Dewasa dalam Berbeda Dewasa dalam Berbeda Dewasa dalam Berbeda Dewasa dalam Berbeda Dewasa dalam Berbeda Dewasa dalam Berbeda Dewasa dalam Berbeda Dewasa dalam Berbeda
Tanggungjawab memberikan fatwa bukan sesuatu yang ringan. Imam Ibnu Qayyim mengatakan mufti ibarat ‘juru bicara’ atau ‘sekretaris’ Allah Swt dalam menjawab masalah-masalah agama. Karena itu ia memberi judul bukunya: I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamiin (Informasi untuk para penandatangan atas nama Tuhan semesta alam). Di samping bermakna pemuliaan, ini juga berarti tugas berat yang diemban oleh mufti dan berisiko tinggi. Sebagian ulama bahkan mengatakan bahwa seorang mufti itu, sebelah kakinya berada di surga dan sebelahnya lagi berada di neraka. Jika ia berfatwa atas dasar ilmu dan mengharapkan ridha Allah maka surga balasannya. Tapi jika ia berfatwa asal-asalan dan mengharap ridha manusia maka neraka tempat kembalinya, wal ‘iyadzu billah.
Dikarenakan begitu beratnya tugas dan risiko menjadi mufti, banyak ulama yang menghindari posisi ini. Bahkan ada yang rela dipenjara, diasingkan dan disiksa daripada harus menerima amanah berat ini.
Nah, ketika tugas berat ini telah dipikul oleh orang-orang -yang insyaallah memiliki kompetensi dan kredibilitas- semestinya kita merasa kasihan dan mendoakan agar ia diberi taufiq dan keikhlasan dalam mengemban amanah yang sangat berat itu.
Tapi yang terjadi, ada sebagian orang yang ingin pula untuk memikul tugas berat itu. Padahal ia sudah ‘terselamatkan’ dan ‘terhindarkan’ dari amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya itu.
Namun demikian, apakah fatwa seorang mufti atau lembaga merupakan kebenaran yang bersifat mutlak? Apakah sebuah fatwa menutup ruang untuk pendapat lain yang berbeda? Tidak. Fatwa tidak berarti kebenaran mutlak. Maka, tidak salah jika ada pendapat lain yang berbeda dengannya, dengan dua syarat utama; dari ahlinya dan pada tempatnya (من أهله وفى محله).
Sejak keluar fatwa MUI tentang pencegahan penyebaran Covid-19, muncul berbagai respons. Ini tentu sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah sebagian respons yang muncul itu sudah kehilangan etika dan adab dalam berbeda. Baik respons tersebut datang dari pihak yang pro pada fatwa tersebut maupun dari pihak yang kontra.
Sebagian pihak yang kontra mengungkapkan tidaksependapat mereka dengan bahasa dan narasi yang jauh dari adab Islam. Seolah-olah para ulama yang mengeluarkan fatwa itu lebih takut kepada virus daripada Allah Swt. Yang lebih ironis adalah anggapan bahwa fatwa itu mendukung agenda terselubung Yahudi dan Nasrani untuk menjauhkan umat dari agama.
Baca Juga: Pelajarilah Ilmu Mantiq Supaya Tidak Salah Menyimpulkan Informasi
Respons dari pihak yang kontra ini ditanggapi secara berlebihan pula oleh sebagian pihak yang pro. Seolah-olah mereka yang tidak setuju dengan fatwa MUI adalah orang-orang bodoh dan masih ‘ingusan’ dalam ilmu. Ada juga sebagian pihak yang pro menyebut pihak yang kontra dengan sebutan ‘sok tawakkal’, dan sebagainya.
Akhirnya yang terjadi bukan diskusi tentang substansi fatwa, melainkan saling melempar tuduhan, merasa lebih benar, melampiaskan emosi dan kemarahan serta kebencian.
Tak berlebihan rasanya kalau kita mengatakan bahwa virus ‘kebencian’ ini jauh lebih berbahaya dari virus corona. Karena dampak terparah dari virus corona adalah mati fisik. Sementara dampak dari virus ‘kebencian’ adalah mati hati.
Kalau kita mau menahan hasrat untuk menanggapi dan mengomentari berbagai postingan yang beredar di medsos, lalu kita buka kitab-kitab para ulama untuk mengaji masalah ini, kita akan dapati bahwa masalah ini (wabah menular, karantina, tawakkal dan sebagainya) sudah sejak dulu menjadi objek khilafiyah para ulama.
Perbedaan pendapat itu muncul karena beberapa hadis dalam hal ini yang sekilas tampak kontradiktif (bertentangan).
Dalam hadis sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari (diantaranya di nomor 5717) dan Imam Muslim (diantaranya di nomor 2220), dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ
“Tidak ada penularan, tidak juga shafar dan tidak pula hamah.”
(Shafar adalah sejenis ulat yang dipercaya hidup di dalam perut manusia dan dapat menyebabkan penyakit mematikan. Sementara hamah adalah burung yang bertengger di kubur orang yang mati dibunuh sebelum dendamnya terbalas).
Mendengar hal ini ada seorang Arab badui bertanya, “Ya Rasulullah, kalau demikian kenapa ada unta yang sehat ketika berdekatan dengan unta yang sakit ia juga ikut sakit?” Rasulullah Saw menjawab: “Siapa yang menularkannya pada unta pertama?”
Hadis ini menjadi dalil bahwa Rasulullah Saw menafikan adanya penularan. Ketika ada yang menanggapi pernyataan Rasulullah Saw ini dengan realita yang ia lihat sendiri bahwa ada unta sehat menjadi sakit karena berada di dekat unta yang sakit, Rasulullah Saw menjawab: kalau hal itu dianggap sebagai sebuah penularan, lalu siapa yang menularkan pada unta pertama? Tentu tidak ada. Berarti semua itu terjadi atas kehendak Allah Swt. Jadi apa yang terlihat sebagai sebuah ‘penularan’ sesungguhnya tidak bedanya dengan gejala awal yang dialami unta pertama. Tidak ada yang terjadi secara mandiri. Semua adalah atas kehendak Allah Swt.
Sementara di hadis berikutnya (lanjutan dari hadis nomor 5707 diatas) Rasulullah Saw bersabda:
وَفِرَّ مِنَ المَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ
“Larilah dari orang yang terkena judzam (salah satu penyakit menular) sebagaimana engkau lari dari singa.”
Seolah-olah hadis ini menegaskan bahwa penularan itu memang ada. Oleh karenanya Nabi menyuruh kita untuk menjaga jarak dari orang yang terkena penyakit yang menular.
Bagaimana para ulama memahami kedua hadis yang sekilas tampak bertentangan ini? Ada tiga metode yang biasa ditempuh dalam menyikapi hadis-hadis yang sekilas tampak bertentangan; metode naskh, tarjih dan al–jam’u. Kita akan melihat dua metode saja; naskh dan al-jam’u karena metode tarjih tidak jauh beda secara substansi dengan metode naskh dari segi hasil atau kesimpulan
Pertama, metode naskh. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis yang memerintahkan untuk menghindari orang yang berpenyakit menular di-nasakh (dihapus) oleh hadis yang menyatakan tidak ada penularan sama sekali.
Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Baththal dalam syarahnya terhadap Shahih Bukhari, dari Imam Thabari.
Yang membuat mereka berpendapat demikian adalah berbagai riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Saw makan bersama orang yang berpenyakit menular. Ini juga dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Mereka tidak keberatan untuk makan bersama orang-orang yang positif terkena penyakit menular. Bahkan Sayyidah Aisyah ketika ditanya, apakah Rasulullah Saw pernah mengatakan untuk lari dari orang yang terkena judzam sebagaimana lari dari singa? Ia menjawab: “Tidak pernah. Bahkan Nabi Saw mengatakan: “Tidak ada penularan.” Beliau juga menjelaskan bahwa budaknya juga terkena penyakit itu tapi tetap makan di piringnya, minum di gelasnya dan tidur di kasurnya.
Kedua, metode al-jam’u (kompromi).
Inilah metode yang lebih dipilih oleh mayoritas ulama. Menurut mereka, selama nash-nash yang sekilas terlihat kontradiktif itu masih bisa untuk dikompromikan, ini yang mesti dilakukan. Metode naskh baru ditempuh kalau al-jam’u (kompromi) tidak bisa dilakukan. Itupun dengan syarat bahwa waktu (timing) kapan hadits-hadits yang kontradiktif itu diucapkan Nabi dapat diketahui, agar jelas mana nash yang berposisi sebagai nasikh (penghapus) dan mana yang bersifat mansukh (dihapuskan).
Bagaimana cara ulama mengkompromikan kedua hadis ini?
Dalam Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dijelaskan bahwa ada enam bentuk kompromi yang dilakukan para ulama terhadap hadis ini.
Dalam tulisan ini kita hanya menyampaikan bentuk kompromi yang paling banyak dipilih oleh para ulama, seperti Imam Ibnu Baththal, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dan lain-lain.
Bentuk kompromi yang mereka pilih adalah sebagai berikut: penularan yang dinafikan oleh hadis yang pertama adalah penularan yang diyakini oleh masyarakat jahiliah yaitu bahwa penyakit itu bisa menular dengan sendirinya tanpa intervensi atau ‘campur tangan’ dari Allah Swt. Untuk membatalkan keyakinan dan anggapan ini maka Rasulullah Saw menegaskan bahwa tidak ada penularan. Maksudnya, seseorang tidak akan terkena penyakit –melalui cara penularan- dengan sendirinya jika tidak atas izin oleh Allah Swt.
Baca Juga: Saran-saran Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama
Sementara hadis yang kedua, dan hadis-hadis lain yang senada, menegaskan bahwa seseorang dianjurkan untuk menjaga jarak dari orang yang terkena penyakit menular sebagai bentuk kehati-hatian, dan untuk menghindari anggapan bahwa ketika ia kemudian terjangkiti penyakit tersebut, jangan sampai ia menganggap kalau itu disebabkan karena ia berdekatan dengan si A yang memiliki penyakit itu. Anggapan ini tidak dibolehkan karena dengan demikian seolah-olah si A yang bersalah dan yang bertanggungjawab atas penyakit yang menghinggapi tubuhnya. Padahal semua itu terjadi atas izin Allah Swt. Buktinya, tidak semua orang yang dekat dengan si A tertulari penyakit yang dideritanya.
Untuk lebih menegaskan bahwa sebuah penyakit (dan juga virus) tidak bisa menular dengan sendirinya, Rasulullah Saw makan bersama orang yang menderita penyakit judzam (sejenis penyakit menular di masa itu). Hal inipun juga dilakukan oleh istrinya Aisyah dan beberapa sahabatnya seperti Abu Bakar dan Umar.
Karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang memiliki tingkat keimanan, keyakinan dan tawakkal yang tinggi ia dibolehkan untuk berdekatan dengan orang yang menderita penyakit menular. Sementara orang yang imannya lemah, sebaiknya menjaga jarak agar tidak terjebak pada anggapan bahwa si fulan (yang menderita penyakit) itulah yang menyebabkan ia sakit (seandainya ia akhirnya tertulari penyakit tersebut.
Terlepas dari itu semua, para ulama sepakat bahwa langkah-langkah preventif dan kehati-hatian (ihtiyath) mesti dilakukan untuk menjaga diri dan masyarakat dari penyakit menular atau wabah. Langkah-langkah pencegahan ini tidak bertentangan dengan tawakkal yang diperintahkan oleh Allah Swt. Karena, sebagaimana Allah Swt menurunkan penyakit secara langsung, Allah juga menurunkan penyakit melalui perantara (virus, bakteri dan sebagainya).
Setelah seluruh langkah preventif dilakukan maka seorang muslim dituntut untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Ia mesti yakin bahwa tidak ada satupun yang akan mengenainya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untuknya.
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (التوبة : 51)
“Katakanlah, tidak ada yang akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tentukan untuk kami. Dia-lah pelindung kami, dan kepada Allah saja hendaknya orang-orang iman bertawakkal.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Leave a Review