Oleh: Muhammad Fahruddin Al Mustofa
Sajak Muhammad Fahruddin Al-Mustofa Sajak Muhammad Fahruddin Al-Mustofa
Nyekar
“apa yang ditawarkan kematian
selain kekosongan?”
Pertanyaan itu bergulir
mengisi batin para penziarah
ada yang terbelah pikirannya
antara ketaatan, keterikatan
dan ritual ada saja yang memilih
untuk pasrah dalam ketidaktahuan
Di depan nisan ibunya
anak kecil itu menunduk pasrah
ia tak tahu apa yang dirapal bapak
dan dua kakak perempuannya
ia hanya terpasung dalam tanda tanya
kemana ibunya pergi dan kemana rindu
dalam dadanya harus berpulang?
Lelaki tua mencabuti rumput
yang tumbuh subur di sekitar nisan lusuh
penuh debu milik istrinya
entah berapa lama ia harus hidup
khidmat dalam kesendirian
ada kesadaran penuh dalam matanya
bahwa keterasingan abadi
ada di liang kubur
kehidupan saat ini hanya batas semu
keabadiaan yang diam-diam ia ragukan
Sementara dari jauh serombongan
warga berjejalan memenuhi pemakaman
hendak menguburkan kepala desa yang
mati saat tidur siang, ia tak bergerak,
bahkan tak sempat menyuruh pegawai
di balai desa istirahat makan siang
Sore semakin menjelang
para peziarah mulai bergegas pulang
mereka hanya tahu kuburan tak lebih
rumah kedua mereka
doa-doa yang melangit di hadapan
kuburan tak lain berharap
untuk kebaikan orang-orang yang dikasihi
selebihnya, dengan getir dan batin tak menentu
mereka lebih banyak memohon ampun untuk
keselamatan diri dan kelapangan di alam kubur nanti
“Hanya itu yang bisa kita kenang.”
2020
Baca Juga: Dua Sajak Riki Dhamparan Putra
Mencari Kematian
kematian:
kucari-cari kata itu dalam kamus
tidak ada yang benar-benar
memuaskan kegelisahanku
semua hanya berkisar pada
padanan kata yang
tentu saja jauh akan makna
kamus besar bahasa Indonesia
tidak terlalu besar mencakup tafsir sebuah kata
aub
ayal
berlalu pergi
binasa
hayat
kojor
lebur
mairat
mangkat
mampus
tumpar
pundur
tumpas
wafat
kubuka buku filsafat dan teologi
terlalu banyak teori dan perdebatan
sebentar saja aku begitu muak
beberapa buku kutata rapi dalam
perapian lalu kubakar sadar-sadar
mungkin ini begitu fasis, tapi biarlah
aku tidak terlalu peduli, toh buku itu
kubeli dengan hasil keringatku sendiri, apa salahnya?
berbagai pertanyaan muncul begitu saja, “bagaimana orang Ateis mati?”
ia tidak percaya adanya Tuhan
lantas kehampaan apa yang akan
dihadapi atau malah kedamaian
yang ia temukan karena tidak perlu susah-susah memikirkan nasib
kehidupan setelahnya, bagaimana nasib jasad, ruh dan jiwanya, balasan dan ganjaran, atau konsep surga-neraka yang begitu absurd, wong dia tidak percaya itu semua,
keyakinan yang cukup indah dan sederhana, mungkin?
Rasa penasaranku semakin besar
kubuka kitab-kitab yang
menerangkan tentang mati
pembahasan berkisar pada
kembali ke hadiratNya,
siksa kubur, neraka,
mulut yang terkunci,
seluruh anggota badan berbicara, hari penghisaban dan penghabisan
aneka siksaan dan kenikmatan
ajal yang datang dengan pasti
tidak dapat mundur atau diajukan
firman Tuhan tentang ruh yang
hanya diketahui olehNya
kebenaran tentang hari akhir
dan alam akhirat beserta
segala macam isi dan
penghuninya, para malaikat
jin, setan, zaqqum, neraka,
surga, bidadari, Jibril yang indah,
mikail pembagi rejeki, munkar-
nakir, rakib-atid, malik sang penjaga neraka, Ridwan sang
penjaga surga, telaga-telaga yang
mengalir dan berbagai hal gaib
yang wajib diimani
sungguh semua ini tak berhasil menjawab
pertanyaanku sama sekali
haruskah aku mencicipinya
merasakan dengan seluruh indera
yang menempel pada tubuh
lalu diam-diam kebenaran itu
hadir dalam diriku yang begitu pongah sementara aku tidak punya bekal apa-apa untuk sowan
ke hadiratNya
mungkin inilah hakikat kematian itu
sebuah kesadaran paripurna bahwa kita, manusia, begitu lemah, papa,
kerdil, dungu, tak berdaya,
pasrah pada ketetapannya,
sambil berharap, kita selalu dinaungi
belas kasihnya, mahabbah dan mahbubiahNya,
seluruhnya, tersimpul dan termaktub dalam firman-Nya
Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un
Casablanca, 2020
Hotline
hari ke tujuh puluh sembilan
sejak sajak tak lagi dibaca
secara sadar
orang-orang lebih memilih
untuk menengok diri
menguliti dan menelanjangi
seorang anak membaca halaman depan koran lusuh
perempuan belia membunuh anak
kecil dengan cara ditenggelamkan
kepalanya di bak mandi
sementara orang dewasa terheran
anak kecil belum selesai membaca
kini koran-koran membeberkan fakta baru
ia mendadak menangis
ternyata si pembunuh adalah korban
perkosaan
adakah kita masih manusia?
pagebluk belum berakhir
kita masih saling menelanjangi
hingga kita tak lagi mengenal
tubuh, yang ada hanya tragedi
yang diam-diam lahir
dari rahim sejarah
anak kecil masih terus menangis
di hari ke sembilan puluh sembilan
nanti ia harus usai
dan berpikir untuk tidak
melakukan bunuh diri di usia
yang masih biru
Casablanca, 2020
Leave a Review