scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tidak Selalu, “Kalau Tidak Sunnah Berarti Bid’ah…”

Tidak Selalu, “Kalau Tidak Sunnah Berarti Bid’ah…”
Ilustrasi Dok. Istimewa

Sebenarnya sangat banyak hadis, baik qauliy, fi’liy maupun taqririy, yang mengajarkan kita untuk bijak dalam melihat perbedaan. Bukan hanya hadis, contoh dari para sahabat, tabi’in dan para ulama yang lain juga bisa menjadi suluh bendang dalam kegelapan pertikaian dan polemik yang kerap terjadi.

Hanya sayangnya, kita sering abai atau pura-pura tidak melihat pesan yang sangat jelas itu. Ketika mensyarah sebuah hadis, perhatian kita terpusat pada sisi hukum fikihnya saja: hadis ini menjelaskan bahwa perbuatan A adalah haram, atau perbuatan B adalah wajib dan berdosa jika tidak dikerjakan.

Menjabarkan sebuah hadis hanya melihat aspek hukumnya saja akan membuat kajian hadis terasa gersang. Hal yang lebih parah, kita jadi lengah dari banyak pelajaran dan hikmah yang memiliki dimensi sosial, psikologis, humanis dan sebagainya, yang boleh jadi jauh lebih penting dari dimensi hukumnya.

Dalam menjelaskan hadis di bawah ini, beberapa situs yang saya cek hanya memusatkan perhatian pada sisi hukum fikihnya saja. Akibatnya pesan, yang menurut saya paling menonjol dari hadis ini, menjadi terabaikan. Pesan bagaimana menyikapi perbedaan, bagaimana merespons kesalahan, bagaimana berbahasa yang santun dan sebagainya. Dan yang tak kalah penting juga, pesan bahwa tidak semua lawan dari sunnah adalah bid’ah.

Baca Juga: Diazab Karena Tidak Sesuai Sunnah?

***

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy ra:

“Ada dua orang pergi dalam sebuah perjalanan. Ketika waktu salat masuk mereka tidak menemukan air. Akhirnya kedua orang ini bertayammum. Lalu mereka salat. Selesai salat ternyata mereka menemukan air. Salah seorang dari keduanya mengulang salatnya. Sementara yang satu lagi tidak.

Sesampai di Madinah mereka menceritakan apa yang mereka lakukan pada Rasulullah Saw.

Untuk orang yang tidak mengulang salatnya Rasul bersabda:

أَصَبْتَ السُّنَّةَ، وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ

“Yang engkau lakukan sudah sesuai sunnah, dan salatmu sah.”

Sementara untuk orang yang mengulang salatnya, apakah Rasul akan mengatakan bahwa ia telah menyalahi sunnah? Bukankah dalam logika sebagian orang saat ini kalau tidak sunnah berarti bid’ah?

Perhatikan komentar Sang Guru yang sangat bijak dan sayang pada umatnya:

لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ

“Engkau dapat pahala dua kali.”

***

Kelembutan ini diwarisi oleh para sahabat yang mulia. Meski kadang mereka ‘kesal’ dengan sikap sebagian orang yang seolah-olah mencari-cari alasan untuk tidak mengikuti sunnah, tapi mereka tetap sabar dan berbahasa dengan santun.

Zubair bin ‘Arabiy ra menceritakan, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang mengusap hajar aswad. Ibnu Umar ra berkata: “Saya melihat Rasulullah Saw mengusap dan menciumnya.”

Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana kalau keadaannya sesak dan padat? Bagaimana kalau aku diselip orang?”

Dengan sabar Ibnu Umar menjawab, “Tinggalkan saja kalimat ‘bagaimana kalau…’ itu di Yaman. Yang jelas aku melihat Rasulullah Saw mengusap dan mencium hajar aswad.”

***

Seorang tabi’in bernama Ismail bin Umayyah mendengarkan hadis dari az-Zuhri, dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Nabi Saw salat dua rakaat setiap selesai thawaf.”

Kemudian Ismail berkata kepada az-Zuhri, “’Atha` (seorang ulama tabiin) mengatakan cukup salat fardhu saja (tidak perlu salat dua rakaat thawaf).”

Mendengarkan sanggahan dari Ismail bin Umayyah ini, az-Zuhri hanya berkata: “Sunnah lebih utama”

Baca Juga: “Inilah Sunnahku …”

***

Bahkan ketika seseorang tampak jelas berbeda dengan sunnah, mereka masih menjaga kalimat yang keluar dari mulut mereka. Kalimat-kalimat seperti, “Menentang sunnah…” “Menyelisihi sunnah…” rasanya tidak ada dalam kamus pembicaraan mereka.

Suatu ketika Urwah bin Zubair ra menyampaikan hadis dari Sayyidah Aisyah ra tentang tata cara salat sunnat kusuf yaitu dua rakaat dengan empat rukuk dan empat sujud.

Az-Zuhri yang mendengarkan hadis ini dari Urwah berkata, “Apa yang engkau jelaskan itu tidak dilakukan oleh saudaramu sendiri; Abdullah bin Zubair ketika ia salat kusuf di Madinah.”

Mendengar ‘sanggahan’ az-Zuhri ini, Urwah berkata :

أَجَلْ إِنَّهُ أَخْطَأَ السُّنَّةَ

“Memang benar, tapi ia (Abdullah bin Zubair) tidak sesuai dengan sunnah.”

***

Perbedaan memang tak bisa dihindari, tapi bahasa tetaplah cerminan diri.

Kalau isinya bersih, yang keluar juga bersih. Tapi kalau sudah dari dalamnya kotor, maka yang tampak keluar juga akan kotor.

كُلُّ إِنَاءٍ بِمَا فِيْهِ يَنْضَحُ

Setiap bejana akan mengeluarkan isinya masing-masing.

[YJ]

Yendri Junaidi
Alumni Perguruan Thawalib Padangpanjang dan Al Azhar University, Cairo - Egypt