Sejak diperbolehkannya siaran televisi swasta di Indonesia pada akhir tahun 1980-an, suasana ibadah puasa di sebagian besar keluarga muslim di Indonesia kedatangan hal baru: iklan televisi bertema puasa Ramadhan. Iklan adalah media yang dipakai produsen dan pedagang untuk mempromosikan barang dagangan. Dia juga sekaligus jadi salah satu media yang dipakai calon konsumen untuk mengenal produk yang akan dikonsumsinya. Bagi umat muslim, dan masyarakat pada umumnya, iklan bertema keagamaan memang bukan barang baru. Mulai dari versi visual cetak di koran dan majalah sejak awal abad ke-20, kemudian versi audio di radio sejak pertengahan abad, masyarakat umum sudah mengenal iklan atau reklame.
Kebaruan iklan bertema ibadah puasa yang ditawarkan televisi lahir dari dua hal: pertama, sifatnya yang audio-visual memperluas ruang kreatif bagi pembikin iklan untuk menampilkan ke-Ramadhan-an. Secara visual tersedia simbol-simbol, baik teks maupun citra, yang melimpah ruah yang dapat dipakai untuk menunjukkan keramadhanan dan atau keislaman pada umumnya. Sedangkan secara audio dimungkinkan untuk menyertakan suara-suara yang menampilkan suasana keramadhanan semisal suara beduk, azan, tilawah al-Quran, atau suara vokal penceramah kondang.
Kedua, para ahli media dan komunikasi mendaulat televisi sebagai anggota keluarga tambahan. Di zaman televisi ini, suasana kekeluargaan terasa kurang berarti jika televisi tidak hadir di tengah-tengah ayah, ibu, anak-anak dan anggota keluarga lain. Di tengah rasa harap-harap riang menunggu bedug berbuka, kehadiran televisi dirasa wajib. Tidak ada hal khusus yang akan disimak dari siarannya, sebab tanda berbuka juga disampaikan lewat sirine atau azan di corong-corong masjid. Sedangkan acara beberapa menit menjelang bedug pun tidak ada yang spesial. Celoteh penceramah hanya beberapa menit, selebihnya iklan dan kuis bagi-bagi hadiah duit, atau lawakan yang entah lucu entah tidak. Di ruang tempat keluarga berbuka, kehadiran televisi tidak bersifat fungsional, melainkan eksistensial. Pokoknya dia harus ada dan menyala, walau tidak disimak dan digubris.
Baca Juga: Ahli Fikih Mengapa Harus Kekinian
Bagi pedagang, dan praktisi iklan sebagai partnernya, tidak ada yang khusus dengan puasa Ramadhan sebagai ibadah yang terkait dengan iman dan takwa. Bulan puasa adalah momen yang tidak berbeda sedikit pun dari momen-momen lain di sepanjang tahun. Di mata dan saku mereka, momen puasa sama nilainya dengan momen peringatan Hari Kemerdekaan, hari Valentine, turnamen sepak bola dan lain sebagainya. Bahkan, jika kelak ada hari “makan sepuasnya” yang diperingati sebagai momen hari besar, nilainya tidak akan kurang dan tidak akan lebih dari bulan puasa.
Oleh karena itu, selain mengkritisi perilaku pedagang dan praktisi iklan dengan menudingnya telah memperjualbelikan (komodifikasi dan komersialisasi) agama, terdapat langkah lain yang kiranya tak kurang berfaidah bagi kemandirian berpikir umat. Langkah tersebut adalah memeriksa bagaimana iklan televisi memanfaatkan momen puasa Ramadhan untuk mempromosikan dagangan dengan mengeksploitasi tanda-tanda yang dalam budaya sehari-hari mengacu pada keramadhanan dan atau keislaman. Pemeriksaan itu dapat dilakukan menggunakan kacamata ilmu tentang tanda-tanda simbolis yang dipakai manusia sebagai makhluk berbahasa (semiotika).
Secara sederhana, kategori barang-barang yang diiklankan di televisi dengan tema puasa dan memanfaatkan tanda-tanda yang mengacu pada keramadhanan adalah sebagai berikut.
Iklan Makanan dan Minuman
Dengan kecanggihan teknik sinematografi iklan, iklan-iklan produk makanan dan minuman bertema puasa Ramadhan hanya menyampaikan satu hal: lampiaskanlah rasa lapar dan dahaga sepuas-puasnya dengan mengonsumsi produk yang diiklankan. Ironisnya ini justru berlawanan dengan fungsi normatif ibadah puasa sebagai latihan mengendalikan nafsu. Rangkaian tanda-tanda seperti makanan di piring di atas meja makan, sayur yang sedang diaduk di panci, minuman segar di dalam botol, sirup yang dituang ke dalam kelas, dan lain sebagainya membentuk gugus makna yang lama kelamaan bisa melahirkan mafhum (konotasi) bahwa puasa adalah kondisi lapar dan haus yang bersangatan. Serbuan tanda-tanda ini menghasilkan konotasi puasa sebagai sesuatu yang mengerikan. Betapa tidak, ibarat kata pepatah biarlah berkelahi dengan orang asal jangan berkelahi dengan perut. Iklan memanfaatkan celah makna konotatif ini dengan berpretensi sebagai penyelamat. Puasa boleh membuat orang kelaparan dan kehausan, namun tidak usah cemas karena ada produk yang cocok dan pas untuk mengatasinya saat berbuka.
Dengan kecanggihan teknik dan peralatan mutakhir, gambar yang ditayangkan iklan bisa memperlihatkan embun dan butir air yang melekat pada gelas sirup untuk menunjukkan betapa sejuknya sirup tersebut. Iklan bisa menampilkan asap tipis yang mengambang dari makanan atau sayuran seakan menunjukkan betapa nyatanya aroma lezat yang keluar.
Iklan Obatan-obatan dan Suplemen Pembugar Tubuh
Dagangan lain yang juga memanfaatkan momen puasa lewat iklan adalah obat-obatan dan suplemen untuk menjaga kebugaran tubuh. Obat maag, kembung, sakit kepala, obat mabuk perjalanan, vitamin, tonikum, atau air mineral adalah di antara contoh kategori ini. Berbeda dari kategori iklan makanan minuman di atas, konotasi yang lahir dari kategori ini tidak berlawanan dengan pesan normatif puasa. Dia hanya memunculkan konotasi efek samping dari puasa. Kalau lemes, kurang gairah, kurang cairan dan kekurangan lain yang mengakibatkan kebugaran menurun gara-gara puasa, tentu pekerjaan normal akan terganggu. Kalau sakit maag dan gangguan asam lambung dialami selama puasa, tentu banyak kegiatan yang berjalan tidak optimal. Selain itu kegiatan ibadah yang memerlukan tenaga seperti salat tarawih dan lain-lain juga akan terganggu karena berkurangnya kebugaran, diganggu sakit maag atau sakit kepala. Konotasi ini pada akhirnya menciptakan hubungan pendek makna, yaitu ibadah setara statusnya dengan rutinitas pekerjaan memproduksi sesuatu. Buruh di pabrik menghasilkan barang, muslim yang beribadah menghasilkan pahala. Agar produksi terus berjalan maka mesin dan operator produksi harus sehat, waras dan bugar. Puasa yang secara normatif adalah momen rahmat untuk membersihkan diri dari kesalahan dan dosa, merefleksikan penderitaan paling dasar manusia berupa lapar dan haus, berubah menjadi momen penuh ancaman dan beban. Momen yang sarat dengan penyakit dan gangguan untuk proses produksi pahala.
Celah ini dimanfaatkan iklan dengan menjejalkan seruan mengonsumsi obat dan suplemennya supaya kinerja seorang hamba tidak terganggu dalam memproduksi pahala.
Iklan Produk Perawatan Penampilan
Jenis dagangan dalam kategori ini mencakup segala macam kosmetik penjaga penampilan tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki, baik untuk laki-laki apalagi perempuan. Memang tema iklan dagangan dari kategori ini yang langsung bisa dikaitkan dengan keramadhanan tidak sebanyak dan sejelas kategori-kategori sebelumnya. Namun ada saja yang bisa dimanfaatkan oleh pedagang dan praktisi iklan dari keramadhanan. Salah satu yang paling masyhur adalah soal bau mulut saat berpuasa yang dimanfaatkan oleh dagangan pasta gigi atau obat kumur.
Hampir mirip dengan kategori kedua, konotasi yang dilahirkan oleh kategori ini adalah puasa sebagai biang perusak penampilan. Tidak ada orang waras dan normal di dunia ini yang gembira bau mulutnya busuk. Jangankan orang lain, hidungnya sendiri pun terganggu. Karena puasa secara alamiah memang membuat mekanisme pencernaan menghasilkan aroma napas tidak enak, maka pedagang menghimbau agar pelaku ibadah menjaga penampilan mulutnya agar tidak mengganggu orang lain dengan mengonsumsi dagangannya. Kalau kategori obat-obatan dan suplemen secara konotatif menampilkan puasa sebagai beban atau ancaman penyakit, maka kategori perawatan penampilan mengonotasikannya sebagai pengganggu. Dinyatakan dengan cara sedikit olok-olok, iklan barang-barang untuk menjaga penampilan yang bertema puasa seakan mencemooh riwayat yang menyatakan di akhirat kelak, bau mulut orang berpuasa akan beraroma kasturi, misalnya. Iklan seakan mengatakan, “Buat apa menunggu hidup di akhirat kelak untuk menikmati bau mulut yang harum, cukup berkumur dengan obat kumur merek ‘anu,’ di dunia ini pun mulut Anda tetap bisa enak terasa saat berpuasa.
Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau
Iklan Sandang
Secara terang-terangan, kategori sandang, dari penutup kepala sampai penutup kaki, mulai marak dijajakan lewat iklan menjelang Lebaran. Hal ini wajar karena Lebaran bagi sebagian besar masyarakat adalah momen memiliki pakaian baru. Ini terutama berlaku pada iklan sandang yang menjual merek. Namun dalam iklan-iklan yang memanfaatkan momen puasa dan tidak secara khusus menjajakan suatu merek tetap saja ada seruan untuk mengonsumsi sandang yang ditampilkan. Kali ini yang ditonjolkan bukan merek, melainkan model dan motif.
Ketika yang dijajakan hanya model dari suatu jenis sandang, bukan merek, maka dia bisa ditampilkan di iklan kategori apa saja selama aktor-aktor dalam iklan tersebut memakai model dan motif yang ingin dipasarkan. Entah itu jilbab, baju, kopiah, sarung, asesoris dan lain sebagainya. Ada model penutup kepala yang sangat sederhana sehingga terkesan seperti selembar kain ditaruh begitu saja di atas kepala untuk menutupi rambut. Ada model yang rumit dan dijalin-jalin sedemikan rupa sehingga terlihat seperti kain kusut melilit kepala. Ada baju koko yang pantes dipakai bapak-bapak berwibawa ada pula model baju koko yang cocok buat anak band yang rajin salat.
Semua jenis sandang ini ditampilkan dalam iklan kategori ini secara necis, bersih, kinclong, tanpa cela dan cacat. Yang perempuan cantik bagai bidadari, yang laki-laki rupawan bagai arjuna. Secara kuantitas, jumlah iklan jenis ini paling banyak, karena dia bisa berada pada iklan-iklan kategori lain selama yang jadi lakon dalam iklan itu adalah manusia.
Konotasi yang lahir dari iklan-iklan sandang ini sebenarnya sederhana saja. Inti ibadah puasa yang secara normatif begitu abstrak, seperti ketakwaan, ketaatan beribadah, kesakinahan keluarga dan lain sebagainya tiba-tiba bisa dikonkretkan lewat sandang. Sandang seakan mengonkretkan bertambahnya ketakwaan seorang pedangdut yang sehari-hari terbiasa memakai pakaian seksi. Aktor pria yang biasanya berpenampilan trendi seakan konkret pertambahan kesalehannya dengan memakai baju koko bermotif sulaman terbaru. Kalau tidak percaya mekanisme konotasi ini memang bekerja di tengah masyarakat, lihat saja para terdakwa beragama Islam entah karena kasus korupsi, pemerkosaan, pembunuhan, atau perampokan, saat sidang di pengadilan. Mereka memakai kupluk dan baju koko!
Iklan Barang atau Jasa Komersial Lain yang Berhubungan Secara Semu dengan Ibadah Puasa
Barang atau jasa yang tidak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan momen puasa. Dengan kata lain, hubungan antara barang yang diiklankan dengan keramadhanan bersifat semu. Hubungan keduanya tidak langsung tertangkap. Barang-barang tersebut, di antara yang paling getol dan bagus iklan-iklannya selama bulan Ramadhan, adalah semisal rokok dan kartu SIM. Selain itu ada pula iklan kendaraan, gadget, jasa jual-beli online, dan lain sebagainya. Barang atau jasa ini pada dasarnya tidak terkait secara langsung dengan puasa sebagai ibadah menghentikan konsumsi makanan-minuman di siang hari. Namun oleh copywriter (penulis naskah iklan) barang dan jasa ini dikaitkan atau dikait-kaitkan dengan ibadah puasa dengan cara dan teknik sedemikian rupa menggunakan tanda-tanda yang tersedia di tengah masyarakat dan yang mengacu pada keramadhanan.
Teknik mengaitkan produk dagangan dengan tema keramadhanan ada yang sangat “kasar”, artinya tidak memerlukan upaya penafsiran yang berat. Misalnya iklan produk kendaraan yang menjual tema kehangatan keluarga sebagai salah satu suasana yang identik dengan ibadah puasa. Atau iklan kartu SIM untuk komunikasi telepon genggam yang mengangkat tema kerinduan antar anggota keluarga yang saling berjauhan di bulan puasa namun tetap bisa saling bersilaturahmi melalui teknologi selular.
Ada pula teknik yang lebih canggih dan butuh penafsiran lebih untuk menangkap hubungan iklan dengan tema keramadhanan. Dalam iklan yang canggih ini, produk sama sekali tidak diperlihatkan apalagi ditonjolkan di dalam inti iklan. Produk hanya disinggung di bagian akhir. Yang ditonjolkan adalah kekuatan tema atau cerita. Untuk mengilustrasikan kategori iklan yang canggih ini dapat dilihat dalam contoh berikut.
Iklan televisi untuk produk sebuah rokok pada Ramadhan 2016 menampilkan tiga peristiwa berbeda dengan satu tema yang menyatukan. Peristiwa pertama seorang pemuda yang sedang berjalan sendirian diteriaki oleh tiga pemuda dari belakang; kedua, seorang wanita muda hendak menegur seorang pria gondrong bertampang sangar yang menerobos antrian; dan ketiga, beberapa warga yang sedang duduk berkumpul memperhatikan seorang pemuda yang keluar dari rumah sambil membawa arit. Adegan dan akting dari pemuda yang diteriaki, perempuan yang diterobos antriannya oleh pria gondrong dan warga yang sedang duduk-duduk memperhatikan pemuda membawa arit menunjukkan kesan prasangka buruk terhadap lawan masing-masing. Pemuda pertama berprasangka buruk pada orang-orang yang meneriakinya, si perempuan menyangka pria gondrong semena-mena merampas gilirannya di garis antrian, dan warga mengira pemuda yang membawa arit akan melakukan kejahatan bersenjata tajam.
Namun yang terjadi adalah teriakan orang-orang pada pemuda pertama adalah upaya menyelamatkannya dari kayu-kayu yang jatuh hampir menimpanya. Pria gondrong ingin membantu nenek-nenek tua yang sudah tidak sadar keluar dari garis antrian di depan perempuan yang curiga. Sedangkan pemuda pembawa arit ternyata akan berangkat gotong royong membersihkan halaman masjid. Adegan ini ditutup dengan tulisan “Saatnya hilangkan prasangka, lihat kebaikan dengan hati terbuka.” Di bagian akhir iklan muncul ucapan selamat menunaikan ibadah puasa dari nama perusahan produsen rokok Djar*m yang punya iklan ini. Selengkapnya iklan ini dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=kBYvmaJMYmA.
Dampak Iklan: Perintah Berulang-ulang
Ada pun hal yang dapat dicatat bagi kemandirian berpikir umat muslim dalam menghayati serbuan iklan dalam kehidupannya sehari-hari, dari mulai terjaga di pagi hari sampai terlelap di malam hari adalah mekanisme struktur tanda dan pertandaan dalam iklan-iklan dengan kategori-kategori umum di atas. Mekanisme tersebut melahirkan dampak pada persepsi dan pencerapan pemirsa iklan baik secara sadar (conscious), apalagi tidak sadar (unsconscious).
Dari kategori-kategori umum di atas, setidaknya ada dua mekanisme struktur tanda dan pertandaan yang melahirkan dampak pada pemirsa. Dampak inilah yang ditunggu-tunggu padagang yang mengiklankan dagangannya berkat jasa praktisi iklan. Mekanisme tersebut adalah imperatif dan penjejalan (inculcation).
Struktur tanda dan pertandaan dalam kategori iklan 1 sampai dengan 4 (makanan-minuman; obat-obatan dan suplemen pembugar badan; perawatan tubuh; dan, sandang) umumnya menjalankan mekanisme imperatif. Iklan-iklan itu sebenarnya memerintah pemirsa dengan asumsi-asumsi makna yang terbangun dari struktur pertandaan yang ada di dalamnya. Dalam kategori makanan dan minuman, perintahnya adalah “Kenyangkanlah perut kalian dengan makanan ini!” atau “Puaskanlah dahaga kalian wahai orang-orang bertakwa yang sedang berpuasa dengan minuman ini!.” Dari kategori obat-obatan dan suplemen yang keluar adalah perintah “Jagalah kesehatan dan jauhilah penyakit akibat menahan lapar dan haus selama Ramadhan dengan barang kami ini!” Sedangkan“Tetap rawatlah penampilanmu meski sedang berpuasa agar tidak malu-maluin dalam bergaul!” adalah perintah yang datang dari kategori ketiga. Sementara dari kategori keempat yang keluar adalah perintah “Pakailah ini atau itu supaya kalian tampak islami atau terlihat sebagai muslim yang berpuasa!”.
Sedangkan mekanisme penjejalan lahir dari iklan-iklan yang hubungannya dengan keramadhanan bersifat semu, tidak langsung. Mekanisme ini bertujuan agar dagangan yang diiklankan merasuk dan mengendap dalam ketidaksadaran (unconsciousness) pemirsa. Penjejalan dalam arti menampilkan, menunjukkan, mengingatkan secara berulang-ulang dan bertubi-tubi suatu merek atau jenis dagangan adalah teknik untuk merasuki ketidaksadaran ini. Karena harus berulang-ulang dan bertubi-tubi, mekanisme penjejalan ini memakan waktu lama sebelum berhasil merasuk. Ketika ketidaksadaran pemirsa sudah dirasuki, dagangan tadi sulit tergantikan oleh dagangan lain, sebab sudah mengendap di ketidaksadarannya. Untuk mengilustrasikan proses penjejalan yang berlangsung abstrak dan jadi kajian kritik ideologi dengan perspektif psikoanalisis ini adalah produk pasta gigi atau air mineral. Di sebagian besar masyarakat, apa pun merek dan jenis pasta gigi tetap disebut dengan nama satu produk pasta gigi yang sudah sangat lama diiklankan, yakni Pepsod*nt. Begitu pula dengan air mineral. Apa pun merek dan jenis air mineralnya, namun nama sebutannya sehari-harinya tetap Aq*a, yang sebenarnya adalah salah satu merek produk air mineral keluaran perusahaan milik Prancis. Begitu pula dengan produk sepeda motor. Apa pun mereknya, namun tetap disebut Hond*.
Itulah sebabnya mengapa produk yang tak ada hubungannya dengan puasa pun tetap bisa berpartisipasi memakai tema puasa dalam iklan-iklannya, walau hanya sekadar menampilkan logo atau nama perusahaan produsennya di bagian akhir. Agar pemirsa betah menyimak berkali-kali, yang jadi syarat proses penjejalan, maka dibuatlah iklan dengan tema atau kisah yang menarik dan kontekstual. Biasanya iklan-iklan yang memakai mekanisme penjajalan berasal dari perusahan-perusahan besar karena membutuhkan biaya sangat mahal ketimbang iklan yang terang-terangan meminta pemirsa membeli satu merek minuman untuk hidangan berbuka, misalnya.
Ibadah puasa yang secara normatif dimaksudkan sebagai ajang umat muslim berlatih mengendalikan hawa-nafsunya, terutama makan dan minum, justru menjadi salah satu momen paling berharga bagi pedagang dan praktisi iklan untuk menggoda hawa-nafsu. Dengan kata lain, puasa dan iklan televisi memiliki tujuan berlawanan. Hanya saja berlangsung di waktu dan tempat yang sama: paling kentara di meja makan pada saat berbuka atau sahur.
Pertanyaan yang muncul dari keadaan yang berlawanan ini adalah perlukah seorang muslim berpuasa pula dari iklan, minimal di bulan Ramadhan? Wajarkah seorang muslim berta’awwuz dengan cara yang lebih kekinian: Aku berlindung dari godaan iklan yang terkutuk?
Ataukah justru iklan mesti diterima sebagai bagian dari kehidupan dan kebudayaan yang wajar, bahkan bermanfaat, sebab pemirsa memperoleh informasi tentang suatu barang dari iklan. Sebab iklan memosisikan pemirsa tanpa pandang bulu. Sebab iklan menciptakan iklim demokrasi. Di hadapan iklan, manusia adalah sama![]
Leave a Review