scentivaid mycapturer thelightindonesia

Syekh Zakariya Abdullah Bilah dan Polemik Berdiri Menyambut “Orang Mulia”

Syekh Zakariya Abdullah Bilah dan Polemik terkait Berdiri Menyambut Seorang yang Mulia
Foto Syeikh Yasin Fadang & Syekh Zakariya Abdullah Bilah/ Foto Dok.https://www.facebook.com/405054030028423/photos/pcb.474736283060197/474736193060206/?type=3&theater

Syekh Zakariya Abdullah Bilah (ulama Labuhan Batu) menulis karya I’lam Dzawi al-Ihtisyam bi Ikhtishar Ifadah al-Anam bi Jawaz al-Qiyam li Ahl al-Fadhl wa al-Ihtiram adalah sumbangannya terkait polemik hukum berdiri menyambut “seorang yang mulia”

Dalam lingkungan yang agamis, ditemukan sebuah kebiasaan yang baik, dimana seorang akan berdiri sebagai sambutan atas orang lain yang datang kepadanya, dimana secara derajat lebih tinggi dan mulia darinya. Tradisi ini berlaku dari lingkungan yang lebih kecil, seperti satu keluarga dimana seorang anak menyambut kedatangan orang tuanya dengan berdiri, atau bahkan yang lebih luas, seperti negara, dimana para raja dan pemimpinnya akan dihormati oleh bawahannya. Dalam dunia pesantren –tanpa menafikan lembaga pendidikan lainnya- kebiasaan ini menjadi cerminan tersendiri dari kehidupan santri ketika bertemu dengan para kiai dan guru.

Namun, apakah perbuatan tersebut sudah menjadi kesepakatan antara ulama atas kebolehannya atau termasuk persoalan yang diperdebatkan. Dalam karya Syekh Zakariya Abdullah Bilah yang berjudul I’lam Dzawi al-Ihtisyam bi Ikhtishar Ifadah al-Anam bi Jawaz al-Qiyam li Ahl al-Fadhl wa al-Ihtiram setidaknya menjelaskan adanya polemik ulama terkait status hukumnya, dimana penulisnya memilih pendapat yang membolehkan. Dalam mukadimah, ia menjelaskan alasan penulisan kitab tersebut.

قد رأيت كثيرا من الناس فى هذا الزمان, إذا دخل عليهم ملك, أو أمير, أو وزير, أو عالم, أو صاحب جاه وإحسان, يقفزون قياما على أقدامهم, احتراما لهذا القادم عليهم, وتكرمة وتقديرا لمقامه. وفى مثل هذا القيام, قال بعض العلماء إنه حرام وفاعله آثم, لإتيانه فعلا منهيا عنه, بدليل ما أخرجه أبو داود فى سننه عن أبى أمامة -رضى الله عنه- قال, خرج رسول الله –صلى الله عليه وسلم- متوكئا على عصاه, فقمنا أليه, فقال: (لا تقوموا كما تقوم الأعاجم, يعظم بعضه بعضا). ولما كان هذا الفعل قد عم وطم, وحل بين طبقات الأمم,حتى بين طبقات العلماء, والمتعلمين فى المحافل والمجالس والاستقبال. والقول بالتحريم له خطورته العظيمة فى الحال والمآل, حفزنى الدافع العلمى الى البحث فى هذه المسألة.

(pada zaman ini, saya banyak melihat, apabila seorang raja, amir, menteri, ulama, pejabat dan orang baik datang, banyak orang menyambut mereka dengan berdiri, sebagai penghormatan kepada mereka. Sebagian ulama mengatakan, hal tersebut adalah haram dan pelakunya berdosa, sebab melakukan sesuatu yang dilarang, dengan dalil sebuah hadis riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya, dari Abu Umamah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW keluar dengan menggunakan tongkatnya. Kami kemudian berdiri menyambutnya, tetapi nabi bersabda (jangan kalian berdiri sebagaimana berdirinya orang-orang asing, yaitu mereka saling membesarkan satu dengan yang lainnya). Padahal, perbuatan ini sudah menjadi tradisi dan dilakukan antara bangsa, bahkan ulama, pelajar dalam setiap perkumpulan, majelis dan perjumpaan. Sementara, pendapat yang mengharamkan adalah sesuatu yang berbahaya. Oleh karenanya, atas dasar keilmuan, saya menulis persoalan ini).

Dari penggalan mukadimah di atas, ditemukan bahwa penulis melihat perbuatan tersebut sudah menjadi tradisi di hampir semua tempat, tetapi ada sebagian ulama yang tidak membolehkannya. Saya tidak mengetahui kapan tepatnya ia menyelesaikan karya ini, sehingga tidak diketahui siapa ulama pada zaman penulis yang mempertentangkan dan mempersoalkannya.

Baca Juga: Karya Pemikiran Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin Minangkabau dalam Polemik Keagamaan pada Pertengahan Abad 20

Dalam karya tersebut, masih dalam mukadimah, penulisnya menyebutkan bahwa ia menggunakan 36 rujukan setelah membaca kurang lebih kitab terkait pembahasan. Setelah selesai ditulis, ia mengirimkan naskah tersebut kepada beberapa ulama besar di Makkah dan Madinah; baik ulama yang berasal dari dua kota suci umat Islam tersebut atau ulama yang sedang datang dan berziarah. Tanggapan ulama atas karya ini dinilai positif oleh penulisnya. Kitab ini yang semula berjudul Ifadah al-Anam bi Jawaz al-Qiyam li Ahl al-Fadhl wa al-Ihtiram (penjelasan kepada manusia terkait bolehnya berdiri kepada orang saleh dan terhormat). Oleh karena pembahasan terlalu panjang, penulisnya kemudian meringkas kitab tersebut menjadi judul di atas yang memuat 28 halaman.

Apa yang dibahas penulis dalam karya tersebut, tidak lain adalah perdebatan dan polemik atas status hukum berdiri ketika menyambut orang yang lebih mulia darinya. Dalam membahas polemik tersebut, setidaknya penulis menampilkan pendapat-pendapat ulama-ulama terkemuka dan kemudian menganalisa sumber hadis yang dijadikan rujukan oleh kedua belah pihak.

Ulama-ulama yang dirujuk adalah ulama-ulama klasik dan juga termasuk guru langsung penulisnya. Mereka adalah Imam al-Khattabi dalam Syarh ala Sunan Abi Dawud, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Imam Abdullah al-Maqdisi dalam Al-Adab al-Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, Imam al-Safarini dalam Gidza al-Albab, Imam al-Qarafi dalam al-Furuq, Syekh Muhammad Ali al-Maliki (gurunya di Makkah), Syekh Husain al-Maliki dalam Fatawa Ulama al-Haramain, Syekh Habibullah al-Syanqiti dalam Fath al-Mun’im, Imam Abdullah al-Murdawi dalam Manzhumah al-Adab dan lainnya. Ulama-ulama tersebut semunya mengatakan status hukum kebolehan melakukan hal tersebut.

Menurut mereka, orang-orang mulia yang dibolehkan berdiri menyambut mereka adalah pemimpin negara bagi rakyat, kedua orang tua bagi anak, mertua bagi menantu, guru bagi murid, orang yang lebih tua, orang saleh, terhormat, dermawan. Sebagian ulama memberi batasan tertentu, seperti pemimpin (baik raja, sultan, presiden dan lainnya) harus yang adil dan bijaksana. Penghormatan dengan berdiri tersebut juga untuk menghormati dan berbuat baik kepada mereka, bukan sebagai mengagungkan dan membesarkan. Oleh karenanya, penghormatan tersebut karena terdapat unsur keilmuan, kesalehan, keutamaan, kemuliaan, hubungan darah dan pernikahan, dan umur. Sebagai contoh, akan diberikan 3 pendapat ulama-ulama tersebut:

1. Imam Nawawi dalam Al-Adzkar mengatakan bahwa memuliakan orang yang datang dengan berdiri sebagai penyambutan dibolehkan bagi mereka yang memiliki keutamaan yang jelas, seperti keilmuan, kesalehan, kemuliaan, wilayah hubungan darah dan pernikahan dan lainnya. Sikap berdiri tersebut karena berbuat baik, menghormati dan memuliakan, bukan untuk membesarkan dan menampilkan sikap riya’. Pendapat yang kami pilih adalah perbuatan ulama salaf dan juga khalaf.

2. Imam al-Qarafi yang menyaksikan secara langsung pendapat gurunya, Imam Izuddin Abdul Salam, ketika ditanyakan kepadanya. Soal, apakah pendapat ulama dalam persoalan berdiri yang dilakukan orang-orang zaman sekarang, padahal hal tersebut tidak ditemukan dalam amalan dan perbuatan ulama salaf. Ia menjawab bahwa tidak melakukan penghormatan dengan berdiri di zaman sekarang menyebabkan sikap dan perbuatan yang memutuskan hubungan.

3. Syekh Muhammad Habibullah al-Syanqiti dalam Fath al-Mun’im memberikan standar boleh-tidaknya perbuatan tersebut dengan mengatakan bahwa standarnya adalah tradisi baik menurut masyarakat setempat. Apabila masyarakat menganggap baik perbuatan tersebut, maka ia menjadi boleh. Tetapi, apabila sebaliknya, seperti yang terjadi di negeri asal penulisnya, yaitu Syanqit, maka perbuatan tersebut tidak termasuk yang boleh dilakukan.

Menurut ulama asal Bilah Labuhan Batu ini, meskipun termasuk persoalan yang diperdebatkan status hukum, tetapi mayoritas ulama membolehkannya. Penulis juga menampilkan sumber hadis dari kedua belah pihak dan menganalisa sesuai dengan keilmuannya. Oleh karenanya, ia memilih pendapat mayoritas ulama yang membolehkan.

Siapakah Syekh Zakariya Abdullah Bilah. Menurut saya, namanya tidak sepopuler temannya di Makkah, yaitu Syekh Muhammad Yasin Padang yang dikenal dengan musnid dunia. Tetapi, keduanya merupakan diantara ulama Nusantara yang bermukim di Makkah pertengahan dan ujung abad 20 masehi. Keduanya sering melakukan perjalanan ke Nusantara. Beberapa foto yang beredar luas di media sosial menunjukkan kedekatan mereka, seperti kunjungan mereka ke pesantren tertua di Sumatera Utara, Mustafawiyah Purba Baru, tampak yang menyambut mereka adalah Syekh Muhammad Jakfar Mandailing (alumni Makkah dan Mesir), Syekh Abdullah Mustafa Husain (anak kandung pendiri pesantren), dan lainnya.

Biografi ulama asal Bilah ini sudah ditulis secara lengkap oleh Prof. Dr. Ibrahim Abu Sulaiman ketika memberikan tahkikan dan komentar atas karya monumental penulis tentang biografi ulama Nusantara dan Arab di Haramain, yang berjudul Al-Jawahir al-Hisan fi Tarajim al-Fudhala’ wa al-A’yan min Asatidaz wa Khillan (mutiara yang elok dalam membahas biografi ulama dan tokoh dari kalangan guru dan sahabat).

Baca Juga: Salat Jumat di Palembang Akhir Abad 19: Kronologis Sejarah dan Polemik Antara Sayyid Usman Betawi (1822-1914 M) dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1915)

Nama lengkapnya adalah Syekh Zakariya bin Syekh Abdullah bin Syekh Hasan Bilah. Ia dilahirkan di Makkah pada malam Jumat, 7 Jumadil Ula 1329 H/ 1911 M. Belajar kepada ayahnya, Syekh Abdullah Bilah, kakeknya dari jalur ibu, Syekh Abubakar Tambusai dan beberapa ulama besar Makkah dan Madinah, seperti Umar Bajunaid, Syekh Umar Hamdan al-Mahrasi, Syekh Abdullah al-Bukhari, Syekh Abdullah al-Syafi’i, Syekh Hasan Masyath, Syekh Mukhtar Makhdum, Syekh Muhsin al-Musawa Palembang, Sayyid Abubakar Salim, Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syekh Muhammad Fathani, Syekh Mahmud Zuhdi Fathani, Sayyid Ahmad Abdullah Dahlan, Syekh Abbas al-Maliki, dan lainnya. Menurutnya, riwayat ini merupakan tulisan tangan langsung Syekh Zakariyah Bilah yang ditemukannya.

Ia melakukan kunjungan ke Indonesia selama 3 kali: 1) pada tahun 1396 H bersama beberapa ulama Nusantara lainnya, seperti Syekh Muhammad Yasin Padang, KH. Ahmad Dahlan Kediri, Sayyid Hamid al-Kaff, Syekh Abdul Rahim Timur, Syekh Mukhtar Palembang, dan Syekh Muhammad Adenan. Kunjungan ini atas undangan dari menteri agama saat itu, Prof. Abdul Mukti Ali. Dalam kunjungan pertama ini kesan yang disampaikan sangat baik, bahwa ia menemukan manuskrip Gayah al-Wusul Syarh Lubb al-Ushul karya Syekh Muhammad Mahfuzh Termas yang saat itu berada di tangan cucunya di Jakarta, 2) undangan ketua umum Nahdatul Ulama (NU) saat itu, KH. Idham Khalid, dan 3) undangan menteri agama RI saat itu, Jenderal Alamsyah. Kunjungan-kunjungan tersebut dimanfaatkan untuk bertemu sanak saudaranya di Jakarta dan Medan. Sebab, dua pamannya berada di Sumatera Utara dan berhasil mengembangkan bisnis perniagaan di beberapa wilayah ini.[]

Medan, Senin, 12 Muharram 1442/ 31 Agustus 2020
Ahmad Fauzi Ilyas (Pelayan santri/ mahasantri di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, dan STIT RH, Medan)

Ahmad Fauzi Ilyas
Ahmad Fauzi Ilyas Peneliti dan Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan.