scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tadzkîr al-Ghabî: Interpretasi Syekh Burhanuddin atas Syarh al-Hikam Karya Ibnu Athailah as-Sakandari

Tazkir al-Ghabî: Interpretasi Syekh Burhanuddin atas Syarh al-Hikam Karya Ibnu Athailah as-Sakandari
Ilustrasi/dok.Penulis

Naskah atau manuskrip merupakan realisasi hasil goresan dari pemikiran orang-orang terdahulu yang dianggap sebagai pemikiran dan budaya masa lampau (Baried dkk, 1994). Oleh sebab itu, naskah dapat menjadi sumber primer yang outentik yang mampu mendekati jarak masa lalu dan masa sekarang (Fathurahman, 2011). Kendati demikian, tidak banyak dari masyarakat sekarang yang paham dan mampu membaca teks-teks pada manuskrip tersebut. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam membaca bahasa dan aksara yang terdapat pada teks. Salah satunya ialah teks naskah dengan judul Tadzkîr al-Ghabî, sebuah manuskrip dengan konten tasawuf yang ditemukan di surau Pondok Ulakan Sumatera Barat, surau ini merupakan tempat tinggal Syekh Burhanuddin dan merupakan karya hasil pemikiran Syekh Burhanuddin.

Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama yang memiliki peranan penting dalam islamisasi di Minangkabau. Meskipun ada beberapa teori tentang islamisasi di Minangkabau seperti:

Pertama, Islam telah masuk ke Minangkabau pada abad ke VII M. melalui jalur perdagangan. Minangkabau sebagai wilayah yang terkenal dengan hasil buminya seperti lada, kopi, kopra, rempah-rempah dan lain-lain. Sehingga banyak dari para saudagar Persia/Arab dan berdagang sambil menyiarkan agama Islam dan membentuk perkumpulan Arab di daerah pantai barat Sumatera (Ramayulis, 2010). Pendapat ini juga diungkap oleh Hamka yang menyatakan bahwa sekitar 674 M tepatnya 42 tahun sudah didapati sekelompok masyarakat Arab di Minangkabau. Kemungkinan, kata Pariaman berasal dari bahasa Arab yaitu “barri aman” yaitu tanah daratan yang aman sentosa (Hamka, 1967). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh M.D. Mansoer yaitu sekitar abad ke-7 Minangkabau bagian Timur telah mengenal agama Islam oleh saudagar Persia yang diutus oleh Dinasti Umayyah yang ketika itu menguasai perdagangan lada dan dapat menyaingi Dinasti T’ang (Mansoer, 1970).

Kedua, mayoritas sarjana Belanda berpendapat dengan memegang teori bahwa anak benua India merupakan asal mula Islam di Nusantara, bukannya Persia atau Arabia. Semisal Pijnappel mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermigrasi dan menetap di wilayah India yakni Gujarat dan Malabar dan kemudian membawa Islam ke Nusantara. Kemudian Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Muslim Deccan datang ke dunia Melayu sebagai penyebar Islam pertama, begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan anak benua India, kemudian disusul oleh orang-orang Arab. Moquette juga mengatakan bahwa Islam berasal dari Gujarat berdasarkan pengamatan terhadap bentuk batu nisan di Pasai yang kelihatan mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik Jawa Timur, khususnya batu nisan tertanggal 17 Zulhijah 831 H/ 27 September 1428 M. kedua batu nisan tersebut memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan di Cambay, Gujarat (Azra, 2013).

Baca Juga: Syair Nazham Tradisi Bersastra Ulama Minangkabau

Ketiga, pendapat lain mengatakan bahwa Islam di Sumatera Barat (Minangkabau) telah mulai diislamkan oleh pedagang-pedagang Islam yang berlayar dari Malaka menyusuri sungai Kampar dan Inderagiri pada abad ke-15 dan ke-16 M (Tjandrasasmita, 1976).

Beberapa teori islamisasi di atas tidak dapat menafikan peran penting Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam di Minangkabau. Hal ini dikarenakan islamisasi besar-besaran yang menjangkau pelosok Minangkabau adalah karena peran Syekh Burhanuddin dan para murid-muridnya yang tersebar di berbagai pelosok daerah Minangkabau.

Berdasarkan cerita lisan yang diketahui oleh mayoritas masyarakat Sumatera Barat dan manuskrip-manuskrip yang berisikan tentang sejarah Syekh Burhanuddin seperti manuskrip yang ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf yang berjudul Mibaligh al-Islam dan satu manuskrip lainnya menceritakan dan menyebutkan bahwa Syekh Burhanuddin yang awalnya bernama Pono belajar agama Islam kepada Syekh Muhammad Arif atau yang dikenal juga dengan Tuanku Madinah karena ia datang dari Madinah. Tuanku Madinah adalah sahabat seperguruan Syekh Abdurrauf Singkel ketika belajar di Timur Tengah kepada Ahmad Qusyasi.

Dalam masa-masa menikmati pendidikan Islamnya kepada Tuanku Madinah, tiba-tiba Tuanku Madinah berpesan atau berwasiat kepada Syekh Burhanuddin jika suatu saat nanti ia tiada maka lanjutkanlah pelajarannya ke negeri Aceh kepada sahabat seperguruannya yaitu Syekh Abdurrauf. Tidak lama setelah menyampaikan pesan itu, tiba-tiba Tuanku Madinah menghilang tanpa kabar, merasa sedih yang mendalam karena kehilangan gurunya, tiba-tiba Syekh Burhanuddin teringat akan pesan gurunya dan kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Aceh. Dalam perjalanan ke Aceh Syekh Burhanuddin bertemu dengan empat orang pemuda asal Minangkabau lainnya yaitu Syekh Muhammad Nasir Koto Tangah Padang, Syekh Maruhun Panjang Kubung Tigo Baleh, Syekh Qadi Padang Ganting Batusangkar, dan Syekh Buyung Mudo Puluik-Puluik Bayang Pesisir Selatan dan mereka berempat inilah nantinya yang menjadi khalifah dan membantu Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di Minangkabau.

Setelah Syekh Burhanuddin menyelesaikan pelajarannya di Aceh kepada Syekh Abdurrauf dan mendapat ijazah serta dijadikan khalifah oleh Syekh Abdurrauf untuk Minangkabau, Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau dan menyebarkan agama Islam serta menciptakan sistem pendidikan Islam dalam bentuk surau (Yunus, 1979). Sebelum kedatangan Islam yakni di masa Hindu-Budha surau dikenal sebagai tempat pengembangan ajaran Budha yang didirikan pada tahun 1386 M. oleh Adityawarman dalam bentuk biara, hal ini terdapat dalam prasasti dengan nama ‘saruaso’ yang berarti Surau Aso (surau asal/utama) (Aboe Nain, 1993). Tidak hanya sebagai tempat belajar agama, surau di masa pra-Islam memiliki berbagai fungsi. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah milik penduduk dari satu suku (saparuik) (Gazalba, 1983).

Surau juga dipandang sebagai tempat berkumpulnya kaum laki-laki remaja dan dewasa untuk melakukan aktivitas sosial, laki-laki di Minangkabau tidak memiliki ruang kamar di rumah gadang, sehingga mereka menggunakan surau di malam hari untuk tempat istirahat. Surau juga menjadi tempat perlindungan bagi para pengembara, pedagang dan sebagainya untuk menghabiskan waktu malam mereka ketika melewati desa (Azra, 2003).

Setelah Islam berkembang surau dijadikan tempat saran belajar Agama, sebagai asrama anak-anak muda, tempat upacara-upacara yang berkaitan dengan agama, tempat suluk, tempat berkumpul dan berapat, tempat bagi para musafir, dan tempat untuk berkasidah dan bergambus. Selain itu, sebelum abad 20 surau sempat menjadi barometer ekonomi masyarakat pedalaman Minangkabau, dimana komoditas rempah pernah didominasi oleh masyarakat surau (Dobbin, 2008).

Peninggalan surau yang digunakan oleh Syekh Burhanuddin hingga saat sekarang ini masih berdiri kokoh, surau itu disebut dengan Surau Gadang. Untuk peninggalan Syekh Burhanuddin berupa manuskrip, pakaian dan kopiah beserta sebuah al-Quran yang terbuat dari upiah (pelapah pohon pinang) terdapat di Surau Pondok ketek yang awalnya merupakan rumah tempat tinggal Syekh Burhanuddin.  Selain menyebarkan agama Islam, Syekh Burhanuddin juga seorang ulama yang menyebarkan tarekat Syattariyah di Minangkabau.

Sejarah dan perjuangan Syekh Burhanuddin ini sangat dikenal oleh masyarakat banyak di Minangkabau dan telah dikaji oleh beberapa peneliti seperti Duski Shamat telah menulis buku dengan judul Syekh Burhanuddin dan Islamisasi di Minangkabau, kemudian Tengku Sultan Hermansyah dengan judul Masuknya Agama Islam ke Minangkabau 1030 H (Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman), selanjutnya oleh Oman Fathurrahman dengan judul Tarekat Syattariyah di Minangkabau, dan lain sebagainya.

Beberapa penelitian tersebut tidak satu pun dapat membuktikan keulamaan Syekh Burhanuddin lewat karya tulisnya. Namun ada sebuah manuskrip yang disalin oleh murid Syekh Burhanuddin yang dikenal oleh kalangan jamaah tarekat Syattariyah dengan sebutan Tahqiq Syattari. Manuskrip tersebut dianggap oleh pengikut tarekat Syattariyah di Minangkabau salinan dari karya Syekh Burhanuddin sendiri, meskipun tidak satu pun kolofon yang membuktikan hal tersebut.  Karya Syekh Burhanuddin sendiri baru ditemukan pada tahun 2011 di Surau Pondok dengan judul Tadzkîr al-Ghabî sebuah karya tasawuf yang merupakan sarah dari kitab al-Hikam yang ditulis dalam bahasa Melayu, hal ini disebutkan pada kolofonnya:

Tamma al-kitâb al-musammâ bitadzkîr al-ghabî bi-‘aun Allâh al-malik al-wahhâb al-hâdî ilâ al-shawâb wa alyhi al-maâb ta’lîf sayyidinâ mawlânâ wa qad waqnâ  fî al-tharîqah wa al-haqîqah wa al-ma‘rifah al-Syaykh Burhanudddin Ulakan wa al-syâfi’î madzhaban ta ‘ammadahu Aallâh birahmatihi wa askan fasîh jannatahu wa nafa‘anâ Allâh bih wa radhiyaallâh ‘anhu wa shâhibihi wa kâtibihi al-faqîr al-haqîr al-muta‘arrif bi al-dzunubi al-muhtâj ilâ ‘afw al-rabb al-rahîm Salbiyan Min ulakan wa al-syâfi‘î mazdhabihi ghafara Allâh lahu wa liwâlidayhi wa lijamî‘i akhîhi min dzakarin wa untsâ wa Allâh a‘lam bi al-shawâb wa al-ma’âb. Allâhumma ighfirlî wa liwâlidayya wa lijamî‘ al-muslimîn wa al-muslimât wa al-mu‘minîn wa al-mu‘minât al-ahya’ minhum wa al-amwât wa ushalli wa usallimu ‘alâ man anzala ‘alyhi al-qur’ân Muhammad Abu al-Qâsim”.

Melihat satu-satunya karya yang menjadi sebuah bukti kedalaman pengetahuan Syekh Burhanuddin dalam bidang tasawuf tentu membuat teks ini menjadi hal yang menarik untuk disunting, Suntingan teks dari kitab Tadzkîr al-Ghabî ini penting dilakukan agar ideologi Syekh Burhanuddin secara utuh dapat dinikmati dan dinilai oleh khalayak banyak. Bisa jadi kehadiran suntingan teks secara utuh membuka ruang baru bagi kajian konteks naskah ini yang berbeda dari kajian yang dilakukan oleh Ahmad Taufik dkk.

Tulisan ini bertujuan untuk mengahadirkan teks Tadzkîr al-Ghabî yang siap dibaca oleh publik. Teks ini adalah sebuah bukti terhadap keulamaan dan keilmuan Syekh Burhanuddin yang dikenal sebagai penyebar Islam dan khalifah tarekat Syattariyah di Minangkabau. Selain menjadi bukti intelektual Syekh Burhanuddin, diharap dari segi akademis suntingan teks Tadzkîr al-Ghabî dapat menambah perbendaharaan pengetahuan yang berkaitan dengan Islam di Nusantara. Suntingan teks ini juga dapat mengisi kekosongan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan sosok Syekh Burhanuddin serta mengetahui kedalaman pemahaman tasawuf dari Syekh Burhanuddin dan corak pemahaman tasawufnya, karena teks Tadzkîr al-Ghabî tergolong kepada teks tasawuf. Apakah pemahaman kitab al-Hikam ini digiring ke dalam tasawuf falsafi yaitu konsep wujudiyah yang menjadi basis ideologi Syekh Burhanuddin atau digiring kepada pemahaman tasawuf akhlaki yang bersifat amaliyah.

Teks Tadzkîr al-Ghabî merupakan codex unicus (naskah tunggal) yang mana salinannya tidak ditemukan pada koleksi-koleksi manuskrip yang ada di Minangkabau semisal Surau Lubuk Ipuah di Pariaman, Surau Bintungan Tinggi di Pariaman, Surau Batang Kapeh di Pesisir Selatan, Surau Ampalu Tinggi di Pariaman, Surau Syekh Yasin di Tanjung Ampalu Sijunjung, Surau Calau di Sijunjung dan Surau Syekh Aluma Koto Tuo di Agam. 

Baca Juga: Kitab Izhar Zaghlil Kadzibin Karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Pengkritik Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Pertama di Nusatara

Proses penulisan teks Tadzkîr al-Ghabî ini cukup unik, tidak seperti naskah-naskah secara umumnya. Teks ini ditulis dengan cara imla (dikte) dari mulut Syekh Burhanuddin kemudian disalin oleh muridnya, hal ini dapat diketahui berdasarkan informasi dari kolofon teks Tadzkîr al-Ghabî seperti:

“Tamma al-kitâb al-musammâ bitadzkîr al-ghabî bi-‘aun Allâh al-malik al-wahhâb al-hâdî ilâ al-shawâb wa alyhi al-maâb ta’lîf sayyidinâ mawlânâ wa qad waqnâ  fî al-tharîqah wa al-haqîqah wa al-ma‘rifah al-Syaykh Burhanudddin Ulakan wa al-syâfi’î madzhaban ta ‘ammadahu Aallâh birahmatihi wa askan fasîh jannatahu wa nafa‘anâ Allâh bih wa radhiyaallâh ‘anhu wa shâhibihi wa kâtibihi al-faqîr al-haqîr al-muta‘arrif bi al-dzunubi al-muhtâj ilâ ‘afw al-rabb al-rahîm Salbiyan Min ulakan”.

Dijelaskan pada kolofon di atas bahwa Tadzkîr al-Ghabî merupakan karangan Syekh Burhanuddin yang dituliskan oleh Salbiyan dari Ulakan. Ada dua asumsi yang bisa dikaitkan terhadap penulisan teks ini; pertama teks ditulis dengan cara imla oleh Syekh Burhanuddin kepada muridnya Salbiyan, kedua teks ini ditulis secara berangsur-angsur ketika Syekh Burhanuddin mengajarkan kitab al-Hikam beserta pemahamannya (syarh) kepada murid-muridnya, dan salah satu muridnya yang mengikuti pengajian ini sampai selesai adalah Salbiyan. Secara temuan, teks ini dapat dianggap sebagai temuan besar karena belum ada peneliti sebelumnya yang pernah menemukan karya dari Syekh Burhanuddin. Melihat posis karya ini serta kandungan isinya yang dapat menggambarkan keilmuan ulama besar yang mengislamkan orang-orang Minangkabau secara luas yaitu Syekh Burhanuddin terutama dalam bidang tasawuf, karena semua genealogi tarekat Syattariyah di Minangkabau bermuara dari Syekh Burhanuddin. Meskipun demikian Syekh Burhanuddin juga mengajarkan kitab al-Hikam yang lahir dari seorang ulama tarekat Syadziliyah yaitu Ibnu Athailah yang mana hasil dari pemahamannya terhadap kitab al-Hikam tersebut dinamainya dengan Tadzkîr al-Ghabî.[]

Chairullah Ahmad
Filolog, Alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengajar pada UIN Imam Bonjol Padang