scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tiga Orang Ahmad Khatib dari Minangkabau

Tiga Orang Ahmad Khatib dari Minangkabau
Ilustrasi/Dok. Ijot Goblin

Minangkabau bolehlah menegakkan kepala di gelanggang sejarah. Putra-putrinya jadi orang berguna, jadi tokoh penting di berbagai bidang, di banyak tempat, dari skala lokal sampai global. Susah membilangnya satu persatu, saking banyaknya, bahkan ada yang terlupakan. Namun, dari sekian tokoh Minang nan hebat-hebat itu, tentulah nama Ahmad Khatib tak boleh dilupakan.

Namun begitu, nama ini tak hanya disandang oleh satu orang. Minangkabau mencatatkan, setidaknya tiga orang putranya bernama Ahmad Khatib. Ketiganya adalah tokoh penting yang berperan dengan keunikannya masing-masing.

Baca Juga: Hamka dalam Karyanya antara Fakta dan Khayal Tuangku Rao

Pertama, tentu saja Ahmad Khatib bin Abdul Latif atau popular dengan nama Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Beliau adalah bintang kejoranya Minangkabau di abad ke-19 sampai awal abad 20. Sebelum Ahmad Khatib, belum satupun orang luar Arab diangkat jadi imam besar di Masjidil Haram. Ahmad Khatiblah yang pertama, “pacah talua” (pecah rekor). Ulama kelahiran Ampek Angkek pada 1860 ini juga diangkat jadi mufti Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.

Ulama-ulama nusantara yang menuntut ilmu ke Makkah di akhir abad ke-19 sampai awal abad 20, rata-rata sanad keilmuannya tersambung pada Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Kalau mau menyebut tokoh-tokoh popular: Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU); K.H. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah; Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Jamil Jaho, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Beliau-beliau itu adalah murid Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi.

Keilmuannya bak samudera, luas dan dalam. Beliau ahli fikih, juga ilmu falak dan aljabar. Dalam urusan agama, pendiriannya keras tak tergoyahkan. Beliau tak sungkan mengkritik, berani berdebat, juga terbuka untuk dikritik dan didebat. Itu ciri-ciri orang berilmu dalam berpengetahuan luas.

Syekh Ahmad Khatib mengkritik pengamalan Tarikat Naqsyabandiyah. Ia tulis kitab khusus untuk melancarkan kritiknya. Judulnya “Izharu Zaghil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi al-Shadiqin

Beliau mengkritik sistem kewarisan harta pusaka di Minangkabau, yang alurnya “dari niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan”. Ia tulis juga sebuah risalah untuk menyampaikan kritik. Judulnya “al-Da’ al-Masmu’ fi Raddi ala Man Yuritsu al-Ikhwah wa Awlad al-Ikhwah”. Begitu kerasnya kritik Syekh Ahmad Khatib, sampai-sampai ia tegaskan bahwa sistem kewarisan Minang adalah sistem kufur, harta dan tanahnya sama dengan harta curian, dan penduduk Minang adalah “ahlun nar” (penghuni neraka) karenanya.

Walau demikian, kecintaan Ahmad Khatib terhadap tanah Minang tetap lestari sampai akhir hayatnya. Sekeras-kerasnya kritik, nama “al-Mingkabawi” tetap berjuntai-manja di ujung namanya sebagai satu kesatuan. Itu bukti kecintaan. Benarlah kata Hamka, cara elegan orang Minang menyayangi kampung halamannya adalah dengan mengkritik, bukan dengan sanjung-sanjung dan puja-puji tak menentu.

Kedua, Ahmad Khatib Datuak Batuah, putra Syekh Gunuang Rajo yang ahli tarikat Syatariah. Ia lahir pada 1895 di Koto Laweh Padang Panjang. Di usia belia, 14 tahun, Ahmad Khatib sudah berlayar ke Makkah untuk menunaikan haji dan menuntut ilmu. Enam tahun lamanya ia belajar agama di Makkah (1909-1915), berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi, orang alim besar yang senama dengannya, sama-sama orang Minang pula, dan sama-sama merantau ke Makkah di usia belasan.

Jika Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi seorang yang keras, Ahmad Khatib Datuak Batuah tak kalah garang. Alangkah banyak persamaan mereka. Ahmad Khatib Datuak Batuah tak segan-segan berdebat dengan Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Dr/ Inyiak Rasul) yang merupakan guru sekaligus “bos”-nya. Ya, sepulang dari Makkah, Ahmad Khatib berguru lagi dengan Inyiak Dr, lalu diangkat oleh Inyiak Dr sebagai asisten dan disuruh mengajar di Pesantren Thawalib Padang Panjang.

Dari sekian persamaannya, inilah bedanya: Ahmad Khatib Datuak Batuah akhirnya memilih bergabung dengan kelompok komunis. Setelah berkenalan dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis komunis, Datuak Batuah mantap memilih komunisme sebagai jalur perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan gencar ia kampanyekan garis-garis perjuangan yang diramu dari ajaran Islam dan ajaran komunisme.

Tahun 1923, Datuak Batuah bertolak ke tanah Jawa guna mengikuti Kongres Partai Komunis Indonesia atau pecahan Sarekat Islam yang berhaluan komunis. Saking mantapnya dengan komunisme, Datuak Batuah pun dijuluki “haji merah”-nya Minangkabau, sebagaimana Haji Misbach di Jawa. Datuak Batuah jua yang mempopulerkan istilah komunis dengan dialek Minang: kumunih.

Walau memilih haluan komunis, Datuak Batuah tidak melepaskan Islam. Baginya, ajaran Islam dan komunisme memiliki titik singgung dan bisa diramu untuk menentang kapitalisme dan kolonialisme. Bagaimanapun, dengan kiprah dan pemikirannya ini, Datuak Batuah telah mencatatkan namanya sebagai salah satu tokoh Islam pejuang kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Haji Rasul Pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau serta Pembela Qunut Subuh dan Jahar Bismillah

Ketiga, Ahmad Khatib bin Muhammad Amrullah Tuanku Kisai. Ahmad Khatib yang ini memang tidak sepopuler dua lainnya. Ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah Tuanku Kisai, berkawan akrab dengan Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi saat belajar di Makkah.

Tuanku Kisai sebenarnya lebih senior. Ia lebih awal ke Makkah dibanding Ahmad Khatib al-Mingkabawi, tapi ia sangat kagum pada kealiman dan kedalaman ilmu Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Karena kekaguman itu jualah, Tuanku Kisai memakaikan nama “Ahmad Khatib” untuk putranya sebagai bentuk doa atau “tabarruk” (mencari limpahan berkah), dengan harapan putranya kelak juga alim seperti Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Kelak, Syekh Muhammad Amrullah mengantarkan putranya ke Makkah supaya diajar oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Syekh Muhammad Amrullah Tuanku Kisai itu adalah ayah bagi Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Dr) atau kakek bagi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Artinya, Ahmad Khatib adalah saudara seayah bagi Inyiak Dr, tapi berlainan ibu. Abdul Karim Amrullah inilah yang diantar oleh Tuanku kisai belajar ke sahabatnya, Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi, di Makkah.

Tak banyak catatan tentang Ahmad Khatib ini. Hamka hanya menuliskan bahwa saudara bapaknya itu mengabdikan diri sebagai guru di Lampung, sampai akhir hayatnya. Namanya memang tak semenggelegar Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi atau Haji Ahmad Khatib Datuak Batuah, tapi peran sosialnya di masyarakat tak kalah pentingnya

Dengan keunikannya masing-masing, kesamaan ketiga orang itu selain sekadar nama adalah: pengabdiannya pada masyarakat, pengabdiannya pada keilmuan, dan pengabdiannya pada peradaban.[]


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com

Tiga Orang Ahmad Khatib Tiga Orang Ahmad Khatib Tiga Orang Ahmad Khatib

Nuzul Iskandar
Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Pernah aktif sebagai peneliti di Smeru Research Institute. Sekarang Dosen Hukum Islam di IAIN Kerinci Jambi