahkan merebut pengaruh Ulakan di kalangan pengikut Syathariyah.
2. Pakiah Majolelo, mungkin yang dimaksud dengan Pakiah Madjolelo ini ialah H. Abdul Latief Tuanku Imam Gapuak (1840-1960, dalam usia 120 tahun)
3. Syekh Cubadak Aia Pariaman
4. Syekh Mato Aia Pakandangan
5. Syekh Balinduang Pilubang.[]
*Tulisan ini berdasarkan perjalanan ke Surau Uwai Limopuluah di Malalo, Juni 2011, dilengkapi keterangan Tuanku Lubuak Ipuah, berikut catatan arsip-arsip lama dan inskripsi penghargaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1929.
Ada versi ketiga dari asal muasal uwai 50 bergelar Tuangku Limo Puluah yang saya terima dari salah satu guru saya Buya Tk. Maradjolelo, bahwa gelar tersebut adalah gelar langsung yang diberikan guru beliau Syekh Abdurrahman Lubuk Ipuh. Dulu teman seangkatan beliau dari “darek” yang mengaji ke Lubuk Ipuh Pariaman berjumlah 50 orang, namun dari 50 orang dari darek tersebut hanya beliau yang sampai tamat mengaji sampai dilantik menjadi Tuangku, karena itu beliau diberi gelar Tuanku Limo Puluah karena kealiman mereka yang 50 itu akhirnya terkumpul dan terwakilkan kepada Uwai Limo Puluah. Wallahu A’lam.
Dari 3 versi yg ada, versi ini menurut saya yang lebih kuat dengan alasan:
1. Seorang ulama besar yang mengajar di tempat yang bukan asalnya, biasanya akan digelari dari daerah asalnya, bukan tempat dia mengajar. Terlalu banyak contoh bila disebutkan. Jadi alasan beliau digelari Tk. Limo Puluah karena mengajar di Luak 50 sangatlah lemah.
2. Ini lebih aneh lagi, seorang ulama juga sangat2 jarang mendapat gelar karena menang debat, apalagi justru digelari dengan “mereka yang kalah debat”. Tidak ditemukan kasus semisal, seorang hebat yang bertanding ke kandang lawan dan setelah menang dijuluki dengan tempat lawan yang dikalahkannya. Yang mashur dan harum namanya biasanya justru daerah asalnya.
Terimo kasih atas komentarnyo,
sepertinya ini menarik.
Kami berharap ada tuisan lengkap dari A. Tanjung berupa arikel biar kita memperkaya khazanah bacaan tentang Uwai ini.
Uwai Limapuluh pernah belajar disurau Syech Abdullah (asal Padangjapang) di Halaban. Kawan dekatnya Syech Muhammad Shaleh/Syech Madinah putra pertama Syech Abdullah.