Telunjuk Lurus Kelingking Berkait Telunjuk Lurus Kelingking Berkait Telunjuk Lurus Kelingking Berkait Telunjuk Lurus Kelingking Berkait Telunjuk Lurus Kelingking Berkait
Telunjuk lurus kelingking berkait: peran baik dan jahat harus dimainkan agar alur cerita berjalan lancar dan membuat penonton larut dalam kisah yang disampaikan.
Sebagian kita tentu pernah mendengar atau bahkan mengikuti seminar bisnis dan kewirausahaan. Seminar itu berisi ceramah dari pembicara yang terkenal ahli perkara cara berwirausaha yang tepat agar cepat sukses dan menghasilkan keuntungan. Maka bertebaranlah iklan seminar itu di koran, dipakukan di pohon-pohon pinggir jalan atau ditempel di tiang listrik dan lampu merah. Judul-judulnya begitu meyakinkan seperti “Raih Keuntungan Bisnis Online Modal Dengkul”, “Kaya Raya Dengan Bisnis Properti Tanpa Hutang”, “Jadi Milyarder dengan Modal Kartu Kredit,” “Jadi Jutawan dalam Sekejap dengan Pemasaran Lewat Facebook dan Twitter”, “Mendadak jadi Pengusaha dengan Barang Impor dari China” dan lain sebagainya.
Cara berpikir awam akan memunculkan pertanyaan naif. Kalau si pembicara di seminar itu sudah tahu bagaimana cara berbisnis yang akan membuat kaya raya, mengapa tidak dia saja yang melakukan bisnis itu. Mengapa pula orang lain yang dia dorong-dorong untuk berbisnis? Mengapa dia menafkahi anak istrinya dengan menerima upah sebagai pemberi materi tentang cara sukses dalam berbisnis? Mengapa tidak dia saja yang melakukan bisnis yang dia katakan menjanjikan itu?
Soalnya adalah mengapa orang tetap mau mengikuti seminar-seminar seperti ini? Mengapa makin banyak bermunculan pembicara baru dari jenis dan bidang bisnis berbeda-beda? Sebabnya adalah pembicara dan pembicaraan yang disampaikannya dalam seminar itu dipercaya! Orang yang jadi peserta seminar itu percaya apa yang dia sampaikan adalah kebenaran, atau setidaknya ada benarnya. Mereka akan mengangguk-angguk dan menyimak penuh perhatian penjelasan si pembicara tentang bagaimana mengelola usaha atau bisnis tertentu supaya cepat sukses dan cepat kaya raya. Ketika si pembicara mengajak para hadirin untuk berdiri dan mengangkat dua tangan lalu memerintahkan mereka berakting seolah-olah meraih atau mengambil sesuatu yang sedang mengawang di udara, semua hadirin mau mengikuti perintahnya. Setelah itu dilakukan pembicara pun akan berkata kepada mereka “Super sekali rekan-rekan” atau “Salam sukses buat kita” atau bahkan ada yang memerintahkan peserta untuk berteriak “Saya bisa!” Ketika peserta di bawah komandonya mengucapkan kata “Saya bisa” ini secara serentak, pembicara perlu mengulangi lagi permintaannya dengan mengatakan “Sekali lagi rekan-rekan, supaya potensi diri kita bisa muncul, silahkan ulangi kata-kata saya tadi, ‘Saya bisa’”. Seakan robot yang diperintah dengan pengendali jarak jauh, peserta pun mengulangi ucapan “Saya bisa!” tadi bersama-sama.
Baca Juga: Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis
Untuk terlihat meyakinkan dan serius di depan forum si pembicara tentu tidak akan pernah meragukan dan menggelisahkan materi yang dia sampaikan perkara bagaimana menjalankan bisnis ini atau itu agar cepat berhasil dan menghasilkan uang. Jangankan berpikir tentang apa dasar yang dia pakai sehingga seakan-akan kuasa menjamin keberhasilan bisnis bagi peserta dengan segala tips dan trik, pikiran mengapa tidak dia saja yang melaksanakan tips dan trik itu agar lebih dahulu sukses dan kaya pun tidak pernah terlintas dalam benaknya. Dengan keyakinan penuh, selama satu dua jam mulutnya akan berbusa-busa bicara di depan peserta tentanglangkah yang harus ditempuh agar bisnis cepat berhasil dan menguntungkan.
Seterusnya mari kita bayangkan seorang ustaz atau ustazah berdiri depan kelas yang berisi murid-murid yang menginjak usia remaja. Di ruang kelas ini guru menerangkan betapa pentingnya murid-murid, terutama murid-murid perempuan, menjaga kehormatannya. Ceramah diawali dengan himbauan “Anak-anak yang saya sayangi, agama kita mengajarkan supaya tidak mendekati zina. Itu berarti jangankan melakukan zina, mendekatinya pun kita sudah diharamkan. Oleh karena itu kalian rajin-rajinlah dahulu belajar, kejarlah cita-cita. Janganlah kalian pacaran. Sebab kalau sudah dua orang berbeda kelamin berduaan, maka yang ketiga adalah setan. Setan akan membujuk kalian saat berduaan untuk melakukan perbuatan yang mendekati zina. Awalnya kalian akan berani pegangan tangan. Lalu pada pertemuan malam minggu berikutnya akan berani pelukan. Setelah beberapa bulan kalian pacaran, kalian akan berani masuk kamar pacar kalian dan berlama-lama di dalamnya dan kalian pun berani berciuman. Lama kelamaan, kalian akan berani saling meraba bagian-bagian tertentu dari tubuh pacar kalian. Dan akhirnya kalian pun tidak kuasa lagi menahan diri untuk tidak melakukan hubungan layaknya suami istri. Lalu apa akibatnya. Kalian yang puteri akan hamil dan kalian yang laki-laki harus bertanggung jawab menjadi seorang ayah. Di usia muda kalian harus mengurus anak. Dengan begini masa depan kalian akan hancur, cita-cita yang kalian impi kan sekarang lenyap begitu saja. Jadi anak-anakku sekalian, pesan saya, berhati-hatilah menjaga diri. Jagalah diri kalian dari perbuatan mendekati zina sebagaimana yang telah diajarkan agama kita. Murid sekelas serempak menjawab, “Baiiiikkk Ustaaaazzz,” atau “Iya Buuuuu”. Jawaban mereka tulus. Percaya dan yakin bahwa apa yang disampaikan gurunya adalah demi kebaikan mereka. Mereka membayangkan cita-cita ingin jadi dokter, pilot, guru, insinyur, penyanyi, penyair, bintang film hancur lebih karena pergaulan bebas. Terbayang wajah marah bercampur sedih dari ibu-bapak dan saudara-saudara mereka jika apa yang dikatakan guru tadi mereka lakukan.
Namun ada sedikit catatan penting dari kisah rekaan ini yang perlu diperhatikan agar tetap terkait dengan cerita di bagian awal. Sesungguhnya pak guru atau bu guru tadi bergelar MBA (married by accident) atau menikah karena tak sengaja hamil gara-gara semasa kuliah dulu begitu sering mendekati zina sehingga suatu kali berzina beneran. Dan hamil.
Persoalan bagi orang yang tahu masa lalu si guru adalah mengapa dia begitu yakin tentang apa yang dia sampaikan kepada murid-murid. Tidak dapat ditemukan sedikitpun tanda-tanda dia meragukan atau mempertanyakan apa yang dia sampaikan itu. Misalnya, dia tercenung sebentar ketika ngomong di depan kelas karena teringat apa yang pernah dia lakukan dulu.
Agar tiga contoh seiring, berikut ini direka pula contoh lain yang mungkin paling sering didengar. Seorang bapak buru-buru menindas rokoknya di permukaan asbak ketika mendengar istrinya bernyinyir-nyinyir di dapur memarahi anak bujangnya yang baru kelas 2 tsanawiyah. Anaknya pulang sekolah membawa surat panggilan kepada orang tua untuk menghadap ke guru BP. Panggilan ini ternyata terkait kelakuan si anak yang ketahuan merokok berjamaah bersama temannya di warung depan sekolah waktu jam keluar main. Setelah mendengar penjelasan singkat dari si ibu, bukan main berangnya si bapak pada anaknya. Hampir-hampir dia tempeleng itu muka yang pucat karena takut bercampur lapar. “Mau jadi apa kau hah?,” bentak si bapak. “Kusuruh sekolah supaya kau nanti jadi orang senang, tidak seperti kami yang mencari uang pakai otot. Sekarang kamu belajar merokok. Apa itu yang diajarkan guru padamu di sekolah. Mau jadi preman pinggir jalan kau?” Dalam adegan ini, entah mengapa si bapak tidak pernah sedikit pun berpikir bahwa dulu dia sudah mulai merokok ketika duduk di kelas 4 SD. Bahkan saat kelas 6 SD bapaknya sudah membelikan rokok berbungkus ketika pulang dari pasar sehabis menjual hasil panen. Bapaknya menganggap dia sudah mulai dewasa dan layak diberi imbalan rokok karena sudah membantu ke ladang. Di pihak si anak yang dapat surat teguran, allahurabbi takutnya dia mendengar hardik dan bentakan si bapak. Jangankan mau membantah, berpikir kurang ajar pun dia tidak bisa karena takut. Misalnya, dia bisa saja berkata dalam hati “Bapak ini marah-marah melarangku merokok, padahal tiap hari dia menghabiskan sekian puluh ribu untuk 3 bungkus rokok. Apa salahnya duit itu dia tabung untuk angsuran SPPku”?
***
Dengan diiringi tiga contoh rekaan tadi dapat dimunculkan satu pertanyaan: ketika berbicara dalam kondisi normal –artinya kondisi yang tujuannya memang ingin berkomunikasi dan bukan mengibuli orang lain– mengapa seseorang tidak dapat melakukan refleksi atau kritik-diri terkait kebenaran atau ketidakbenaran apa yang dia bicarakan pada orang lain? Dengan kata lain, mengapa dalam berbicara orang tidak dapat meragukan dan mempertanyakan apa yang dia bicarakan?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat berangkat dari pernyataan: hubungan antar manusia yang diperantarai bahasa dan berlangsung dalam kehidupan sosial pada dasarnya adalah permainan sandiwara.
Dalam permainan sandiwara di atas panggung, para pemain harus menjadi lakon yang dia perankan dengan sesungguh-sungguhnya. Jika seseorang berperan sebagai penjahat yang culas, dia harus menjadi penjahat beneran di atas panggung. Jika dia berperan sebagai seorang ayah yang tega membuat putrinya patah hati seperti dalam sandiwara Romeo dan Juliet, dia harus benar-benar jadi ayah yang tidak penyayang, mau menang sendiri, tidak peduli dengan perasaan putrinya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana tidak enaknya menonton permainan sandiwara jika si pemeran saat berdialog dan berakting justru berpikir, misalnya, “Mengapa aku harus jadi penjahat, mengapa aku harus merampas hak orang lain? Bagaimana kalau kejahatanku sekarang ini terjadi pada keluargaku?” Sudah bisa dipastikan pertunjukan sandiwara dengan aktor perenung ini akan jelek sekali dan dicibir penonton. Sandiwara akan berjalan lancar dan mendapat aplaus penonton jika setiap aktor berperan dan berakting sesuai dengan arahan sutradara. Sutradara sebagai pengatur dan penguasa panggunglah yang menentukan bagaimana peran baik dan jahat harus dimainkan agar alur cerita berjalan lancar dan membuat penonton larut dalam kisah yang disampaikan.
Dalam kehidupan sosial di mana berlangsung hubungan antarmanusia yang menggunakan bahasa prinsip di atas panggung sandiwara tadi juga berlaku. Pada saat berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa, seseorang tidak dapat meragukan dan mempertanyakan apa yang dia ucapkan kepada orang lain, sama seperti tokoh jahat di sebuah sandiwara tidak bisa meragukan mengapa dia harus jahat pada lawan mainnya. Dalam kehidupan sosial, jika tindakan meragukan ini dilakukan, interaksi akan gagal. Terjadilah krisis (kekacauan)!
Kalau dalam permainan sandiwara yang dipertaruhkan adalah kelangsungan jalan cerita dan keterpikatan penonton, dalam hubungan antarmanusia menggunakan bahasa yang jadi taruhan adalah tatanan sosial itu sendiri. Tatanan sosial bernama sekolah akan kacau-balau jika guru dalam contoh di atas dengan terus terang menyatakan kepada murid-muridnya bahwa “Begini murid-muridku semua. Saya sendiri juga tidak mampu menjauhi perbuatan zina sebagaimana yang saya ucapkan tadi. Saya ragu apakah kalian kuat menjauhinya karena saya semasa muda dulu terbukti tidak kuat.” Kalau pun tidak seterus terang ini, sedikit saja keraguan mengemuka dari diri sang guru ketika menyampaikan petuah kepada murid-muridnya, tatanan sosial bernama pendidikan yang wujud konkretnya adalah hubungan antara guru dan murid akan retak. Murid-murid akan berbisik-bisik satu sama lain, “Kok kelihatannya bapak/ibu guru ini ragu-ragu dengan apa yang dia sampaikan? Jangan-jangan dia pernah melakukannya dulu.” Dapat dibayangkan apa jadinya lembaga pendidikan jika tidak lagi ditopang oleh kekonsistenan peran dari masing-masing pihak yang bersandiwara di dalamnya. Peran sebagai guru dalam sandiwara yang berlangsung di panggung bernama sekolah harus dimainkan secara konsisten dan terus menerus. Peran guru adalah sosok yang tahu segala dan tak kurang segala, sebaliknya peran murid harus dimainkan sebagai sosok yang selalu kurang dan selalu salah!
Lalu siapa yang jadi sutradara dalam panggung sandiwara bernama kehidupan sosial ini? Dalam permainan sandiwara di sebuah gedung pertunjukan yang jadi sutradara jelas sosoknya. Yaitu seseorang yang didaulat oleh tim produksi untuk mengatur dan memastikan kisah yang akan ditampilkan dapat memikat penonton. Dalam kehidupan sosial, sosok sutradara ini abstrak, tidak bisa ditunjuk hidungnya. Sosok itu adalah struktur sosial yang telah menempatkan aktor-aktor sosial pada posisi masing-masing dan mengharuskan mereka berperan sesuai posisi yang telah disediakan itu.
Dalam cerita rekaan tentang orang-orang yang ikut seminar bagaimana cara cepat kaya dengan mengelola bisnis tertentu di atas, posisi sosial mereka sudah ditentukan oleh struktur sosial masyarakat jaman sekarang, yakni masyarakat kapitalis. Apa itu masyarakat kapitalis? Masyarakat yang maunya cuma mendapat laba (selisih pertukaran hal yang dimiliki dengan milik orang lain) di setiap aspek kehidupannya; mulai dari berak dan kentut sampai dengan doa dan cinta. Salah satu ciri struktur sosial masyarakat saat ini tentulah penghargaan terhadap waktu, dalam arti bahwa waktu memang ada harganya jika diuangkan. Dengan demikian, waktu termasuk ke dalam kategori modal dan oleh karena itu semakin sedikit waktu yang terpakai semakin banyak selisih laba yang akan diperoleh. Itulah mengapa dalam seminar-seminar tadi kata kunci “cepat” dan seluruh sinonimnya tidak dipertanyakan oleh para peserta seminar. Mereka diwajibkan oleh “sang sutradara” untuk melakoni peran yang meyakini sepenuh hati betapa berharganya waktu.
Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau
Struktur sosial masyarakat sekarang menghendaki adanya posisi advisor dan terapis. Yaitu peran yang memberi nasihat dan petunjuk tentang upaya mempersingkat waktu tadi bisa dilakukan juga dengan cepat. Struktur sosial masyarakat sekarang tidak lagi yakin dengan pameo bahwa pengalaman adalah guru terbaik, sebab berguru pada pengalaman memakan waktu lebih panjang. Dalam posisinya sebagai penasihat atau pemberi petunjuk tentang bagaimana cepat kaya atau mengatasi persoalan-persoalan lain dengan cepat sekaligus tuntas, si pemateri juga diperintahkan sang sutradara untuk konsisten dengan perannya sebagai orang yang juga yakin dengan betapa berharganya waktu: lebih cepat lebih baik. Itulah sebabnya dia tidak sedikit pun dapat meragukan apa yang dia sampaikan di seminarnya, misalnya, tentang bagaimana cara cepat meraup untung dari usaha kecil. Jika dia meragukan apakah memang usaha kecil bisa cepat jadi besar, padahal secara logika pepatah mengatakan sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit, maka yang terjadi adalah kekacauan struktur sosial. Para peserta seminar bisa jadi akan mengamuk.
***
Sebuah persoalan mendasar dapat diungkapkan sebelum kesempatan ini ditutup. Bagaimana dengan para pendakwah yang menyerukan keimanan dan ketakwaan kepada hadirin pendengar? Apa yang terjadi jika pendakwah meragukan apa yang dengan yakin dia tujukan kepada orang lain, entah itu ajakan, kabar gembira, kabar buruk, peringatan, ancaman, dan sebagainya? Apakah ini akan memicu terjadinya krisis struktur sosial keagamaan? Ataukah agar kehidupan keagamaan berjalan lancar, agar sandiwara keimanan dan ketakwaan berlangsung konsisten di atas panggung sosial, maka setiap aktor di dalamnya tidak dapat mempertanyakan peran yang dimainkan, termasuk peran sebagai pendakwah dan yang didakwahi.
Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan perenungan yang jujur dan tulus. Dan itu memerlukan waktu sehingga tidak dapat dikhatamkan dalam kesempatan ini. Namun sebagai bekal dapat disampaikan satu ungkapan yang berasal dari bagian khotbah Jumat. Di dalam khotbah Jumat sang khatib wajib menasihati jamaah tentang ketakwaan. Namun nasihat ini juga dia tujukan kepada dirinya sendiri: “Aku menasihatkan kepadamu sekalian dan juga kepada diriku sendiri agar bertakwa kepada Allah” (Ushiikum wa iyyaya bi taqwallah). Berdasarkan konteks kita di atas, implikasi yang lahir dari kenyataan khutbah ini adalah: wacana keimanan dan ketakwaan justru mendorong orang untuk meragukan apa yang dibicarakan dan didakwahkan kepada orang lain. Itu artinya beriman bukanlah bersandiwara.[]
Leave a Review