scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tarusan Kamang: Kampungnya Urangsiak

Tarusan Kamang: Kampungnya Urangsiak
Foto dok. Penulis

Di Tarusan Kamang ini berdiri sekolah agama basis pesantren dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Tarusan. Meskipun telah “(di) teruka” sejak zaman kolonial, sekolah agama ini masih berdiri kokoh dengan kemeriahan urangsiak bersama Kitab Kuning

Kamang, negeri yang masyhur dalam sejarah. Di sini Tuanku nan Renceh, murid Tuanku nan Tuo yang puritan itu beraktivitas, juga ketika wafat dimakamkan. Perang Kamang 1908, perang belasting yang terkenal itu, juga “pecah” di Kamang ini. Selain tercatat dalam sejarah, daerah ini juga mempunyai pesona alam yang luar biasa. Sawah yang luas, bukit-bukit yang hijau, dan Tarusan, seperti telaga yang oleh sementara orang dianggap misterius, berada. Keadaan alam ini menambah “dalam” kesan kesejarahan yang melekat pada daerah ini.

Selain sisi sejarah, Kamang juga dikenal sebagai tempat lahirnya ulama-ulama terkemuka. Selain Tuanku nan Renceh tadi, juga Haji Abdul Manan sebagai tokoh sentral Perang Kamang, terdapat sederetan nama ulama yang berkarier menyebarkan ilmu agama di daerah ini. Semarak ilmu agama yang digawangi oleh ulama-ulama ini telah memberi warna yang demikian kuat terhadap aktivitas kehidupan soal yang begitu agamis. Rumah gonjong berderetan, dengan segala ukir-ukiran khas Minangkabau, bergandengan dengan masjid dan surau yang hampir ada di setiap jorongnya. Nampak sungguh pertalian adat dan syarak, yang masih terpelihara kokoh, dijaga sebagai sebuah warisan dan dipegang sebagai petuah. Prinsip dalam agama, tatanan sosial yang terjalin dengan nilai-nilai Islam, dan tradisi serta amal yang kokoh, tetap menjadi hal yang tidak terpisahkan dari tempat ini.

Tarusan, tempat yang kita bicarakan. Di sini berdiri sekolah agama basis pesantren dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Tarusan. Meskipun telah “(di) teruka” sejak zaman kolonial, sekolah agama ini masih berdiri kokoh dengan kemeriahan urangsiak bersama Kitab Kuning. Siapa urangsiak? Itulah istilah untuk penuntut ilmu agama di Minangkabau. Bila di Jawa ada istilah santri, bila di Minang disebut urangsiak atau anaksiak. Bagaimana pula dengan Kitab Kuning? Yaitu kitab-kitab klasik yang berisi bermacam-macam ilmu agama dan ditulis oleh ulama-ulama besar dunia. Teman mesti tau, kemahiran kitab kuning sangatlah langka hari ini, di kampung kami. Orang bisa saja pandai pidato di depan mimbar beberapa kali latihan, namun kitab kuning tidak seperti itu, hanya bisa dilalui dengan belajar intens bertahun-tahun dengan seorang guru yang mahir dan bersanad. Madrasah ini, siang malam mendaras kitab kuning, dalam berbagai fan (ilmu). Mulai dari tafsir, hadis, tauhid, fikih, tasawuf, hingga ilmu-ilmu alat (nahwu, balaghah, ushul, mantiq). Sejak matan, hingga hasyiyah. Semua masih seperti sedia kala, meski zaman berubah, musim berganti, setapak tidak bertukar.

Baca Juga: Profil Madrasah Tarbiyah Islamiyah MTI Tarusan Kamang

Ulama besar kita, yang tersohor karena kealimannya di Tarusan, ialah Syekh Arifin Djamil Tuanku Solok (wafat 1961). Beliau ialah ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin keilmuan. Beliaulah yang menyemarakkan ilmu agama di Tarusan-Kamang di abad 20 Masehi, sehingga kampung ini dihuni oleh urangurangsiak belaka, yang teguh atas prinsip agama. Ulama kita ini pernah berguru kepada Syekh Yahya al-Khalidi Magek (wafat 1940), ulama besar dari Kamang-Magek yang juga seorang Syekh Mursyid dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Melalui Syekh Yahya, Syekh Arifin tersambung secara sanad kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Ali al-Maliki (Makah), Syekh Mukhtar Atharid al-Jawi (Mekkah), Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batuhampar Payakumbuh dan Syakhul Masyekh Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka. Selain itu Syekh Arifin Djamil juga mengambil ilmu dan ijazah dari Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, salah satu pendiri PERTI, ulama terkemuka Minangkabau yang sekaligus juga mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Lewat Syekh Canduang, Syekh Arifin Djamil menyambungkan sanad ilmu dengan al-Ushuli al-Mantiqi Syekh Abdullah “Baliau Halaban” dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Panitia LKTI dan Penulis MTI Tarusan Kamang

*********

Kemarin, Sabtu, saya diundang sebagai pembicara dalam Pelatihan Kader Tarbiyah Islamiyah di MTI Tarusan ini. Sebagai anak yang bertalian keturunan dengan urang-urangsiak di Tarusan-Kamang, saya begitu menikmati, dan merasakan “getaran” dzuq urangsiak itu. Mengapa tidak, sebelum memberi materi saya dapat berziarah ke makam nenek moyang saya dan bapak-bapak saya dari pihak ayah, yang kesemuanya ialah urangurangsiak belaka di zamannya. Di antara mereka pun terdapat kisah-kisah khariqul lil ‘adah, sebagai bukti kekuasaan Allah pada diri mereka. Rahimahumullah! Berjalan menelusuri jalan-jalan kampung, melihat surau-surau suluk, rumah-rumah gadang, tebing-tebing di mana urang-urangsiak dari zaman lalu di makamkan, sungguh menjadi jazabat jiwa.

Di dalam gedung MTI Tarusan saya berhadapan dengan 40-an urangsiak, berpeci hitam bagi laki-laki, bermudawarah bagi perempuan. Satu jam tiga puluh menit berbicara, saya membuka sesi tanya jawab. Ada tiga penanya, sebab sempitnya waktu, dengan tiga pertanyaan. Pertanyaan yang luar biasa untuk usia mereka, di antaranya dari marhalah tsanawiyah. Apa bunyi pertanyaannya (1) Siapakah yang menyusun Sifat Dua Puluh itu? (2) Bagaimanakah seorang bermazhab Syafi’i berhadapan dengan Mazhab Maliki dalam hal al-Fatihah, dan (3) Pembagian ilmu yang tiga, tauhid, fikih, dan tasawuf, diejawantahkan dari mana? Untuk menjawab ini, saya mesti bercerita tentang Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi, berkisah tentang Nawawi sebagai murajjih Mazhab Syafi’i, menjelaskan mengapa harus Mantan Taqrib bukan Kitab al-Umm, dan perlu mengutip hadis ke-II dalam Kitab Arba’in Nawawiyah.

Dan sebagai khulashah kalam, saya katakan: “Berakidah Ahlussunah wal Jama’ah (Asy’riyah dan Maturidiyah), Fiqih dalam Mazhab Syafi’i, dan Bertasawuf dengan mengamalkan thariqat, di antaranya Naqsyabandiyah Khalidiyah. Setitik tidak boleh hilang, sebaris tidak boleh lupa.” Kalimat-kalimat ini ditutup dengan tepuk tangan, tanda sebiduk sependayungan.

Ucapan terima kasih kepada para asatidz MTI Tarusan yang telah mengundang saya untuk memeriahkan urang-urangsiak di Tarusan Kamang. Terutama Ust. Muhammad Al Afghani yang telah menemani saya menelusuri jejak nenek moyang saya.

Saya katakan: “Diundang ke Tarusan, sejatinya, ialah pulang ke kampung halaman sendiri.”[]

Tarusan-Kamang, 22 Jumadil Ulama 1441 H/ 18 Januari 2019 M

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota