Otak Minangkabau Otak Minangkabau Otak Minangkabau Otak Minangkabau
Oleh Riki Dhamparan Putra
Terasa benar bahagianya Buya Syafii Maarif menanggapi artikel saya perihal Sumatra Barat di tarbiyahislamiyah.id yang dikirimkan teman (David Krisana Alka) kepada beliau beberapa hari lalu. Dalam kalimat pendek tanggapan beliau pada Edy Utama yang kemudian diforward pada saya, beliau menyebut dua kali kata Perti dan anak muda Perti. Bahkan beliau memakai frasa “ajaibnya” saat menyinggung Perti itu. Mengertilah saya, di dalam respons spontan beliau itu ada terselip satu harapan besar akan munculnya satu generasi baru di Sumatra Barat dengan cara pandang keagamaan, pengekspresian serta kehidupan agama yang baru pula. Yang akan menyudahi segala bangunan rusak sejarah pikiran keagamaan kita yang selama ini diliputi jarak akibat prasangka dan kemandegan berpikir.
Apabila kita mencermati pandangan-pandangan keagamaan dan kebangsaan Buya Syafi’i di dalam buku-buku beliau, maupun artikel dan opini yang banyak sekali jumlahnya itu, harapan seperti itu tentulah tidak asing bagi kita. Karena komitmen beliau yang sangat besar sekali terhadap kemajuan agama dan masyarakat ini. Yang menurut beliau hanya dapat dicapai bila umat Islam out of the box, membuka diri dan berinteraksi secara intens dengan segala sesuatu yang ada di luar kelompoknya. Artinya orang harus mengedepankan dialog dalam banyak segi menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan dan keagamaan, tidak main fatwa, tidak main tuduh belaka, dan tidak diliputi oleh phobia. Di mata beliau, kesadaran dan keberanian untuk berdialog, merupakan penanda dari telah adanya kemajuan yang dicita-citakan itu, yang bukan saja akan membuat umat ini makin bersinar, tetapi akan menyinari pula jalannya proses kebangsaan secara umum. Lantaran, seperti yang beliau katakan dalam otobiografinya, kualitas moral dan kemajuan umat Islam di Indonesia akan sangat menentukan jalannya bangsa Indonesia ke masa-masa hadapan.
Tarbiyah Islamiyah adalah satu capaian yang khas dalam bentang sejarah pemikiran dan pengekspresian keislaman di negeri kita, khususnya Sumatra Barat. Untuk meminjam komentar sastrawan Raudal Tanjung Banua pada saya, Tarbiyah itu umpama Ibu sebelum orang Minang menemukan ungkapan keagamaannya yang baru seperti Thawalib dan Muhammadiyah. Hal yang sama, sebenarnya juga dikatakan Buya Syafi’i secara tersirat saat menggambarkan sosok Ibu beliau yang adalah seorang Perti dan berada dalam lingkup keluarga induk yang terdiri dari cerdik cendekia Perti.
Baca Juga: Buya Siradjuddin Abbas; Ulama Penulis dan Pemimpin Besar PERTI
Karenanya, dapatlah kita angankan, mengingat Perti bagi beliau mungkin saja mendatangkan ingatan akan kemurnian cinta sang Ibunda, yang sembilan bulan mengandung, menyusui, menimang, mengasuh dan mengalirkan kasih sayang tak henti-henti seperti mata air di hulu batang Sumpur Kudus, yang karena ketentuan Allah Ta’ala, kemudian meninggalkan beliau di waktu masih bocah. Andai hamba yang fakir inilah yang mengalami itu, tentu keadaannya tak akan berbeda. Akan titiklah airmata bila mengingat Sang Ibu itu, sebetapapun beliau sehari-harinya hanya mengenakan kain jao dan baju kurung Minang yang lusuh, tengkuluk yang diperciki lumpur sawah, dan telapak kaki yang seringkali tidak memakai alas manakala meniti jalan setapak di lereng bukit Barisan yang penuh duri. Persis seperti pakaian Tarbiyah Islamiyah itu, yang tetap setia mengenakan pakaian mazhabnya dalam ketuaan dan kesederhanaannya.
Namun kita tahu, pada masa pertumbuhan awal Buya sebagai teruna Minang, Sumatra Barat masih diliputi ketegangan antara “Kaum Tuo“ dan “Kaum Pembaharu” sebagai bagian dari proses besar transisi peradaban yang terjadi pada masyarakat Islam di seluruh dunia. Tarbiyah Islamiyah – yang kemudian berproduksi secara politik di bawah bendera Perti – adalah rumah Kaum Tuo, sementara Muhammadiyah, Thawalib, termasuk Surau Gunung Medan Ongku Batuah, adalah rumah Kaum Mudo yang menginginkan cara-cara baru dalam memakai pakaian agama demi menghadapi perubahan zaman yang sangat luar biasa.
Betapapun, pertikaian paham antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo itu, meninggalkan oleh-oleh tak sedap dalam imajinasi kebudayaan kita, khususnya dalam hal membangun interaksi dialogis antar paham yang berbeda. Watak kognitif orang Minang yang pada dasarnya memang rumit, akhirnya harus bersalin menjadi watak yang modern yang semakin rumit sejalan dengan kesuksesan paham pembaharu di pentas sejarah. Namun dalam pandangan saya, diam-diam situasi itu menyimpan retak di dalamnya. Paham-paham lama sebenarnya tidak pernah ditinggalkan, meskipun aktor-aktornya tidak terdepan lagi dalam dinamika masyarakat hingga hari ini. Sementara watak yang modern ini, karena mengandung aspek generalisasi di dalamnya, telah pula melangkah seperti seorang Bujang Hitam yang terbujur lalu, terbentang putus.
Modernisasi gaya Orde Baru, pada gilirannya memperparah watak generalisasi itu menjadi ke arah destruktif. Isme pembangunan Orde Baru tidak berangkat dari satu kebijaksanaan yang menghormati segi-segi lampau dari capaian suatu masyarakat budaya, tetapi tebang musnah (dalam bahasa Umar Kayam), hingga terlepaslah orang Minang itu dari “Ingatan” yang pernah menumbuhkannya.
Apa yang hilang di sini adalah imajinasi kebudayaan, yang sebenarnya harus menjadi modal dasar dalam suatu masyarakat yang menginginkan kemajuan. Agama pada masa Orde Baru tidak memiliki imajinasi, lantaran tercekik dalam horor pembangunan dan politik ekonomi. Terhadap Minang, horor Orde Baru itu pendapat saya telah mengubah seluruh nalar dan ekspresi kebudayaan menjadi sekuler. Dinamika menjadi imperatif, bergerak dalam koridor yang sesuai dengan selera pemerintah.
Di antara akibatnya telah saya kemukakan pada esai yang lalu saat mengurai pandangan Buya Syafii tentang dinamika manusia Sumatra Barat. Hilangnya “otak besar” yang di dalamnya terkandung kearifan, visi, sumangek berilmu dan beragama, sumangek berkemanusiaan, telah bersalin menjadi ‘otak-otak kecil’ yang mementingkan properti dan profesi duniawi belaka.
Agama, seharusnya mengambill peran untuk memulihkan situasi itu. Tetapi fakta, bahwa agama pun telah kehilangan “otak besarnya” makin menyedihkan kita. Allah Ta’ala pun pada masa kini hendak dipropertisasi melalui fashion, melalui proyek pembudayaan janggut dan saroban Arab yang terbungkus di dalam romantisme ABS-SBK dan jargon syariahisasi itu. Lagi-lagi pemerintah kita lihat menjadi subjek utama yang besar perannya dalam proses itu. Karena itu patutlah kita kecam sejadi-jadinya.
Boleh disimpulkan, masyarakat Minang pada kala ini adalah masyarakat yang teramnesia secara kebudayaan akibat dari ketidakmampuan untuk mengungkap diri sebagai “Masyarakat Ingatan” atau oleh Buya Syafii disebut “Masyarakat Otak” itu. Bukan saja dalam arti kemampuan untuk memproduksi figur cendekia, tetapi kemampuan untuk mendayagunakan otak itu sebagai sumber utama kebangunan sejarah dan budaya.
Baca Juga: Islam di Sumatra Barat yang Sedang Sial
Otak pada masyarakat Minang, sesungguhnya sama nilainya dengan pikiran bagi Descartes. Otak ada maka Minang ada. Kalau tak ada otak, maka yang akan tinggal hanya restoran gulai otak, yang hanya tahu mengenyangkan perut, tapi membuat orang Minang menjadi pengantuk dan tertidur. Nama lokal bagi otak itu adalah pangana. Menurut ajaran Angku Pakiah Taluak Bakuang (semoga Allah mengampuninya selalu- pen) kepada almarhum kakek saya, Pangana itu tegak di dalam empat keadaan. Pertama, Jasmani, kedua Rohani, ketiga, Nurahmani, keempat Li’lafi.
Pangana Jasmani membawa sifat maujud pado diri, Pangana rohani menghendaki makanan yang halal, Pangana Nurahmani balimpah Nur kemurahan Tuhan, Pangana Li’lafi maambiak pangana sekalian mukhaluak. Ditegaskan oleh almarhum Kakek saya dahulu, pangana itu nyawa bagi manusia. Karena itu tugas manusia adalah menjaga pangana itu dalam arti menitinya terus menerus laksana meniti titian serambut dibelah tujuh hingga mencapailah akan seorang itu keadaan pangana berlimpah Nur Rahmani. Sedangkan Pangana Li’lafi itu adalah martabat bagi insan yang sudah kamil saja ilmunya.
Apabila mengingat-ingat pengajian itu, mengertilah saya mengapa orang Minang Pesisir Selatan suka betul menegur orang dengan kata Pangana: lai luruih juo pangana yuang, aa pangana ko lai, kamaa pai pangana, dan serupa itu. Tak kecuali, tatkala semakin dalam saya merenung makna kata “otak” dari Buya Syafii, kata pangana ini lah pula yang bertahta di pangana saya.
Mungkin sekali, beliau memaknai otak itu tidak dari sumber Minangkabau, tetapi dari sumber yang lebih tinggi yakni Al-Qur’an sesuai kealiman beliau. Namun karena saya tidaklah tahu tentang al-Qur’an, dari sumber Pesisir Selatan itu saja saya memaknainya. Kesimpulan saya, otak itu atau pangana itu, jika ia adalah makhluk yang sangat mulia kedudukannya, tidaklah boleh dikerdilkan menjadi sekadar Pangana jasmani saja.
Seperti telah kita singgung di atas, Pangana jasmani bersifat maujud pado diri. Artinya membesarkan diri, merasa lebih baik dari orang lain, menghinakan paham dan capaian orang lain. Sifat seperti itu kalau menurut almarhum Kakek saya adalah sifat si bujang hitam adanya. Ianya melela, terbujur lalu terbelintang putus, tetapi menghamba pada dunia. Ia itu suruhan dukun-dukun di Pesisir Selatan, dipanggil ia datang, disuruh ia pergi. Dengan kata lain, ia itu budak.
Sementara Otak yang dimaksud Buya Syafii adalah Pangana yang disekolahkan betul-betul, yang tegak berdiri di dalam ingatan untuk memuliakan manusia, dan yang merdeka karena bersultan hanya kepada Tauhid. Otak seperti itu, tidaklah mungkin bergayut di janggut atau bersarang di dalam kain seroban Mesir saja. Sekalipun janggut dan seroban itu pandai berbahasa Minang adanya. Allahualam.[]
Cikarang, 16 Agustus 2020
Leave a Review