Khilafiyah atau perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan (hilal), baik Ramadhan, Syawal, maupun Dzulhijjah tidak hanya terjadi pada tahun ini saja. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan dalam metode yang dipakai untuk melihat awal bulan; antara rukyah dan hisab. Untuk rukyah pun juga terjadi perbedaan tentang jumlah orang yang melihat (syahid/saksi) dan kriterianya; apakah mesti minimal dua orang atau tidak, mesti orang yang adil atau tidak, dan sebagainya.
Dengan menyadari dan memahami bahwa masalah ini khilafiyah maka kita akan lebih siap dan berlapang dada dalam menyikapinya. Karena dengan begitu, kita tidak akan memandang pendapat yang berbeda dengan pendapat yang kita pilih sebagai pendapat yang salah.
Terkait dengan perbedaan dalam penetapan 1 Dzulhijjah 1443 tahun ini, beredar sebuah tulisan yang dengan berani menyatakan bahwa tidak ada Khilafiyah dalam penentuan Idul Adha. Sang penulis juga menegaskan bahwa ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan rukyat yang sama untuk Idul Adha yaitu rukyat penduduk Makkah. Tak tanggung-tanggung, ia kemudian mengatakan bahwa hal ini diriwayatkan secara mutawatir. Inti yang ingin disampaikannya adalah bahwa dalam menentukan hilal Dzulhijjah kita mesti mengikut rukyat penduduk Makkah dimanapun posisi kita, atau yang disebut rukyat global.
***
Ada banyak hal yang perlu disorot dari tulisan tersebut. Pertama, klaim bahwa dalam masalah penentuan hilal Dzulhijjah tidak terdapat khilafiyah sama sekali, dan para ulama seluruh mazhab sudah sepakat. Dalam bahasa mantiq, ini namanya mujab kulli. Mujab kulli ini bisa dibantah dengan sangat mudah menggunakan salb juz`iy. Sederhananya, darimana ia begitu yakin bahwa hal ini sudah menjadi kesepakatan ulama? Ia bahkan tidak menukil satupun rujukan untuk menguatkan klaim ijma’ itu. Ia menulisnya begitu saja (ألقى الكلام على عواهنه) seolah hal itu sudah menjadi sesuatu yang tak terbantahkan.
Kedua, kita ragu apakah penulis paham makna mutawatir atau tidak. Karena, kalau benar apa yang diklaimnya sebagai ijma’ itu memang mutawatir, maka ulama yang berbeda dengan itu berarti menolak sesuatu yang mutawatir. Orang yang belajar Ushul Fiqih tahu apa implikasi dari menolak sesuatu yang bersifat mutawatir.
Ketiga, dalil yang ia gunakan untuk menguatkan pernyataan yang sangat berani itu adalah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan dari Husein bin Harits al-Jadali:
أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ: «عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Sesungguhnya Amir Makkah berpidato: “Rasulullah Saw mengamanahkan kepada kami untuk bermanasik sesuai dengan rukyah. Seandainya kami tidak melihat langsung tapi ada dua saksi yang adil yang melihat maka kami bermanasik sesuai dengan kesaksian kedua orang itu.”
Pertanyaan yang langsung muncul adalah apa kaitannya hadits ini dengan masalah rukyat global? Metode istidlal apa yang penulis gunakan sehingga ia menyimpulkan bahwa hadits ini bisa dijadikan dalil kemestian kita mengikut rukyat penduduk Mekkah?
Disinilah masalahnya. Ia menyimpulkan sesuatu yang tidak kena-mengena sama sekali dengan hadits. Ini yang tidak disadari oleh penulis; bahwa menyimpulkan sebuah hukum tidak cukup hanya sekadar melihat teks haditsnya saja.
Uniknya, terkait dengan status hadits ini ia menukil dari Nailul Awthar karya Imam Syaukani. Padahal Imam Syaukani sendiri menulis bahwa hadits ini dijadikan sebagai dalil untuk masalah pensyaratan jumlah (al-‘adad) dan ‘adalah dalam masalah saksi. Itupun juga dijawab (dibantah) oleh hadits yang lain. Berikut teksnya:
وَقَدْ اُسْتُدِلَّ بِالْحَدِيثَيْنِ عَلَى اشْتِرَاطِ الْعَدَدِ فِي شَهَادَةِ الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ. وَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنْ ذَلِكَ الِاسْتِدْلَالِ، قَوْلُهُ: (شَاهِدَا عَدْلٍ) فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى اعْتِبَارِ الْعَدَالَةِ فِي شَهَادَةِ الصَّوْمِ
***
Andaikan saja penulis mau meluangkan waktu untuk melihat beberapa kitab fiqih yang mudah diperoleh seperti Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwait, ia akan menemukan bahwa ternyata masalah ini tidak lepas dari perbedaan pendapat antara ulama, dan memang begitulah tabiat masalah-masalah fiqih. Seharusnya penulis lebih berhati-hati untuk mengatakan : “Tidak ada khilafiyah”, “Ulama sepakat”, dan sebagainya, agar penulis tidak masuk dalam ancaman Imam Ahmad bin Hanbal :
مَنِ ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَقَدْ كَذَبَ
“Siapa yang mengklaim ijma’ berarti ia bohong.”
***
Ulama berbeda pendapat apakah perbedaan mathla’ (tempat kemunculan bulan) berpengaruh terhadap penentuan awal bulan atau tidak. Mereka yang berpendapat bahwa perbedaan mathla’ berpengaruh pada penetapan awal bulan, baik awal bulan Ramadhan, Syawal maupun Dzulhijjah, mengatakan bahwa setiap wilayah mengikuti mathla’ masing-masing.
Bahkan menurut kalangan Syafi’iyyah, kalau ada seorang yang yakin telah melihat hilal, tapi kesaksiannya tidak diterima oleh pemerintah, ia tetap mesti beramal sesuai dengan apa yang ia saksikan.
Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu’ :
لو شهد واحد أو جماعة برؤية هلال ذي الحجة فردت شهادتهم لزم الشهود الوقوف في اليوم التاسع عندهم والناس يقفون بعده فلو اقتصروا على الوقوف مع الناس في اليوم الذي بعده لم يصح وقوف الشهود بلا خلاف عندنا
“Kalau ada satu atau sekelompok orang menyaksikan hilal Dzulhijjah tapi kesaksian mereka ditolak, mereka tetap mesti wukuf di hari kesembilan (9 Dzulhijjah) ‘menurut mereka’, meskipun orang-orang wukuf sehari setelah itu. Kalau mereka hanya wukuf di hari setelah itu saja bersama orang lain maka wukuf mereka tidak sah.”
Namun, kalangan Hanafiyyah berpendapat sebaliknya. Imam Muhammad bin al-Hasan mengatakan :
يلزمهم الوقوف مع الناس أي وإن كانوا يعتقدونه العاشر قال ولا يجزئهم التاسع عندهم
“Ia mesti wukuf bersama orang banyak meskipun ia meyakini bahwa hari itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, dan tidak sah jika ia wukuf di tanggal 9 Dzulhijjah ‘menurut mereka’.”
Artinya, dalam satu daerah pun ada peluang untuk berbeda, ketika sebagian orang telah melihat hilal sementara yang lain tidak. Yang menjadi acuan bukan rukyat negeri lain, tapi rukyat yang ia lakukan sendiri, atau yang ia terima dari orang yang ia percaya dalam wilayah yang sama. Kalau ingin lebih aman, ia bisa ikut orang banyak seperti pendapat Imam Muhammad bin Hasan dan banyak ulama lain. ‘Orang banyak’ dalam konteks ini tentu direpresantasikan oleh pemerintah.
Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dari Imam Masruq. Suatu ketika ia dan seorang temannya datang menemui Sayyidah Aisyah ra. Beliau (Aisyah) berkata pada pembantunya, “Hidangkan untuk mereka minuman. Kalau aku tidak sedang puasa tentu aku juga ikut minum.” Keduanya berkata, “Apakah engkau puasa hari ini wahai Ummul Mukminin? Boleh jadi hari ini adalah hari kurban (10 Dzulhijjah)?”
Sayyidah Aisyah menjawab:
إنما يوم النحر إذا نحر الإمام وعظم الناس والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس
“Hari berkurban itu apabila imam (pemimpin/pemerintah) berkurban dan manusia mengagungkan, dan hari berbuka (Idul Fitri) itu apabila imam (pemimpin/pemerintah) berbuka dan manusia mengagungkan.”
Hadits ini satu dari sekian hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama bahwa yang menjadi standar dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah adalah apa yang diputuskan oleh pemerintah setempat.
***
Fokus dari tulisan ini sesungguhnya adalah jangan terlalu mudah untuk mengatakan: “Ini kesepakatan ulama”, “Tidak ada perbedaan/khilafiyah pendapat dalam hal ini”, dan klaim-klaim berat lainnya yang baru boleh dikeluarkan setelah dilakukan pengkajian yang mendalam dan meluas.
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]
Leave a Review