Sebuah ungkapan menarik dijadikan untuk memulai tulisan ini. Ungkapan tersebut berasal dari pendapat Faruk, seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakata yang menyatakan bahwa: dengan filsafat “kayu bersilang maka api hidup” masyarakat Minangkabau bahkan menjadikan kritik sebagai sebuah kekuatan utama bagi bangunan masyarakatnya. Di dalam lingkungan yang kemudian ketegangan ini ketegangan antara adat dengan agama, darat dengan rantau, kaum tua dan kaum muda memang harus hidup dan dihidupkan. Menjadikan kritik sebagai sebuah kekuatan utama bukanlah suatu perkara yang mudah karena kritik selalu dipahami oleh banyak orang sebagai sebuah bentuk kecaman atau tanggapan dan bersifat pembangkangan, kebencian atau perlawanan. Sebuah kritik pada umumnya selalu disertai dengan argumentasi-argumentasi baik maupun buruk terhadap suatu pendapat, karya atau terhadap sebuah situasi maupun juga terhadap tindakan-tindakan seseorang atau kelompok. Penerima kritik bukan lagi menjadikan kritik sebagai alat kontrol dan koreksi dari orang lain terhadap keterbatasan pemikiran dan tindakan, tetapi menganggapnya sebagai kebencian.
Munculnya suatu petisi dalam bentuk pembaikotan kepengurusan PB PERTI dan DPD Sumbarnya dari sebagian kalangan pemuda Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat dapat mengemukakan sebuah anggapan yaitu anggapan bahwa munculnya petisi tersebut merupakan peringatan dari Allah atas segala sikap dan perilaku warga Tarbiyah Islamiyah yang sudah menyimpang dari tata nilai dan norma yang baik sebagaimana yang telah digariskan oleh agama dan atau juga oleh para ulama pendirinya atau para ulama pendahulunya. Apabila anggapan ini benar maka dapatkah dikatakan bahwa aktivitas yang menimbulkan petisi tersebut dapat disebut sebagai sebuah aktivitas kritik?
Jawaban dari pertanyaan tersebut akan melahirkan dua kemungkinan. Pertama, jika dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengembalikan warga Tarbiyah Islamiyah yang dianggap menyimpang dari tata nilai dan norma yang telah disepakati bersama, peristiwa tersebut akan cenderung dianggap bukan sebagai kritik, melainkan kontrol sosial. Kedua, jika dipahami bahwa tata nilai dan norma yang telah disepakati bersama tersebut dihadapkan misalnya kepada tata nilai dan norma politik kapitalistik yang sekular maka aktivitas yang melahirkan peristiwa tersebut cenderung dianggap sebagai aktivitas kritik. maka dapatlah dipahami bahwa kontrol sosial itu mengarah kepada pengendalian sedangkan kritik mengarah kepada pembebasan dari segala bentuk kontrol dan pengendalian.
Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah Sarang Seniman Menerjemahkan Zakar dengan Cinonot
Tarbiyah Islamiyah merupakan suatu organisasi keislaman yang lahir di Candung, Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun pada tanggal 5 mei 1928 M bertepatan dengan 15 Zulkaedah 1346 H. Organisasi ini kemudiannya hidup dan berkembang ke berbagai belahan Nusantara seperti ke daerah Kalimantan dan Sulawesi. Tarbiyah Islamiyah didirikan oleh para alim ulama Sumatera Barat yang beraliran Syafi’iyyah dengan beraqidahkan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Tokoh utama organisasi ini yaitu Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, Syeikh Muhammad Jamil Jao, dan Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka. Ketiga ulama ini dikenal juga sebagai pendekar tiga serangkai pembela aliran keislaman tradisional di Sumatera Barat. Kelahiran organisasi ini juga tak luput dari terjadinya penetrasi gerakan keislaman moderen yang berkembang di Sumatera Barat pada waktu itu yang dimotori oleh ulama tokoh tiga serangkai pembaharu Islam yaitu Syeikh Muhammad Djamil Djambek, Syeikh DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Syeikh DR. H. Abdullah Ahmad (pendiri Adabiyah School di Padang).
Sebagai suatu organisasi yang telah berumur tua maka Tarbiyah Islamiyah pun tak luput dari berbagai macam polemik dan konflik. Suatu polemik dan konflik yang masih berlanjut dan berkepanjangan sampai sekarang yaitu terjadinya dualisme organisasi, Perti dan Tarbiyah Islamiyah. Dualisme ini terjadi karena adanya keinginan dari beberapa tokoh Tarbiyah Islamiyah untuk selalu ikut berkecimpung dalam pentas kehidupan politik praktis meskipun Sang pendiri Syeikh Sulaiman Ar-Rasulli telah menyerukan pada tahun 1969 untuk kembali kepada Khittahnya, sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Imbauan dan seruan dari sesepuhnya ini sekaligus juga pendirinya kurang didengar oleh para pengikutnya. Sebagian besar tetap bertahan dan ikut sebagai partai politik untuk memperebutkan kue kekuasaan dan hanya sebagian kecil saja yang mengikuti imbauan kembali ke Khittah tersebut.
Apabila dilihat dari perkembangan partai politik dewasa ini maka keberadaan Tarbiyah Islamiyah sebagai partai politik sudah tidak ada. Hanya sebagian besar dari meraka menyalurkan aspirasinya kepada partai Golkar. Sehingga banyak ditemukan tokoh-tokoh Tarbiyah Islamiyah itu menjadi sesepuh-sesepuh partai Golkar di Sumatera Barat. Jika konsep ini digunakan maka semua kepengurusan Tarbiyah Islamiyah yang tidak mau menerima Khittah tahun 1969 baik dari tingkat pusat maupun sampai ke daerah harus dengan rendah hati dan rela mengundurkan diri dan kemudiannya bergabung kembali dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang menerima Khittah dahulunya. Apabila ini terjadi, suatu kebanggaan dan menjadi sebuah keistimewaan bagi para penganut ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah yang bermazhabkan Syafi’i di Sumatera Barat dapat bersatu kembali.
Dualisme organisasi yang berkepanjangan tersebut harus disatukan kembali. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk menyatukan kembali perpecahan dalam tubuh organisasi keislaman tersebut. Pertama, menumbuhkan kesadaran dalam pikiran setiap para tokohnya bahwa persatuan lebih diutamakan dalam Islam dari pada perpecahan. Apabila kesadaran ini ada pada dada setiap tokohnya maka upaya islah dan kembali ke Khittah dapat terealisasi dengan cepat. Kedua, para tokohnya diharapkan lebih mengutamakan kepentingan umat (jamaah Tarbiyah Islamiyah) dari pada kepentingan individu. Mengutamakan kepentingan umat baik dalam bidang pendidikan dan dakwah maupun dalam bidang sosial lebih diutamakan dan didahulukan dari kepentingan pribadi dan golongan. Ketiga, organisasi keislaman Tarbiyah Islamiyah merupakan organisasi yang lahir dan berkembang serta menjadi kebanggaan orang-orang Minangkabau. Sebagai satu-satunya organisasi keislaman yang lahir di Sumatera Barat maka sudah menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat Minangkabau untuk selalu bahu membahu membesarkannya. Keempat, menampilkan prilaku dan sikap yang merujuk kepada moralitas kenabian harus ditampilkan bagi setiap tokohnya agar perbedaan sikap dan pandangan dapat didamaikan secara baik dan elegan. Kelima, setiap individu baik warga maupun tokoh Tarbiyah Islamiyah dari keduanya diwajibkan kembali mengamalkan ajaran Islam yang beraqidahkan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan berpegang teguh kepada mazhab Syafi’i terutama pada wilayah qadha (peradilan) dan fatwa.
Kelima langkah di atas dapat dijadikan pedoman dalam mendamaikan kedua Tarbiyah Islamiyah. Sebagai warga Tarbiyah Islamiyah yang baik tentu tidak menginginkan organisasi kebanggaannya ini pecah berantakkan dan terjadi adu jotos-jotosan. Melakukan kritik terhadap organisasi ini harus dan bahkan diwajibkan. Kritik sosial menurut Ahkmad Zaini Abar merupakan satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Setiap warga Tarbiyah Islamiyah diharapkan mampu melakukan kritik baik berupa kritik membangun maupun sebaliknya, membangun kritik.
Istilah kritik membangun menurut Susetiawan dapat dipahami bahwa pemaknaannya lebih didominasi oleh kepentingan kekuasaan. Oleh sebab itu jelas dipahami bahwa pemangku kekuasaan ingin meniadakan kritik. Apa yang dikehendaki tak lain dari sekedar saran, petunjuk-petunjuk dan bukan sebuah alat kecaman dan kontrol yang dapat membawa malu dan menyakitkan bagi penerima kritik. Jika hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang maka perbuatannya dianggap tidak cocok dengan budaya yang ada mengganggu harmoni kehidupan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan. Sebaliknya akan terasa aneh jika kedua kata itu dibalik menjadi membangun kritik. Istilah membangun kritik akan membawa fungsi kritik itu sendiri dalam kehidupan masyarakat yang sedang mengalami kebekuan. Akan tetapi orang lebih senang menerima konsep kritik membangun dari pada menggunakan konsep membangun kritik.
Konsep membangun kritik pada saat ini tepat digunakan untuk mengkritik keberadaan Tarbiyah Islamiyah yang sedang mengalami kebekuan dan kebangkrutan. Organisasi keislaman kebanggaan masyarakat Minangkabau ini di kancah nasional boleh dikatakan tidak ada memainkan perannya sama sekali tetapi hanya sebatas cap stempel pemerintah. Apabila ada pesta demokrasi di tingkat nasional atau daerah baru kelihatan muncul gerakan-gerakannya. Namun, gerakan yang ada tersebut dicurigai oleh sebagian kalangan sebagai gerakan kebangkrutan moral dan pembusukkan Tarbiyah Islamiyah dari dalam. Sebagai contoh, di tingkat nasional pada saat penetapan 1 Syawal Tarbiyah Islamiyah hanya pengekor (taklid) saja kepada pemerintah. Sedangkan di tingkat daerah tidak ada ditemukan peran besarnya dalam memajukan masyarakat Minangkabau khususnya. Pendapat ini perlu dibedakan dengan gerakan pendidikan yang berhaluan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Gerakan pendidikan ini tetap hidup dan berkembang karena mereka merupakan gerakan pendidikan PERTI yang masih menghormati para sesepuhnya seperti Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Begitu juga dengan dakwah yang dilakukan oleh ustad atau buya yang bernafaskan Tarbiyah Islamiyah hanya mengingat ajakan dan seruan dakwah dari Islam. Imbauan kepada Persatuan Tarbiyah Islamiyah untuk kembali kepada Khittah saat ini mendapatkan momentumnya kembali. Apabila pada imbauan Khittah jilid 1 tahun 1969 kurang berhasil maka imbauan kepada Khittah jilid 2 tahun 2015 ini harus berhasil. Oleh sebab itu, bagi semua generasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah baik generasi tuanya maupun mudanya untuk mau melakukan berbagai macam koreksi dan kritik terhadap keberadaan organisasi yang dicintainya ini. Kesadaran dan keinginan untuk memajukan Islam yang beraqidahkan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan bermazhabkan Syafi’i dengan semangat persatuan dan menghilangkan semua bentuk perpecahan merupakan bagian yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Persatuan Tarbiyah Islamiyah harus berbenah dan menatap dirinya ke belakang sebagai sebuah pengalaman yang pahit dan ke depan sebagai wadah organisasi keislaman yang maju dan moderat dengan akar gerakannya, pendidikan, dakwah dan sosial.[]
Leave a Review