scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Dok. Istimewa

Masjid/Surau

Dalam tradisi pesantren, masjid menjadi elemen penting. Masjid dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sembanyang lima waktu, khutbah dan sembahyang jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Dhofier, 1988: 49).

Masjid juga menjadi elemen penting dalam proses pendidikan di MTI. Karena itu, pemanfaatan masjid sebagai media pendidikan Islam bagi santri juga patut disebut sebagai salah satu tradisi MTI. Hanya saja, umumnya masjid tidak berdiri di dalam kompleks MTI. Bahkan tidak semua MTI berdampingan dengan masjid. Karena itu, masjid lebih diberdayakan sebagai tempat untuk melatih sekaligus praktik berdakwah, khutbah jumat, dan imam shalat lima waktu.

Baca Juga: Dialek Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Tidak terdapatnya masjid di komplek MTI juga terkait dengan kultur masyarakat Minangakabau. Dalam bernagari, masjid merupakan syarat yang harus ada, di samping bangunan fisik lainnya (ada tujuh syarat fisik bernagari 1) basosok bajurami; 2) balabuah batapian; 3) barumah batanggo; 4) bakorong bakampuang; 5) basawah baladang; 6) babalai bamusajik; dan 7) bapandam pakuburan, lihat Amir M.S., 2006: 52-55).

Pendeknya, masjid itu milik masyarakat dalam setiap nagari. Akan tetapi, masyarakat setempat biasanya menyambut baik keberadaan dan kehadiran murid-murid MTI. Apalagi jika murid MTI itu telah di kelas tinggi dan dinilai mampu menjadi imam, khatib atau penceramah, maka masyarakat setempat biasanya memberikan kesempatan kepada mereka untuk tampil ke depan. Dalam hal ini, masjid menjadi sarananya.

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis

Tidak saja masjid, di setiap suku juga memiliki surau atau semacam mushalla yang berfungsi sebagai tempat belajar membaca al-Qur’an melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah. Di surau ini, murid-murid MTI juga biasanya terlibat aktif di dalamnya. Bahkan sebagian murid-murid MTI tersebut ada yang tinggal di surau ini sebagai marbot (garin) sekaligus menjadi imam shalat dan guru mengaji al-Qur’an bagi anak-anak masyarakat setempat. Hingga saat ini, tradisi ini masih bertahan di MTI Batang Kabung. Baik alumni yang telah menjadi Tuanku maupun santri kelas VII (calon Tuanku) yang dipercaya oleh pimpinan MTI, tinggal di masjid dan surau untuk menjalankan tugas di atas. Begitu juga masjid Tarbiyah di Canduang dan Masjid Jaho juga yang menjadi garin di sana adalah santri MTI itu sendiri.

Baca Juga: Bahasa Arab Saisuak Kala di MTI

Pondok atau Asrama

Sebelum adanya lembaga pendidikan Islam yang menerapkan sistem klasikal seperti MTI, surau menjadi lembaga pendidikan Islam di Minangkabau. Di surau, tidak dikenal istilah asrama atau pondok, sebab peserta didik yang masih belum remaja atau pemuda yang belum menikah tidur di surau tersebut. Karena itu pula Zamakhsyari Dhofier (1988: 45) menyebutkan bahwa sistem asrama di pesantren yang ada di Jawa berbeda dengan sistem pendidikan surau di daerah Minangkabau. Namun, setelah pendidikan Islam mengalami perubahan dari surau menjadi MTI, maka MTI pun tampil seperti pesantren yang menyediakan asrama atau pondok. Tersedianya pondok ini disebabkan adanya santri yang berasal dari daerah lain yang jauh dari MTI tersebut sehingga tidak memungkinkan mereka untuk pulang-balik. Umumnya, MTI menyediakan pondok asrama, meskipun ada juga MTI yang tidak menyediakan asrama karena santri yang belajar hanya masyarakat di sekitar MTI tersebut.

Pondok atau asrama ini tidak saja dijadikan sebagai tempat istirahat bagi santri saja, tetapi juga sebagai tempat belajar. Apalagi pondok yang ditinggali oleh santri senior yang memiliki kemampuan lebih di mata santri, mereka menjadi guru tuo dan dikunjungi oleh santri yunior untuk belajar atau menanyakan kaji yang sulit, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.

Bagi MTI yang berjauhan jaraknya dengan masjid, maka disediakan pula di asrama ini ruangan semacam aula untuk melaksanakan shalat berjamaah sekaligus tempat belajar seperti muhādharah, mudzākarah, dan sebagainya. Asrama semacam ini masih ditemukan hingga kini di asrama MTI Batang Kabung yang biasanya mereka sebut dengan nama anjuang. Hanya saja, di anjuang ini lebih digunakan sebagai tempat belajar, sementara shalat berjamaah hanya Ashar atau ketika hari hujan lebat sehingga tidak memungkinkan untuk shalat ke surau yang ada di kampus II, komplek MTs dan berjarak sekitar 300 meter.

Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural

Tarekat

Selain mempertahankan i’tiqad ahl al-sunnah wa al-jama’āh dan mazhab Syafi’i dalam persoalan fikih, kaum Tua juga mempertahankan tarekat yang mu’tabarah, meskipun tidak semuanya mereka pengamal tarekat tersebut. Oleh karena itu, tarekat bisa disebut menjadi salah satu tradisi di MTI.

Berbeda halnya dengan MTI. Jika pesantren dinilai Dhofier (1988: 45) lebih mementingkan tarekat dari pada tasawuf, sebaliknya MTI justru memperkenalkan tasawuf terlebih dahulu dari pada tarekat. Sejak kelas III dan IV di MTI Canduang telah dipelajari kitab Syarh Murāqi al-‘Ubūdiyyah karya Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi, Minhāj al-‘Ābidīn karya al-Ghazali di kelas V dan VI, serta Syarh al-Hikam Ibn ‘Athā’ Allāh karya Muhammad bin Ibrāhīm di kelas VII. Sedangkan di MTI Jaho, Syarh Murāqi al-‘Ubūdiyyah dipelajari di kelas V, dan Tadzkirah al-Qulūb karya Syekh Muhammad Jamil Jaho di kelas VI. Hanya di MTI Batang Kabung yang tidak mengajarkan kitab ini di tingkat MTs dan MA. Tasawuf dipelajari hanya di kelas VII dan VIII, yaitu kitab Syarh al-Hikam Ibn ‘Athā’ Allāh. Khusus MTI Batang Kabung, tampaknya ada kecenderungan lebih menekankan tarekat dari pada tasawuf.

Baca Juga: Sulaiman Arrasuli Ulama Pujangga nan Ahli Adat

Umumnya, pendiri MTI di era awal adalah pengamal tarekat dan di antaranya ada yang menjadi mursyid. Perlu pula dicatat, meskipun pimpinan MTI dan sebagian gurunya pengamal tarekat, tetapi tidak semuanya harus mengajarkan kepada santri yang ada untuk menerima dan mengamalkan tarekat tersebut. Begitu juga guru-gurunya, tidak semua pula yang mengamalkan tarekat. Meskipun begitu, mereka tidak pernah menolak, apalagi menyalahkan tarekat, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari kalangan kaum muda. Karena itu pula, di antara santri MTI ini kemudian banyak pula yang menjadi pengamal tarekat tertentu yang dianggap mu’tabarah, baik di MTI tempat ia belajar maupun di tempat lain.

Walaupun sebagian guru tidak memperoleh ijazah atau di-bai’ah untuk mengikuti tarekat tertentu, tetapi beberapa amalan tarekat juga mereka lakukan, sebagai pengaruh dari Syekh atau Buya yang ada di lingkungannya, terutama praktek zikir sesudah shalat. Praktek zikir yang mereka lakukan, sebagiannya merupakan praktek zikir pada organisasi tarekat tertentu yang dianggap sah oleh Syekh atau Buya sebagai bagian dari ajaran organisasi tarekat tersebut.

Penutup

Demikianlah beberapa tradisi MTI yang tumbuh dan berkembang sejak awal berdirinya hingga sekarang. Namun tidak semua tradisi itu berjalan persis sama seperti awal perkembangannya. Jika pun tradisi itu masih ada, tetapi beberapa di antaranya cenderung menurun kualitas pelaksanaannya. Misalnya, sistem pembelajaran munāzharahmudzākarah, begitu juga kaji batungkuihan dengan guru tuo. Begitu pula kehadiran Syekh atau Buya sebagai pimpinan dan panutan santri di lingkungan MTI sekaligus tempat bertanya bagi masyarakat sekitar, mulai mengalami kelangkaan. Demikian pula praktek tarekat, beberapa MTI yang dulunya terdapat kegiatan tarekat, seperti suluk di MTI tersebut, kini tidak ditemukan lagi. Hal ini terjadi di MTI Canduang. Semasa Syekh Sulaiman ar-Rasuli, setiap Ramadhan mereka berkhalwat di asrama putri, karena santri diliburkan. Meskipun yang anggota khalwat adalah masyarakat setempat, bukan santri-santrinya, tetapi bisa dikatakan tarekat Naqsyabadiyah ketika itu menjadi bagian dari tradisi MTI karena pimpinannya adalah pemimpin dari MTI Canduang itu sendiri dan tempatnya dilakukan di MTI Canduang.

Baca Juga: Wasiat Syekh Sulaiman Arrasuli dalam Ijazah MTI Canduang

Meskipun demikian, pengaruh budaya lokal-Minangkabau, mempengaruhi tradisi MTI itu sendiri. MTI sebagai aset penting di ranah Minang memang dituntut untuk terbuka terhadap perubahan ke arah yang lebih baik, tetapi perlu tetap mempertahankan tradisinya, apalagi terkait dengan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berorientasi kepada tafaqquh fi al-din, berpaham ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan bermazhab Syafi’i.[]

Daftar Kepustakaan

Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010, cet. Ke-9

_______, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010, cet. ke-17

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika Ponpes Krapyak, 1998, cet. ke-8

Azra, Azyumardi, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003

***

Tulisan Ini pernah diterbitkan di Jurnal Pendidikan Islam ”at-Tarbiyah” Volume 1 Tahun 2013, Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, edisi Maret 2013. Dan diterbitkan kembali di sini untuk tujuan pendidikan. Untuk kebutuhan pembaca, dalam penyajiannya, kami pecah tulisan ini menjadi empat judul, 1) Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat 2) Kaji Batungkuihan, Tradisi Mengaji di Madrasah Tarbiyah Islamiyah 3)Panggilan untuk Guru dan Murid di Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan terakhir 4)Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah.Judul pertama adalah judul utuh tulisan ini ketika diterbitkan di Jurnal at-Tarbiyah, sedangkan tiga judul belakangan, disusun untuk memudahkan pemahaman pembaca tarbiyahislamiyah.id

Muhammad Kosim
Muhammad Kosim adalah pengajar di UIN Imam Bonjol Padang