Sebuah negeri yang penduduknya tidak kenal apa yang disebut nama. Nama-nama diganti dengan sebutan yang merujuk pada apa yang dimiliki orang itu, keadaan fisiknya, atau karakternya, atau banyak uangnya, dan sebagainya. Beginilah kira-kira percakapan sehari-hari mereka:
“Seratus Lima Puluh Lima Sentimeter Empat Mili, sudah dua tahun kita tak berjumpa. Ke mana saja kamu merantau?” kata yang memulai percakapan.
“ Hai, Kelahiran 1978, engkau makin lama makin gagah saja kulihat,” kata yang dari sana.
“ Dari dulu kamu selalu salah memanggilku. Aku Kelahiran 1976, sudah beratus-ratus kali kamu kuingatkan. Bagaimana pula kamu ini, tidak seperti teman saja.”
“ Mengapa engkau marah padaku?! Kesalahanmu lebih parah lagi. 155 Sentimeter 4 Mili itu aku lima tahun yang lalu. Sekarang aku telah 156,7 Sentimeter. Tidakkah engkau ingat betapa aku sering mengingatkanmu akan hal itu juga. Aku tahu engkau tak peduli padaku dan sama sekali tak punya rasa setiakawan. Daripada begini lebih baik kita tak usah saja bertemu.”
“ Jangan kamu yang menyalahkan aku. Justru kamu yang tak mau mengerti!” Dengan kata-kata ini, yang pertama menyapa pun pergi menjauh.
Baca Juga: Ibrahim dari Barus
*
Percakapan yang lain lagi kita temui, antara dua orang pedagang.
“ Dua Toko Tujuh Karyawan, aku ingin kita mengadakan suatu kerjasama bisnis yang akan menguntungkan kita berdua. Apa kau mau?”
“ Tergantung bisnis apa dulu, Tiga Istri Tujuh Belas anak. Tidak bisa seperti mengambil kucing dalam karung saja.”
“ Begini. Kita kerjasama mengadakan bisnis peminjaman uang. Kan banyak pedagang-pedagang yang butuh modal. Nah, kita beri mereka pinjaman dengan syarat pengembalian piutang ditambah sepuluh persen di luar jumlah yang dipinjamkan. Aku yakin kita bakalan meraup keuntungan besar,” kata yang satu meyakinkan.
“ Riba?! Tidak, Tiga Istri Tujuh Belas Anak, tidak! Itu haram. Takkah kau dengar kabar tentang buruknya kematian yang menimpa Tujuh Tahun Menderita Kusta Lima Tahun Tak Bisa Bicara? Dia itu sebelum sakit bertahun-tahun memliki bisnis riba yang sangat besar. Sewaktu dia akan mati, dia berpesan kepada istrinya dalam sebuah tulisan’ Aku ini begini selama tujuh tahun karena praktek riba yang telah mendarah daging dalam diriku sejak aku umur 14 tahun’. ”
“ Iya kah?” kawannya tadi terlihat agak patah semangat.
*
Sekarang, pecakapan lain antara dua orang miskin yang mengeluh.
“ Satu Gubuk Lima Ekor Ayam, sudah satu bulan aku tak punya pekerjaan. Pemerintah sekarang tampaknya tidak punya keinginan membantu kita. Beda dengan Satu Mobil Dua Becak yang dulu ketika jadi walikota selalu perhatian pada orang-orang kecil seperti kita. Sejak Dua Vila Tiga Mercedes jadi walikota, hanya orang-orang kaya yang diurusnya. Aku harap dia tak lama memerintah. Aku harap orang-orang seperti dia cepat mati saja.”
“ Itulah dunia, Dua Cangkul Satu Kambing, siapa yang berkuasa dialah yang menjadi penentu bagaimana kita-kita ini. Kalau aku pikir-pikir, hal ini sungguh bertentangan dengan ajaran keselarasan antara pemerintah dan rakyat yang didengung-dengungkan oleh Bapak Bangsa kita seratus tahun lalu, Janggut Merah, yang mengatakan:‘ Tiga hal mutlak dalam berkuasa: mengawasi, membantu dan melindungi.”
“ Rupanya kamu masih hafal dengan kata-kata tokoh itu. Aku sendiri tidak tahu kalau namanya Janggut Merah. Ketika orang-orang menyebut nama itu, aku kira dia itu tetanggaku yang suka mabuk-mabukan dan rajin menghisap ganja. Kebetulan rambutnya merah.”
“ Itulah gunanya tamat sekolah dasar, Dua Cangkul Satu Kambing. Cakrawala dunia makin terbuka bagi yang tak buta huruf,” orang miskin ini lalu berjalan, menyandangkan tas hitam kumal. Entah apa isinya.
Tidak lama sesudah itu, orang miskin yang satu lagi melihat tiga belas orang mendatangi gubuknya. Mereka berjalan sambil berkata-kata, begitu ribut dan sibuk, serta dalam keadaan emosi.” Dia tadi ke arah sini,” agak keras terdengar kalimat ini dari seorang mereka.
“ Orang Pertama Yang Saya Sapa, ada keperluan apa ramai-ramai kemari?” tanya orang miskin itu.
“ Baju Cabik Risleting Terbuka, apa engkau melihat seseorang yang mencurigakan lewat ke sini?”
“ Bagaimana ciri-cirinya?” si miskin melihat risletingnya, lalu segera ditutup.
“ Bajunya putih, celananya hitam, rambutnya awut-awutan, dalam radius lima meter sudah tercium bau terasi jika dia berada di dekat kita. Dia bawa tas hitam, isinya tiga puluh juta lima ratus dua puluh tiga ribu empat ratus rupiah.”
Si miskin teringat akan kawannya tadi. Namun, entah karena apa, dia tak memberitahukan yang ada dalam pikirannya. “ Kalau bau terasi, aku juga iya. Kalau yang bawa karung sudah lima orang sejak satu jam tadi lewat di depan gubukku. Aku tak tahu yang kalian cari.”
Orang banyak itu segera berlalu dari tempat itu. Mereka yakin si miskin ini tak berdusta, menimbang tampangnya yang blo’on.
Baca Juga: Ibu yang Menggendong Cahaya di Dadanya (Monolog Setengah Babak)
Seminggu sesudah itu, orang miskin ini bertemu lagi dengan temannya yang membawa karung itu. Sewaktu melihatnya, langsung saja dia menyapanya,” Tiga Puluh Juta Lima Ratus Dua Puluh Tiga Ribu Empat Ratus Rupiah, ke mana saja kamu selama seminggu ini? Aku cari-cari ke rumahmu tidak ada, aku tanya orang-orang tiada yang tahu, mau menanya rumput yang bergoyang takkan dijawab.”
Kawannya heran,” Jadi, jadi engkau tahu ya?”
“ Ha ha…,” dia lalu menceritakan tentang orang banyak yang mencarinya.” Aku tidak ingin balasan apa-apa karena telah menyelamatkanmu. Lima juta saja cukup.”
“ Baik,” kata temannya,”… nanti ambil bagianmu ke rumahku.”
Sekian cerita ini. Siapa yang mau minta jatah kepada orang miskin itu, karena telah membantu menyembunyikan identitasnya, hubungi temannya. ***(Novelia Musda)
Leave a Review