scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tantangan Globalisasi bagi Masyarakat PERTI

Tantangan Globalisasi bagi Masyarakat PERTI
Ilustrasi/dok.Istimewa

Tanggal berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) selalu diperdebatkan dalam beberapa tulisan, apakah tanggal 5 Mei tahun 1928 ketika Syeikh Sulaiman ar-Rasuli memprakarsai pertemuan di Candung dalam rangka mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang dipendek dengan MTI. Atau tanggal 20 Mei 1930 ketika Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mengumpulkan ulama-ulama kaum tua untuk membentuk suatu organisasi yang bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan PTI. Pada tahun 1935 di bawah pimpinan Buya Sirajuddin Abbas, singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah dari PTI kemudiannya diganti dengan PERTI.

Penggunaan kalimat “masyarakat Perti” dalam tulisan ini mungkin agak terasa aneh kedengarannya bagi pengikut Perti karena pada umumnya kalimat jamaah Perti lebih populer digunakan. Akan tetapi penggunaan kalimat “masyarakat” lebih bersifat egeliter dan bersifat inklusif dibandingkan kalimat “jamaah” yang bernada sektarian dan eklusif.

Masyarakat Perti dahulunya ketika organisasi ini lahir berbeda dengan masyarakat Perti yang hidup sekarang dan masa akan datang. Ketika Perti lahir masyarakatnya masih lemah dan kurang berpendidikan, mereka hidup dalam kekurangan, penuh tekanan, dan diliputi rasa ketakutan karena Indonsia termasuk Sumatera Barat masih berada di bawah pemerintahan penjajahan Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh Jepang.

Baca Juga: 87 Tahun Quo Vadis Tarbiyah Islamiyah

Masyarakat Perti dewasa ini dan akan datang hidup di abad ke-21 dan sterusnya. Mereka telah banyak mengenyam pendidikan Tinggi baik di penguruan Tinggi Negeri maupun swasta, baik di perguruan tingga agama maupun umum, baik perguruan tinggi di dalam negeri maupun di luar negeri. Tingkat kehidupan ekonomi mereka pun sudah meningkat tidak lagi dalam kekurangan tapi telah banyak mencapai ukuran kesejahteraan. Mereka hidup di alam merdeka bebas dari penjajahan. Akan tetapi hal terberat yang dihadapi oleh masyarakat Perti sekarang ini dan masa yang akan datangnya yaitu efek-efek negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi.

Berbagai perubahan secara mendasar telah terjadi dalam banyak aspek dalam kehidupan masyarakat Perti. Itulah sebabnya diskusi-diskusi perlu digiatkan khususnya terhadap proses munculnya masyarakat global, suatu dunia yang terintegrasi secara fisik dengan melampaui batas-batas negara, dan blok-blok ideologis.

Terma globalisasi sebenarnya adalah terma “keruangan” dan bukan istilah politik. Sebagai terminologi “keruangan” wacana globalisasi dapat diartikan sebagai wacana dalam melihat dunia sebagai satu ruang yang mengandung kompleksitas keragaman baik dalam sistem sosial maupun dalam sistem politik.

Globalisasi sebagaimana dirumuskan Roland Robertson, sebagai “the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole”. Yaya M. Abdul Aziz mengartikan globalisasi dengan mengacu kepada keseluruhan proses di mana manusia di bumi ini diinkorporasikan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global. Pengertian ini menurut Abdul Aziz mengandung tiga hal. Pertama, globalisasi lebih merupakan proses dari pada suatu kondisi akhir. Kompresi dunia dalam era ini ditandai dengan turisme massal dan satelit komunikasi merepresentasikan suatu pencapaian dari pendalaman ketimbang sesuatu yang baru secara keseluruhan. Kedua, terjadinya divergensi antara apakah struktur integrasi dipandang dari perspektif global dan dari perspektif lokal. Faktanya, institusi-institusi sosial berada di bawah tekanan globalisasi. Ketiga, setiap aktivitas manusia dilakukan dalam suatu ruangan tertentu. Kompresi ruang mengandung arti bahwa individu maupun komunitas yang terpisah atau yang berhubungan telah ditarik secara bersama.

Baca Juga: Mengangkangi Khittah Tarbiyah

Fenomena globalisasi mulai terlihat secara kasat mata dalam bidang ekonomi. Berbagai bukti ditampilkan dalam bentuk semboyan, “satu dunia, satu ekonomi” atau ungkapan, “dunia tanpa batas” dalam kaitannya dengan perekonomian internasional. Globalisasi ekonomi ini tampak dari adanya gerakan perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara bangsa. Peran pemerintah semakin berkurang dalam menetapkan keputusan finasial, serta terjadinya peningkatan di bidang perdagangan, arus finasial, dan mirasi penduduk dari desa ke kota.

Proses globalisasi tak dapat dilepaskan dari teknologi canggih yang berfungsi sebagai kekuatan pendorong. Aspek terpenting dari kemajuan teknologi yaitu teknologi informasi dan komunikasi yang mencakup eletronika mikro komputer dan telekomunikasi. Alat globalisasi ini telah dimiliki oleh masyarakat Perti terutama generasi mudanya. Dampak dari kemajuan teknologi itu bagi masyarakat Perti khususnya jelas sangat luas. Teknologi mampu memberikan berbagai keuntungan dan kemudahan seperti melakukan jual beli online di internet. Sebagian generasi muda Perti telah memanfaatkan teknologi canggih ini untuk mengembangkan usaha-usaha bisnisnya. Begitu juga, teknologi komunikasi dalam telepon genggam misalnya telah dimanfaatkan hampir secara menyeluruh oleh semua masyarakat Perti baik generasi tua apalagi generasi mudanya.

Teknologi komunikasi sering digunakan untuk melakukan interaksi global, tukar menukar informasi secara cepat, transfer dan transmisi pengetahuan dan penyaluran berbagai kepentingan dengan spetrum yang luas serta bagi peningkatan fungsi lembaga-lembaga sosial. Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih dari tahun ke tahun, dari satu produk ke produk berikutnya seperti terlihat pada alat komunikasi telepon genggam (handpone) telah dan akan menciptakan suatu tipe masyarakat baru, yaitu masyarakat industri. Masyarakat industri yang moderen menurut Parsudi Suparlan adalah model yang menjadi acuan bagi masyarakat-masyarakat setempat dalam mereka mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi.

Baca Juga: Membumikan Nalar Ijtihad di Tubuh Perti

Alat teknologi komunikasi canggih terutama bagi masyarakat Perti di era globalisasi ini dapat saja dipandang sebagai sesuatu yang netral. Ia dapat digunakan untuk hal-hal yang positif dan negatif. Apabila seorang masyarakat Perti yang bertani di kampungnya memanfaatkan telekomunikasi untuk mengetahui perkembangan harga pasaran palawija yang dihasilkannya sehingga dia terlindung dari tengkulak dan pengijon, misalnya, dia telah memberikan contoh pemanfaatan teknologi komunikasi yang bersifat positif. Sebaliknya, bila telepon genggam digunakan untuk memberikan informasi-informasi yang keliru atau untuk menonton film blue yang didonwload dari internet, teknologi yang sama digunakan untuk tujuan negatif. Dampak negatif dari teknologi moderen khususnya teknologi komunikasi dan informasi, terhadap masyarakat Perti harus pula betul-betul dipertimbangkan.

Masyarakat Perti kapan dan di mana pun mereka berada harus membentengi generasi mudanya dari efek negatif yang ditimbulkan oleh proses globalisasi. Artinya, globalisasi jika tidak dihadapi dengan kamampuan mengantisipasi akan menimbulkan kontradiksi dan ketimpangan yang semakin besar dalam masyarakat Perti.

Globalisasi yang berlangsung saat ini menurut Ichlasul Amal, mantan rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, cenderung mendorong proses global homogenisasi dan internasionalisasi budaya, bukan menciptakan integrasi budaya global yang kaya dengan keanekaragaman. Fenomena homogenisasi ini tampak pada generasi muda Perti mendengarkan musik yang sama dan memakai pakaian yang semodel. Hal ini tampak misalnya dengan menikmati lagu-lagu Barat dan banjiran hasil-hasil industri budaya dari New York, Amerika Serikat dan begitu juga dengan industri filmnya, Hollywood.

Kemajuan peradaban umat manusia di bidang ilmu pengetahuan, teknik informasi, komunikasi dan transportasi yang sudah melanda seluruh dunia membuat planet bumi semakin mengecil. Dengan bantuan teknologi informasi, hampir seluruh kejadian di salah satu tempat di dunia ini dengan cepat dan dalam waktu singkat bahkan bersamaan dapat diketahui di belahan bumi lainnya. Misalnya, menonton di rumah akan pertandingan sepakbola di liga-liga Eropa. Dengan demikian, sementara globalisasi merupakan suatu proses yang terus berjalan dan tak dapat ditawar-tawar lagi serta tidak dapat dilawan, masyarakat Perti diharapkan dan dituntut untuk mampu mengantisipasi segala peluang maupun tantangan yang bakal muncul. Jika tidak mampu mengantisipasinya atau menolaknya maka yang patut dipikirkan bagi masyarakat Perti adalah upaya untuk pengendaliannya.[]

Ali Wardana
Penulis dan Dosen