scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tarbiyah yang Menua

TARBIYAH ISLAMIYAH YANG TELAH MENUA
Ilustrasi/Dok.Istimewa

Khittah Tarbiyah Islamiyah adalah sosial keagamaan, bukan politik. Itulah yang didekritkan Inyiak Canduang pada awal Mei 1969 menyikapi perpecahan Tarbiyah Islamiyah ketika terlibat sebagai salah satu gerakan sosial politik dengan keikutsertaan dalam Pemilu 1955 dan berhasil mendudukan wakilnya di DPR dan Konstituante ketika itu. Pilihan sikap pendiri Tarbiyah Islamiyah tersebut sungguh sangat tepat, bahkan relevan sampai saat kini. Sebagai ormas sosial keagamaan, fokus pada agenda menyiapkan generasi bangsa yang cerdas dan berkarakter melalui pendidikan agama tentu menjadi pilihan amat baik, apalagi di tengah kondisi galaunya dunia pendidikan dalam melahirkan anak-anak bangsa yang berkarakter. Tarbiyah Islamiyah tentunya menjadi salah satu tumpuan agar harapan tersebut dapat dipenuhi.

Dengan basis pendidikan Tarbiyah yang pada umum ada di daerah pinggiran kota atau pedesaan, di mana sebagian besar penduduk  Indonesia ada di sana, peran Tarbiyah Islamiyah tentu sangat diharapkan. Apalagi, dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, Tarbiyah Islamiyah akan menjadi alternatif bagi peserta didik dari kalangan ekonomi menengah ke bawah untuk tetap mengecap pendidikan yang lebih baik. Tempat keberadaan dan segmen peserta didik yang dikelola tersebut sesungguhnya menempatkan Tarbiyah Islamiyah memiliki peran strategis dalam memajukan pendidikan anak negeri.

Baca Juga: Mengangkangi Khittah Tarbiyah

Sayangnya peran demikian tidak dikelola secara sistematis dan terorganisir. Ratusan madrasah Tarbiyah di Sumatera Barat sebagai basis utama Tarbiyah sulit untuk dapat dikatakan terorganisir. Masing-masing madrasah berjalan sendiri-sendiri. Setiap madrasah sibuk memikirkan nasib dan peruntungannya. Antara yang satu dengan lain tak terhubung dalam sebuah pengorganisasian yang rapi. Apakah tidak ada organisasi? Jawabnya tentu : ada. Ada PERTI dan pula Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI). Namun, organisasi tersebut nyaris tak memiliki fungsi untuk memajukan madrasah. Jika ada diantara madrasah yang masih eksis dan berkembang sampai kini, itu lebih karena komitmen yayasan dan sekolah untuk mempertahankan madrasah tetap hidup. Selain itu, madrasah Tarbiyah diuntungkan dengan berubah kebijakan pendidikan yang berdampak terbantunya proses belajar mengajar di masing-masing madrasah melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).  Lalu, bagaimana dengan peran PERTI atau PTI?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu saya hendak membandingkan dengan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Dua ormas besar Islam tersebut juga bergerak di bidang pendidikan, di mana berbagai sekolah mulai dari PAUD hingga sekolah tinggi dikelola secara terorganisir. Sekolah-sekolah dimaksud dikelola di bawah naungan organisasi. Dalam koteks itu, organisasi NU dan Muhammadiyah berperan besar sebagai penentu kemajuan sekolah-sekolah yang ada di bawah naungannya. Berbeda dengan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Sekolah tidak bernaung di bawah organisasi, melainkan dikelola secara mandiri oleh masing-masing madrasah dengan badan hukum yayasan yang terpisah satu sama lain. Sementara organisasi seperti PERTI atau PTI dapat dikatakan tidak berperan dalam pengelolaan dan kemajuan madrasah. Organisasi baru terlihat ada ketika ada agenda-agenda milad ataupun seminar dengan meminta salah satu madrasah menjadi tuan rumahnya. Kondisi tersebut masih berlangsung sampai saat ini, ketika Tarbiyah Islamiyah sudah berusia 87 tahun.

Baca Juga: Membumikan Nalar Ijtihad di Tubuh Perti

Oleh karena memiliki karakter dan sejarah pertumbuhan yang berbeda dengan sekolah-sekolah NU atau Muhammadiyah, pola pengelolaan madrasah Tarbiyah tentu tidak dapat diubah menyerupai pengelolaan madrasah di dua organisasi besar tersebut. Hanya saja, dengan usia yang sudah demikian tua, bukan waktunya lagi membiarkan madrasah-madrasah Tarbiyah hidup dengan peruntungannya masing-masing. Para petinggi Persatuan Tarbiyah Islamiyah memiliki tanggung jawab dan hutang sejarah untuk mengubah nasib madrasah-madrasah menjadi lebih baik. Bagaimanapun, berbagai kesulitan madrasah dalam menyelenggarakan proses belajar-mengajar harus turut dipecahkan oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Di antaranya soal gaji guru yang tidak manusiawi. Sekalipun sering disebut bahwa guru-guru di madrasah mengajar dengan ikhlas, tapi realitas kehidupan guru menuntut agar hal itu dipikirkan lebih serius, terutama oleh pengurus Persatuan Tarbiyah. Selain itu, insfrastruktur sekolah yang jauh untuk dikatakan memadai juga mesti mendapatkan perhatian lebih.

Sudah saatnya elite-elite Persatuan Tarbiyah Islamiyah berhenti menjadikan nama besar organisasi untuk sekadar seremonial mendatangkan pejabat-pejabat negeri, atau memberi status anggota kehormatan kepada orang yang tidak jelas jasanya kepada Tarbiyah dan umat Islam pada umumnya. Hanya ada ketika momen-momen tertentu, “menjual” organisasi untuk keperluan pribadi dan kelompok, tapi absen saat ustaz dan santri-santri membutuhkan perhatian. Saatnya organisasi Persaturan Tarbiyah Islamiyah berperan layaknya NU dan Muhammadiyah berperan bagi kemajuan sekolah-sekolah yang dibinanya. Sekalipun madrasah-madrasah bukan di bawah pengelolaan Persaturan Tarbiayah Islamiyah, namun kehadiran organisasi harus dirasakan lebih ril untuk mengubah nasib berbagai madrasah ke kondisi yang lebih baik.

Baca Juga: 87 Tahun Quo Vadis Tarbiyah Islamiyah

Untuk itu, organisasi mesti berperan mencarikan solusi agar pendidikan Tarbiyah semakin bermutu dengan guru yang lebih kompeten. Organisasi harus memikirkan bagaimana jalan keluar agar tidak ada lagi guru yang hanya menerima gaji Rp 700 ribu/perbulan atau kurang dari itu. Saatnya pula organisasi berperan membantu pembangunan insfrastruktur sekolah agar lebih layak bagi sebuah pendidikan agama Islam. Lebih dari semua itu, untuk mencapai kemajuan pendidikan, organisasi juga harus berpikir dan merancang sebuah reformasi manajemen pendidikan madrasah Tarbiyah Islamiyah. Arahnya, bukan meniru manajemen pendidikan Islam modern yang belum tentu ramah bagi masyarakat miskin, melainkan sebuah sistem pengelolaan sekolah yang lebih profesional dan cocok dengan segmen peserta didik yang dikelola madrasah Tarbiyah Islamiyah. Jalan inilah selayaknya yang ditempuh demi melihat Tarbiyah Islamiyah tetap bersinar di usianya yang telah menua. Sebagai orang yang pernah dididik dalam sistem belajar dialektis di dua madrasah Tarbiyah (PP Ashhabul Yamin dan MTI Canduang), saya utarakan kerisauan ini lebih karena sudah gerah melihat Tarbiyah terus dibawa keluar dari khittahnya. Selamat Milad ke-87, semoga Tarbiyah tetap bersinar![]

Khairul Fahmi
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, Alumni Doktoral Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada