scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tiga Sajak Muhammad Fahruddin Al-Mustofa

Tiga Sajak Muhammad Fahruddin Al-Mustofa
Ilustrasi/Dok.https://www.paveikslai.lt/en/abstract-paintings/34733-buy-thoughts-painting-by-jolita-lubiene.html

Oleh: Muhammad Fahruddin Al Mustofa

Sajak Muhammad Fahruddin Al-Mustofa Sajak Muhammad Fahruddin Al-Mustofa

Nyekar

“apa yang ditawarkan kematian
selain kekosongan?”

Pertanyaan itu bergulir
mengisi batin para penziarah
ada yang terbelah pikirannya
antara ketaatan, keterikatan
dan ritual ada saja yang memilih
untuk pasrah dalam ketidaktahuan

Di depan nisan ibunya
anak kecil itu menunduk pasrah
ia tak tahu apa yang dirapal bapak
dan dua kakak perempuannya
ia hanya terpasung dalam tanda tanya
kemana ibunya pergi dan kemana rindu
dalam dadanya harus berpulang?

Lelaki tua mencabuti rumput
yang tumbuh subur di sekitar nisan lusuh
penuh debu milik istrinya
entah berapa lama ia harus hidup
khidmat dalam kesendirian
ada kesadaran penuh dalam matanya
bahwa keterasingan abadi
ada di liang kubur
kehidupan saat ini hanya batas semu
keabadiaan yang diam-diam ia ragukan

Sementara dari jauh serombongan
warga berjejalan memenuhi pemakaman
hendak menguburkan kepala desa yang
mati saat tidur siang, ia tak bergerak,
bahkan tak sempat menyuruh pegawai
di balai desa istirahat makan siang

Sore semakin menjelang
para peziarah mulai bergegas pulang
mereka hanya tahu kuburan tak lebih
rumah kedua mereka
doa-doa yang melangit di hadapan
kuburan tak lain berharap
untuk kebaikan orang-orang yang dikasihi
selebihnya, dengan getir dan batin tak menentu
mereka lebih banyak memohon ampun untuk
keselamatan diri dan kelapangan di alam kubur nanti

Hanya itu yang bisa kita kenang.”

2020

Baca Juga: Dua Sajak Riki Dhamparan Putra

Mencari Kematian

kematian:

  kucari-cari kata itu dalam kamus
    tidak ada yang benar-benar
     memuaskan kegelisahanku
      semua hanya berkisar pada  
       padanan kata yang
    tentu saja jauh akan makna
       kamus besar bahasa Indonesia              
            tidak terlalu besar mencakup tafsir sebuah kata

                         aub
                                ayal
                                       berlalu pergi
                                           binasa
                                     hayat
                               kojor
                      lebur
                 mairat
                      mangkat
                                mampus
                           tumpar
                 pundur
             tumpas
       wafat

 kubuka buku filsafat dan teologi
  terlalu banyak teori dan perdebatan
    sebentar saja aku begitu muak
      beberapa buku kutata rapi dalam
       perapian lalu kubakar sadar-sadar
          mungkin ini begitu fasis, tapi biarlah
                aku tidak terlalu peduli, toh buku itu
                      kubeli dengan hasil keringatku sendiri, apa salahnya?

     berbagai pertanyaan muncul  begitu saja, “bagaimana orang Ateis mati?”
       ia tidak percaya adanya Tuhan
   lantas kehampaan apa yang akan     
          dihadapi atau malah kedamaian    
       yang ia temukan karena tidak perlu susah-susah memikirkan nasib
         kehidupan setelahnya, bagaimana nasib jasad, ruh dan jiwanya, balasan dan ganjaran, atau konsep surga-neraka yang begitu absurd, wong dia tidak percaya itu semua,
        keyakinan yang cukup indah dan sederhana, mungkin?

     Rasa penasaranku semakin besar
       kubuka kitab-kitab yang   
            menerangkan tentang mati
             pembahasan berkisar pada
           kembali ke hadiratNya,
        siksa kubur, neraka,
     mulut yang terkunci,  
   seluruh anggota badan berbicara, hari penghisaban dan penghabisan
   aneka siksaan dan kenikmatan
     ajal yang datang dengan pasti
       tidak dapat mundur atau diajukan
         firman Tuhan tentang ruh yang
          hanya diketahui olehNya
            kebenaran tentang hari akhir
            dan alam akhirat beserta
           segala macam isi dan
         penghuninya, para malaikat
        jin, setan, zaqqum, neraka,
      surga, bidadari, Jibril yang indah,
     mikail pembagi rejeki, munkar-     
    nakir, rakib-atid, malik sang    penjaga neraka, Ridwan sang      
  penjaga surga, telaga-telaga yang
     mengalir dan berbagai hal gaib
          yang wajib diimani

sungguh semua ini tak berhasil  menjawab
pertanyaanku sama sekali

haruskah aku mencicipinya
merasakan dengan seluruh indera
yang menempel pada tubuh
lalu diam-diam kebenaran itu
hadir dalam diriku yang begitu pongah sementara aku tidak punya bekal apa-apa untuk sowan
ke hadiratNya

   mungkin inilah hakikat kematian itu
     sebuah kesadaran paripurna bahwa kita, manusia, begitu lemah, papa,      
      kerdil, dungu, tak berdaya,
   pasrah pada ketetapannya,
sambil berharap, kita selalu dinaungi
            belas kasihnya, mahabbah dan mahbubiahNya,

  seluruhnya, tersimpul dan termaktub dalam firman-Nya

 Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un

Casablanca, 2020

Baca Juga: Ibrahim dari Barus

Hotline

hari ke tujuh puluh sembilan
sejak sajak tak lagi dibaca
secara sadar
orang-orang lebih memilih
untuk menengok diri
menguliti dan menelanjangi

seorang anak membaca halaman depan koran lusuh
perempuan belia membunuh anak
kecil dengan cara ditenggelamkan
kepalanya di bak mandi
sementara orang dewasa terheran
anak kecil belum selesai membaca
kini koran-koran membeberkan fakta baru
ia mendadak menangis
ternyata si pembunuh adalah korban
perkosaan

       adakah kita masih manusia?

pagebluk belum berakhir
kita masih saling menelanjangi
hingga kita tak lagi mengenal
tubuh, yang ada hanya tragedi
yang diam-diam lahir
dari rahim sejarah

anak kecil masih terus menangis
di hari ke sembilan puluh sembilan
nanti ia harus usai
dan berpikir untuk tidak
melakukan bunuh diri di usia
yang masih biru

Casablanca, 2020

Muhammad Fahruddin Al Mustofa
Esais partikelir dan mahasiswa tingkat akhir Universitas Hassan Tsani Casablanca. PenggemarCoffe Noir tanpa gula garis keras. Baca kalo ingat, nulis kalo sempat.