scentivaid mycapturer thelightindonesia

Taman Rasa, Serpihan Catatan Perjalanan Menelusuri Jejak Para Masyaikh di Ranah Minang (Bagian Kedua)

Sebelumnya Baca: Taman Rasa, Serpihan Catatan Perjalanan Menelusuri Jejak Para Masyaikh di Ranah Minang (Bagian Pertama)

Aku, tuan guru Hasan Basri, masyai Hairus Salim dan Inyiak Ridwan Muzir berencana hendak melakukan wisata reliji ke makam-makam para waliullah di Ranah Minang. Sayang, rencana itu tertunda-tunda terus, ada-ada saja kendala yang menyebabkan rencana perjalanan mulia tersebut tak dapat direalisasikan segera mungkin. Namun, menuruti kata orang tua jaman saisuak: bersama tak bisa, sendiripun tak mengapa, akhirnya perjalanan ziarah itu terlaksana jua walau tanpa mereka. Aku yakin, boleh saja badan yang berangkat hanya satu namun jiwa yang ikut serta ada empat.

Ziarah (Hari Pertama) ke Makam Syekh Bustami Lintau

Destinasi ziarah pertamaku adalah makam Syekh Bustami Lintau. Beliau ini adalah seorang ahli tarekat, penggiat aliran Naqsabandiyah. Makam beliau terletak tak jauh dari rumahku, namun jujur saja, aku baru tahu bahwa ada makam seorang tokoh terkemuka, ulama besar di kampungku ini setelah membaca laman tarbiyahislamiyah.id.

Syekh Bustami wafat pada tahun 1911 M, setidaknya begitu informasi yang tertulis di batu nisan beliau. Aku mencoba mengorek keterangan perihal beliau dari warga sekitar dan beberapa warga Lintau yang sudah sepuh, namun banyak yang tidak tahu perihal atau riwayat Syekh Bustami ini. Informasi yang agak terang perihal beliau malah kudapatkan dari seorang Ongku Mudo, Buya Apria Putra, seorang alim yang mempunyai banyak informasi perihal makam-makam para masyaikh di Ranah Minang. Dari beliaulah aku mendapat rekomendasi makam-makam tua, makam para ongku guru penyebar syiar Islam tempo dulu di Ranah Minang.

Baca Juga: Keramat Syekh Bustami Lintau

Pagi itu aku meluncur ke jorong Tanjuang Tongah, nagari Tanjuang Bonai. Di jorong itulah Syekh Bustami dimakamkan. Makam beliau terletak tak jauh dari jalan raya, akses ke makam gampang di jangkau. Namun demikian, dari lokasi dan tempat makam itu berada, setiba di lokasi makam, kita dapat merasa dan membayangkan bagaimana suasana tempo dulu di makam ini (beserta surau-surau tinggalan beliau). Suasana yang hening dan meditatif.

Sesampai di makam aku bertemu seorang perempuan yang sedang menyapu halaman depan bangunan atau cungkup makam. Aku mengenalkan diri dan mengutarakan niat hendak berziarah ke makam tersebut. Ibu itu lalu menyuruhku menunggu sebentar, masuk kedalam rumah yang terletak persis sebelah makam itu. Tak lama kemudian, dari rumah itu keluar seorang ibu yang lebih tua, tampaknya beliau baru selesai shalat karena masih memakai mukena. Aku kembali memperkenalkan diri dan maksud kedatanganku. Ternyata ibu-ibu ini adalah guruku semasa SMP, namun beliau sudah lupa denganku.

“Murid ibu sudah ribuan, jadi harap maklum kalau lupa…” kata beliau tersenyum sambil menyerahkan kunci pintu makam. Ibu Rosima nama beliau, beliau masih keturunan Syekh Bustami, namun ketika kutanya informasi tentang sang Syekh, ibu Rosima menggeleng.

“Dak obe sejarah beliau ko dek ibu do nak.. (Tidak tahu sejarah beliau ini oleh ibu, nak)…” kata bu Rosima.

“Tapi nan joleh, kok caghito nenek kito baliau ko ughang alim, banyak keturunan dan banyak punyo murid.. (Tapi yang jelas menurut cerita nenek ibu, beliau ini orang alim yang mempunyai banyak keturunan dan murid)…” lanjut beliau.

“Dulu, di lokuak (semacam lembah/lurah) itu (sambil menunjuk ke arah sebuah titik) talotak Surau Lugha (lurah) tempat mengaji kitab (kitab kuning), kalau yang di samping makam namanya Surau Tenggi (tinggi) tempat mengaji tafsir(al-Qur’an, sedangkan di atas sana (kembali menunjuk sebuah titik) surau tempat bersuluk..” lanjut ibu Rosima menerangkan dan menunjuk posisi surau-surau yang beliau sebut di atas.

Selain Surau Tenggi, dua surau lain yang disebut bu Rosima sudah tak tampak lagi jejaknya, hanya tinggal semak belukar dan kolam ikan. Surau Tenggi pun sudah dirombak bangunanan menjadi bangunan permanen dan saat ini masih difungsikan sebagai TPA (Tempat Pengajian Al Qur’an).

Di dalam bangunan yang relatif bagus dan kokoh itu terdapat lima makam, selain makam Syekh Bustami terdapat juga makam anak dan kemenakan beliau yang juga guru-guru tarekat. Namun, seperti informasi tentang Syekh Bustami, ke empat makam yang menyertai makam beliau dalam cungkup itu juga minim informasi.

“Jan kan ughang lain, awak sajo nan dokek dari siko idak tahu banyak soal makam-makam nan ado ko.. (Jangankan orang lain, saya saja yang tinggal dekat dengan makam ini tidak banyak tahu soal makam ini..” kata bu Rosima.

“Kok penduduk siko hampiegh dak ado nan bakunjuang, biasonyo nan ghami datang dari Luegh, dari Aceh, dari Payakumbuah, dari Padang bahkan dari Jawa… (Kalau penduduk sini malah jarang yang berkunjung, malah yang banyak berziarah itu orang dari luar, seperti dari Aceh, dari Payakumbuh, dari Padang bahkan dari Jawa) “ terang bu Rosima lebih lanjut.

Walaupun minim informasi tentang beliau, namun makam Syekh Bustami terawat dengan baik. Bangunan yang melindungi makam baru saja dipugar, sehingga terlihat bersih dan nyaman dikunjungi. Pemugaran ini atas inisiatif para jamaah luar daerah.

“Tu lah, kok memang menyebar ulemu barokaik, lambat laun ado juo ughang nan tahu dan maharogoi.. (Itu lah, kalau menyebar ilmu yang penuh berkah, toh lambat laun ada juga orang yang tahu dan menghargai beliau)..“ pungkas bu Rosima. Aku mengangguk, mengamini pendapat mantan guru bahasa Inggrisku semasa bersekolah di SMP 2 Lintau.

Setelah berbasa-basi sejenak sambil mencari-cari kalimat yang tepat untuk pamit, aku mencium tangan beliau, teringat akan Amakku sendiri ketika menatap bu Rosima.

Baca Juga: Dari Ulama-ulama Supayang hingga Syekh Mudo Waly Al-Khalidi

Syekh Abdur Rahman al-Khalidi Kumango

Aku betul-betul buta soal destinasi tempat-tempat ziarah para Masyaikh di Ranah Minang. Seumur-umur, hanya makam Syekh Burhannudin Ulakan saja yang pernah aku kunjungi. Itu pun kunjungan studi tour ketika aku masih sekolah SD, di tahun 1985 atau 1986 kalau tak salah, 35 tahun yang lalu.

Aku dibesarkan dalam tradisi sub kultur yang tak terlalu menganggap penting kebiasaan ziarah kubur ke makam para tokoh agama, pun tidak jua melarangnya. Pengetahuanku soal betapa banyaknya di Ranah Minang ini terdapat banyak makam para Syekh dan waliullah yang menyebarkan ajaran tarekat kudapatkan informasinya dari kawan-kawan Tarbiyah. Salah satu informan itu adalah Buya Apria Putra, seorang Ongku muda dan alim, yang mempunyai banyak informasi perihal para Masyaikh itu. Dari beliaulah aku mendapat daftar informasi tempat atau lokasi makam-makam para waliullah Ranah Minang itu. Salah satu rekomendasi beliau adalah berziarah ke makam Syekh Abdur Rahman al-Khalidi di Kumango.

Kumango adalah nama sebuah nagari di kecamatan Sungai Tarab, kabupaten Tanah Datar. Dari Lintau, kampungku, ke Kumango tidaklah jauh-jauh amat. Kumango itu mempunyai kedekatan emosional dengan Lintau terutama dalam segi ilmu bela diri Silek (Silat). Silat Kumango itu menurut sejarahnya sangatlah bertalian dengan silat Lintau atau lebih dikenal dengan nama Silat Tuo Lintau. Konon pencipta silat Kumango, Syekh Abdur Rahman Al Khalidi, dahulunya adalah seorang pendekar yang menguasai dengan fasih jurus-jurus silat Tuo Lintau, lalu dari sana beliau mengembangkan sebuah aliran baru yang disebut aliran silat Kumango. Begitu cerita yang aku terima, benar tidak informasi ini Wallahualam.

Tidak sulit mencari lokasi dari makam Syekh Abdur Rahman Kumango, google maps cukup membantu (terima kasih teknologi). Kali ini aku dipandu dengan benar oleh aplikasi buatan orang Yahudi tersebut. Jarak Kumango dari Lintau tak begitu jauh, namun karena jalan berkelok dan berbukit maka agak terasa jauh. Tidak ada kendala selama menempuh perjalanan dari Lintau ke Kumango. Bersamaku ikut jua abangku dan keponakanku.

Sesampai di Kumango, di sebuah simpang kecil, titik koordinat google maps menunjuk arah makam sudah dekat. Namun melihat sempitnya jalan yang akan dilalui, aku yakin bahwa kendaraan roda empat tak akan mampu masuk lokasi makam maka kuparkirlah mobil di sebuah lahan, di depan sebuah Rumah Gadang, dekat papan petunjuk arah makam Syekh Abdur Rahman Kumango. Seorang ibu melongok dari jendela rumah Gadang itu, aku meminta ijin untuk parkir padanya. Si ibu ternyata keluarga juru kunci makam. Ketika aku memberitahu maksud kedatanganku, beliau lalu menyerahkan kunci makam padaku.

Awalnya kusangka makam Syekh Kumango berada tak jauh dari Rumah Gadang itu, aku mengikuti arah petunjuk dari plang nama yang sudah mulai mengabur dan mengelupas catnya. Namun sesampai di jalan setapak yang bersimpang, aku kebingungan hendak memilih jalan yang kekanan atau kekiri? Tak ada orang untuk tempat bertanya. Walaupun padat rumah penduduk tapi tak tampak seorangpun untuk tempat bertanya. Aku baru ingat: ini kan jam kerja, bisa jadi para penduduk masih bekerja di sawah dan ladang mereka, makanya kampung ini terlihat sepi. Untunglah, ketika sedang celingak-celinguk kebingungan bak beruk hilang akal, ada bapak-bapak yang mengendarai motor lewat di depan kami. Ketika aku bertanya padanya arah makam Syekh Kumango, beliau ternyata juga hendak ke makam Syekh Kumango, lalu beliau memberi isyarat agar kami mengikutinya.

Ternyata cukup jauh jua makam Syekh Kumango dari perkampungan penduduk. Kami melewati jalan setapak tepi sawah. Setelah menuruni jalan setapak yang sudah dicor semen dari kejauhan tampak tiga bangunan di ujung sawah, dua bangunan permanen berdinding batu dan satu bangunan beratap seng berdinding papan yang tak terawat dan seperti hendak runtuh, tinggal menunggu hari saja untuk ambrol. Surau Subarang, begitu nama surau itu kata sang bapak yang berjalan bersama kami.

Makam Syekh Kumango terletak di bangunan paling ujung. Dari bentuknya sudah tampak sekali bahwa ini adalah sebuah makam orang alim nan keramat. Di samping bangunan makam, tepatnya di depan bangunan surau, tampak deretan meja panjang dan kursi yang sepertinya memang diperuntukan bagi pengunjung makam.

Meja kursi tampak sepi, siang itu hanya kami berempat pengunjung makam, namun dari sisa-sisa puntung rokok yang berceceran sepertinya sebelum kami tampaknya sudah ada pengunjung lain, mungkin tadi malam ramai pengunjung.

Aku langsung merogoh kunci yang tadi diberikan si ibu juru kunci, hendak membuka gembok pintu bangunan makam. Hatiku berdebar dan tak sabar. Aku sudah banyak mendengar kisah-kisah perihal beliau, Syekh Abdur Rahman al-Khalidi, seorang waliullah penggiat tarekat Naqsabandiyah dan sekaligus sohor sebagai pendekar dan pencipta silat Kumango yang legendaris itu yang konon katanya penuh keramat.

Pintu makam tak mau terbuka, gembok yang mengunci pintu tak bisa kuputar, walaupun sudah berganti anak kunci tetap tak bisa dibuka. Aku menjadi gugup. Lalu aku tersadar, aku ternyata belum menguluk salam, belum kulonuwun. Segera kuucap salam, begitu selesai uluk salam, gembok bisa terbuka dengan gampang dan aku bisa masuk kedalam makam.

Bersama sang bapak yang tadi menjadi petunjuk jalan, aku bersimpuh di sebelah makam, membaca segala doa yang mampu aku baca, doa keselamatan bagi yang berkubur di makam itu dan doa keselamatan bagi yang mengunjungi makam. Doaku tak panjang-panjang, karena aku tak hafal doa kubur. Aku melirik sepintas kepada bapak disebelahku: wah doanya lebih panjang, khusyuk sekali dia. Saat aku selesai berdoa, kulirik lagi, beliau masih diam terpekur di samping makam sambil komat-kamit dengan takzim.

Bapak ini kayaknya pesilat, batu cincin di jarinya besar sekali, kumisnya pun tebal…, bisikku dalam hati sambil melirik diam-diam jemari dan kumis beliau. Hehehe, pikiran jahil.

Syekh Muhammad Thaher dan Syekh Jamil Tungkar

Sesuai arahan Buya Apria Putra, selepas dari Kumango, aku bertolak ke Barulak, masih di kabupaten yang sama yakni Kabupaten Tanah Datar. Nagari Barulak terdapat di kecamatan Tanjung Baru, kira-kira 20 Km dari Nagari Kumango, Sungai Tarab.

Di Nagari Barulak ada dua orang Syekh yang cukup terkenal dan dicatat sebagai ulama generasi awal penyebaran Tarekat Naqsabandiyah dimakamkan di nagari itu. Yakni Syekh Muhammad Thahir Barulak ( w. 1851 M) dan muridnya Syekh Jamil Tungkar (w.1890 M).

Lagi-lagi atas bantuan mbah Gugel, tak sulit menemukan makam para Masyaikh ini. Namun untuk searchingnya pakai nama Masjid Taqwa Barulak. Nah makam beliau-beliau ini terdapat di samping masjid itu.

Ketika sampai di nagari Barulak, aku langsung merasa bahwa nagari ini sudah seperti di Lintau, kampungku, sepertinya ormas Islam Berkemajuan lebih mendominasi di Nagari ini. Betul juga, ketika aku sampai di simpang jalan menuju makam yang hendak kutuju terdapat sebuah bangunan bercat hijau dengan logo persyarikatan yang cukup mencolok, Surau Muhammadiyah (?). Spontan, senang juga hati melihat logo sang surya itu.

Awalnya aku tak tahu kalau makam para Syekh itu menyempil di samping Masjid Taqwa. Aku sempat salah sangka, kupikir makam Baliau-baliau ini berada di penurunan jalan setapak menuju masjid itu. Aku menduga begitu karena melihat ada sebuah makam yang bentuk makamnya terlihat kuno, dan rompal. Tapi aku tidak yakin, karena tak ada papan petunjuk dan merasa aneh: masak sih makam Syekh dibiarkan terbengkalai begini? Ternyata dugaanku benar, itu bukan makam Syekh Muhammad Thahir dan Syekh Jamil Tungkar, makam beliau ternyata di sebelah masjid Taqwa nan megah itu.

Makam itu tampaknya baru saja di renovasi, lantai marmernya tampak masih baru. Pintu gerbang terkunci, namun untung ada seseorang yang memberitahukan kepada siapa hendak meminta kunci bila ingin masuk ke ruangan makam. Tak berapa lama menunggu, datanglah seorang anak muda berkacamata membukakan gerbang jeruji makam itu dan mempersilahkan kami masuk kedalam bangunan yang berisi makam para Masyaikh itu.

Suasana dingin langsung merasuki badan begitu aku duduk bersimpuh di depan makam Syekh Jamil Tungkar, padahal di luar makam panas terik. Tidak banyak artefak, tanda-tanda bahwa ini adalah makam para ulama besar, kecuali dua potong informasi petunjuk nama tahun lahir tahun wafat penghuni makam.

Selepas mengucap salam dan membacakan doa pendek, aku memperhatikan suasana di ruangan makam, sepertinya sudah lama tidak dibersihkan. Ada perasaan hampa yang kurasakan.

Aku lalu coba bertanya perihal sejarah Syaikh yang di makam itu pada anak muda berkacamata yang tadi membukakan gerbang makam. Dia menggeleng dan berkata tidak tahu apa-apa tentang sejarah siapa yang dimakamkan di makam itu. Padahal, makam itu persis berada di halaman rumahnya. Aku menghela nafas masgul, tak tahu apa yang hendak ku sebut.

Baca Juga: Berziarah ke Makam Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Muhammad Jamil Tungkar

Setelah mengucapkan terima kasih padanya dan bersalaman, aku berpamitan padanya. Beberapa langkah hendak menuju mobil, tetiba hatiku merasa sedih, teringat suasana berdebu dan kotor di dalam ruangan tempat makam itu. Aku berbalik, kembali melangkah menuju makam. Tadi, sebelum menutup gerbang makam, aku melihat sebuah sapu, hatiku tergerak hendak menyapu ruang makam itu. Sayang begitu aku sampai di depan makam, gerbangnya telah terkunci kembali dan anak muda tadi sudah masuk kedalam rumahnya.

(Bersambung)

Jumaldi Alfi
Seniman Minang, Modernis berhati tradisionalis, tinggal di Jogja.