Pengantar Redaksi: Pada Mei lalu Yasser melantunkan ayat suci al-Quran di Istana negara dalam peringatan Isra Mi’raj, di hadapan Presiden RI. Ia membaca al-Quran dengan langgam Jawa. (lihat: https://www.youtube.com/watch?v=pH_0ltT71tE ) Setelah itu komentar pro dan kontra sempat terjadi di masyarakat. Tak banyak orang yang mengetahui komentar langsung Yasser atas pro dan kontra itu. Tapi ia telah menulis sebuah makalah, sebagai tanggapan lantunan ayat suci al-Qur’an dengan langgam Jawa yang dipertontonkannya. Makalah ini berjudul asli: Fashlun, ay, Hadza Fashlun fi Suluk Tilawah Jawi ditulis untuk Forum Diskusi Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah disampaikan dalam Seminar Nasional “Memperkenalkan Qiraah Langgam Jawa”, oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tafsir-Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 15 Juni 2015, dengan perbaikan. Diterbitkan kembali disini, secara bertahap, untuk tujuan pendidikan.
Lidah saya lebih lincah untuk membilang tilawah langgam Jawa sebagai tilawah Jawi. Sedangkan tilawah langgam Arab/timur-tengah saya sebut tilawah Arabi. [1] Selain untuk menyingkat spasi dalam tulisan, pembilangan tersebut juga bernalar paradigmatik sebagaimana nanti saya gelar lapak perbincangannya di bawah. Tidak ada yang lebih afdal di antara dua model tilawah itu. Keduanya merupakan karya kultural anak-anak manusia. Siapa saja boleh memainkannya sesuka daya. Semoga Anda kalis dari kecendrungan penghakiman, buruk sangka, dan intensi klaim kebenaran.
Menetra Tilawah Sebagai Kebudayaan
Kehebohan tilawah Jawi mengingatkan saya pada satu sudut lihat yang dilupakan, yaitu bahwa banyak orang alpa untuk menetra tilawah sebagai: kebudayaan. Perlu digarisbawahi bahwa apa yang diperbuat oleh manusia, itulah kebudayaan,[2] yang memang mewajah sebagai sesuatu yang “murni” dibuat oleh manusia. Berdasarkan kesepakatan ahli kebudayaan, Koentjaraningrat menulis bahwa ada 7 unsur kebudayaan; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian.[3] Dengan kata lain, kebudayaan adalah karya manusia yang mencerminkan tujuh perkara itu. Bagaimana logika penyebutan tilawah sebagai kebudayaan –dalam hal ini seni? Apakah tilawah atau tindakan melantunkan al-Quran itu seni? Sebelum menjawabnya, perlu disoal apa seni itu?
Seni, dalam Bahasa Indonesia (Melayu) mengarah pada arti tukang.[4] Raden Saleh, dalam Majalah Sin Po, 25 Juli 1931, disebut sebagai seorang tukang menggambarindonesier. Kamus Belanda-Melayu susunan Klinkert menyatakan seni alias kunst sebagai kata berpengertian; hikmat, ilmu, pengetahuan, kepandaian, ketukangan. Sesuai dengan pengertian art dalam Bahasa Inggris, yaitu skill in making or doing. Art dapat berarti keterampilan (skill), aktivitas manusia, karya (work of art), seni indah (fine art), dan seni rupa (visual art). Dari sini kiranya dapat dipahamilah kemunculan istilah; seni perang, seni memasak, seni berdagang, seni berdiplomasi, dan seni mempengaruhi orang lain. Bahkan hidup itu sebenarnya seni.
Baca Juga: Meneguhkan Kearifan Lokal
Keterampilan, kemampuan, dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi tukang (seniman), memungkinkan para calon ‘tukang’ untuk belajar dan mempelajari asas-asas penciptaan karya seni dan mempraktikkannya. Hubungan teori dan praktik ini pelan-pelan akan menyerasi, mengharmoni, dan menumbuhkan pohon rasa di dalam diri si calon tukang. Lalu ia bersentuhan dengan keharusan untuk mencipta. Maksudnya, dalam olah-latih pertukangannya, seorang calon tukang akan teranugerahi bekal, yaitu daya-cipta.[5] Selain dibantu oleh eksperimentasi dan panduan seperangkat kaidah-kaidah teknikal dalam mencipta, rasa si tukang bekerja lebih jerih-keras lagi untuk memadukan eksperimentasi dan kaidah-kaidah teknikal itu. Sehingga apa yang ia tukangi menyembul sebagai “sesuatu yang baru”. “Sesuatu yang baru” itulah apa yang disebut “karya seni”, yaitu sesuatu dapat dilihat, didengar, atau dilihat sekaligus didengar, yang lahir dari perpaduan olah-rasa, teori, dan praktek.[6]
Bagaimana nasib ke-seni-an tilawah? Apakah tilawah itu seni? Sebelum itu, istilah seni dalam kebudayaan Arab harus ditengok terlebih dahulu. Bagaimanapun, tilawah awalnya “bertempat” dalam kebudayaan Arab. Membaca al-Quran memang bukan amal khusus untuk orang Arab. Akan tetapi, mengingat Nabi Muhammad SAW hidup di Arab, jadi tentu saja pelantunan al-Quran pertama kali dilakukan oleh orang Arab. Ruang sosial kehidupan al-Quran memang berada di sana.
Seni, dalam Bahasa Arab, disebut fann, dari fanna atau fa-na-na, yang artinya menghiasi. Terkadang, dalam konteks tertentu, kata fann dipakai untuk menyebut aktifitas menghalau binatang liar, menipu dalam konteks jual-beli, menunda-nunda pembayaran utang, mencampur, membuat/memberi variasi, mencipta/menemukan. Diskursus keilmuan masyarakat Arab mengartikan fann sebagai ilmu terapan atau ilmu kerja-mulia (‘ilm ‘amaliy aw shina’ah syarifah). Fann juga berarti macam-macam sesuatu.[7] Ahmad at-Thawil bahkan menyebut tindakan membaca al-Quran dengan bermacam teknik dan persyaratannya sebagai fannut tartil .[8]
Memang, pada awalnya, tilawatil quran adalah ibadah. Siapa yang mengerjakannya akan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda; barangsiapa yangmembaca satu huruf dari al-Quran, maka ia mendapatkan satu kebaikan, yang satukebaikan itu sama dengan sepuluh kali lipat ganjarannya. Aku tidak mengatakan Alif LamMim itu satu huruf. Alif itu satu huruf, Lam itu satu huruf, dan Mim itu satu huruf.[9] Ada banyak anjuran-anjuran lain dari Nabi SAW untuk membaca al-Quran. Baik dikaitkan pada aspek perolehan ganjaran, maupun pada peramuan sistem sosial berbasis pembacaan al-Quran. Yang paling penting, Nabi Muhammad SAW bertitah dalam sejumlah sabda yang berisi anjuran untuk mempercantik bunyi bacaan (baca: bertilawah). Di antaranya; Allah tidak memberi izin terhadap suatu perbuatan sebagaimana Nabidiizinkan membaguskan suara dalam melantunkan al-Quran;[10] bukan golongan kamiorang yang tidak melantunkan al-Quran;[11] hiasilah al-Quran dengan suaramu.[12]
Mari merenung sekai lagi. Seperti disebut di atas, anjuran membaca al-Quran itu amat disukai bila diiringi dengan pembagusan suara. “Membaguskan suara” merupakan petunjuk tentang kegigihan usaha untuk melahirkan sesuatu yang ber-nilai. Inilah pintu masuk logika ke-seni-an tilawah.[13] Pembagusan suara juga mendalilkan perlunya muslihat untuk menemukan dan menerapkan cara, teknik, dan metode tertentu. Suara bagus tidak dibutuhkan dalam membaca al-Quran. Akan tetapi me(p)embagus(k)an suara. Dalam pembagusan suara inilah, pembacaan al-Quran bersua dengan seperangkat kemampuan, hikmat, keterampilan, dan kreatifitas.
Konsepsi ini bersuamuka dengan pengakuan dunia ilmiah Islam –yang dirumuskan oleh Ismail Raji al-Faruqi- pada tilawah, yaitu tilawah sebagai teknik suara/bunyi atau handasatush showt.[14] Handasat artinya teknik. Showt artinya suara/bunyi.
Jadi, tilawah itu teknik suara/bunyi. Jadi, ke-seni-an tilawah tidak butuh bantahan. Sekali lagi, di sini, tilawah benar-benar merupa sebagai: seni. Karena itu, tilawah adalah kebudayaan. Ingat!, “yang kebudayaan” adalah tilawah-nya, bukan al-Qurannya. Lazimnya kebudayaan, maka ia tak pernah lekang dari genggaman ruang-waktu.
Kebudayaan masyarakat padang pasir pasti berbeda dengan kebudayaan masyarakat bahari petani. Keindahan menurut orang Arab, belum tentu keindahan menurut orang Jawa, orang Sumatera, orang Sulawesi. Meskipun ada segi tertentu ketika kebudayaan “di sana” bisa diterima “di sini” –tentu dengan penyesuaian kreatif nir jeda. Begitulah watak kebudayaan; universal sekaligus lokal, lokal sekaligus universal. Menjadi wajar bila ada orang Barat masuk Islam gara-gara mendengar azan, orang Inggris betah bermukim di Jawa dan bahkan menjadi dalang, penari, penyinden.
Saya hanya hendak mengatakan bahwa tilawah adalah produk kultural dari zaman, masa, ruang, serta tabiat estetik tertentu. Ia boleh berlaku di sini, tapi belum tentu berlaku di sana. Tapi bisa pula ia berlaku di sana sekaligus di sini. Konsekuensinya, dalam kasus tilawah Jawi khususnya dan tilawah langgam nusantara lain umumnya, tilawah harus dilihat setidaknya dalam dua matra. Pertama, segala nada-irama “yang Arab” dalam pembacaan al-Quran tidak bisa dipaksakan untuk diterima oleh orang non-Arab. Begitu pula sebaliknya. Sekalipun bagi rezim politik-keagamaan tertentu, tilawah Jawi dirasa tidak “pantas”, konyol, menjijikkan, ia tetap tidak boleh dibunuh. Tilawah Jawi merupakan aspirasi kultural manusia dari ruang, waktu, kondisi, dan kecendrungan estetik yang khas. Dalam bahasa Pierre Bordieu, inilah yang disebut habitus. Dari sisi inilah sebaiknya kekisruhan diredam. Bahwa tilawah, baik Jawi maupun Arabi, harus disadari hanya sebagai kebudayaan. Tidak lebih.Kedua, apakah tilawah punya sejarah? Maksud saya, apakah tilawah “tiba-tiba” lahir begitu saja dari batu –seperti Sun Go Kong, tanpa ada susur-galur kebrojolan, pertumbuhan, dan pergeliatan dalam dimensi ruang-waktu dunia? Inilah yang dilupakan oleh banyak orang “mendadak ahli tilawah” dalam beberapa hari sejak saya bertilawah di Istana Negara 15 Mei 2015 lalu, tepat pada hari wafatnya musisi Blues kegemaran saya, BB King. Karena itu, mari kita sejenak menafakkuri historisitas tilawah. Tentu hanya sekelebat tatap saja. Bila diurai hingga tuntas, tulisan ini akan menambun seenak penulisnya.[#1]
Selanjunya Baca Tilawah Jawi, Membaca al-Quran dengan langgam Jawa (#2)
[1] Butuh ruang-waktu khusus untuk menerangkan pasal lagu Arab. Ia terkait dengan formula musik Arab era jahiliyah, kenabian, Dinasti Umayyah, Dinas Abbasiyah, sampai minimal abad ke 13-17 M. Arab merupakan negeri miskin estetika. Karena kegemaran mereka adalah berperang serta berpindah-pindah pemukiman. Karena itu, mereka tidak punya dasar-dasar musikal dan peradaban bunyi. Musik Arab atau peradaban bunyi Arab, dibentuk oleh beberapa peradaban besar: Persia, Yunani, Romawi, Mesir Kuno. Malah, dalam pertumbuhan awalnya, musik Arab itu nanti berhutang budi kepada para “Qaynah” (ﺔﻧﯾﻘﻟا) atau Pekerja Seks Komersial dalam istilah zaman sekarang. Di pasar ‘Ukaz, dalam bangunan khusus misalnya, para Qaynah itu menghibur tetamu yang datang. Mereka bernyanyi dengan teknik vokal yang memang dipelajari khusus terutama dari orang-orang Persia. Di samping itu, saat Qaynah yang satu sedang bernyanyi pula, Qaynah yang lain mengambil peran penghiburna yang lain. Ada yang sambil menuangkan anggur sekaligus membuka bagian-bagian penting dari lekuk tubuhnya, ada yang melayani tamu dengan nyanyian-nyanyian menggoda birahi. Untuk seterusnya, sampai kedatangan Islam, musik Arab terbentuk atas “jasa” kaum Qaynah tersebut. Karena mereka lah orang-orang yang masih mau “memikirkan” peradaban bunyi di saat kebanyakan manusia waktu itu gandrung berperang, berebut harta, dan berdagang. Lihat khususnya Habib Hassan Touma, The Music of The Arabs (Portland, OR: Amadeus Press, 1996). Sebagai pengayaan lihat Henry George Farmer, A History of Arabian Music to The XIIIth Century (London: Luzac &Co., 1929); Labib al-Said, al-Jam’us Showtiyyul Awwal lil Quranil Karim awilMushafil Murottal (Cairo: Darul Kitab al-‘Arobi lith Thiba’ah wan Nasyr, 1967).
[2] Dalam perspektif Cultural Studies, segala sesuatu adalah kebudayaan. Namun, sebagai orang Nusantara, saya mengimani kebudayaan sebagai sesuatu yang dikerjakan manusia yang berakhlak-mulia atau berbudi. Sebagaimana ia bersumber dari kata: budhi dan daya. Dengan kata lain, dasar penciptaan kebudayaan, bagi orang nusantara, adalah akhlak yang mulia (al-akhlaq al-karimah).
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 165. 5 Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: ITB Press, 2000), hlm. 41-42.
[4] Jakob Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: ITB Press, 2000), hlm. 41-42.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, cet.xiv, 1997), hlm. 1074. Bandingkan dengan Ibnu Manzhur, Lisanul Arab (Cairo: Darul Maarif, tt.tp., jilid VI), hlm. 3475-3477.
[8] Ahmad at-Thawil, Fannut Tartil wa ‘Ulumuhu (Madinah: Majma’ Malikul Fahd, 1999).
[9]HR.Tirmidzi. Lihat Syarafuddin an-Nawawi, Riyadhush Shalihin (Beirut: Darul Fikr, 1978), hlm. 432
[10] al-Bukhari, Shahih Bukhari (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006), hlm. 720.
[11] al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘alas Shahihayn (Cairo: Darul Haromayn, 1997), Juz I, hlm. 771-773
[12] Ibid., hlm. 774-782
[13] Jakob Sumardjo, op.cit., hal. 45.
[14] Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid; Esensi dan Ekspresi Estetika Islam (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), hlm. 186-189.
Leave a Review