Saya, Tilawah Jawi, dan Sekar Macapat
Saya akan sedikit menceritakan sepicis dongeng setelah tidur tentang hubungan saya dan tilawah Jawi. Agar ada persambungan rasa dan perikatan suara antara kita. Perlu saya tegaskan bahwa saya bukanlah orang pertama yang bertilawah-Jawi. Jauh sebelumnya, di pelosok- pelosok desa di Jawa, ada berjibun simbah-simbah dan orang-orang sepuh imam masjid setempat yang telah menindakinya. Hanya saja, pada tahun 2012, saya menemukan rekaman bacaan al-Quran berlanggam Jawa di situs www.soundclouds.com, yang diunggah oleh akun Ulil Abshar-Abdalla. Tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) itu menyebut bacaannya sebagai Murattal Jawa.[1] Dua tahun lalu, beberapa surat ia unggah di sana. Ada surat Maryam, Surat ar-Rahman, Surat al-Baqarah (Juz 1), dan Juz ‘Amma. Oleh akun entah siapa, bacaan Murattal Jawa mas Ulil itu diunggah ke situs www.youtube.com. Penontonnya cukup banyak. Mencapai 3 ribu lebih –dan pasti akan terus bertambah. Menurut saya, mas Ulil adalah orang pertama yang merekam tilawah Jawi dan mengunggahnya ke dunia maya.
Baca Juga: Tilawah Jawi Membaca al-Quran dengan Langgam Jawa-1
Setelah “kelakuan” mas Ulil itu, yaitu merekam tilawah Jawi, saya pun akhirnya memberanikan diri untuk merekam sendiri tilawah Jawi saya dalam murattal style dengan alat rekam sederhana seharga 299 ribu merek China yang sekarang sudah rusak. Sempat saya rekam bacaan beberapa surat. Sempat pula saya mengirimkannya ke beberapa karib. Tapi kepada mereka, saya tidak mengatakan bahwa itu suara saya. Saya malu. Bagi saya, itu belum pas dikatakan sebagai tilawah Jawi. Ada beberapa file yang sampai kini disimpan oleh kangmas Sunardian Wirodono, seorang penulis novel dari Yogyakarta. Ia membagi-bagikan rekaman itu ke sanak-karibnya. Tapi sekali lagi, menurut saya itu masih belum layak dikatakan sebagai tilawah Jawi –bahkan sampai hari ini bacaan saya itu masih tetap belum layak disebut tilawah Jawi. Meskipun pak Menteri Agama Indonesia telah menyuruh saya membacakannya di Istana Negara pada tanggal 15 Mei 2015 lalu. Sebenarnya, sebelum di Istana Negara, saya pertama kali bertilawah Jawi di Istana Wakil Presiden pada tanggal 26 Maret 2015.[2]
Di www.soundcloud.com, saya juga menemukan akun milik mas Azis Anwar Fachruddin yang mengunggah murattal jawa-nya, Surat Yasin, ke situs tersebut sejak 11 bulan lalu. Selain itu, di www.youtube.com, ada video rekaman tilawah Jawi di acara haul Gus Dur tahun 2014 lalu di Ciganjur, Jakarta. Belakangan saya tahu bahwa sang qori bernama Abdullah Khairul[3] –entah itu nama sebenarnya atau bukan. Selain itu lagi, ada di Youtube pula unggahan murattal Jawa surat ar-Rahman dan beberapa surat lain yang dibaca oleh mas Sunarto Ahmad, tertanggal 15 Februari 2015. Mungkin Anda punya sumber-sumber lain yang juga telah bertilawah Jawi jauh sebelum saya. Jadi, sekali lagi saya tegaskan bahwa saya bukanlah orang pertama dalam hal ini.
Kalau boleh dikatakan, saya bertilawah-Jawi dalam gaya mujawwad. Bukan gaya murattal yang temponya cepat. Di samping itu, dalam tilawah Jawi itu, saya tidak sekadar menggunakan nada-irama Jawa. Sebab saya memakai struktur nada-irama seni suara-spiritual Sekar Macapat Metrum Pangkur Laras Pelog. Ini yang tidak diketahui oleh bahkan semua orang yang belum bertabayyun dengan saya. Sehingga bagi mereka, tilawah Jawi disamakan dengan sinden, wayangan, dan anggapan pandir lainnya. Padahal bukan. Mereka hanya tidak tahu saja apa itu seni suara-spiritual Sekar Macapat. Karena itu, mari kita berbincang sebentar tentang itu.
Baca Juga: Tilawah Jawi Membaca al-Quran dengan Langgam Jawa-2
Sekar Macapat adalah Tawsyikh an-Naghamat Orang Jawa
Ada banyak orang yang tidak tahu Sekar Macapat. Kenapa ia disebut Sekar Macapat. Sehingga, sekali lagi, mereka menuduh Sekar Macapat sebagai nyanyian seperti dangdut, keroncong, wa akhwatuha. Ada pula yang menyamakannya dengan lagu-lagu wayang yang mencirikan kefasikan. Anehnya, meskipun tidak tahu tentang itu, orang-orang Indonesia cenderung merasa sebagai ahli yang layak untuk berkomentar. Alhasil, masyarakat Indonesia dibom oleh gelombang kebencian, hujatan, dan caci-maki. Bahkan dari kalangan para pemikir dan penulis pun banyak yang tidak punya pengetahuan lebih mengenai seni suara-spiritual Sekar Macapat, namun, mereka ‘nekat’ berkomentar dan menulis.
Ada beberapa ustadz, ulama, da’i, dan qori, baik melalui ceramah di televisi swasta, di Youtube, dan komentar di Facebook yang membilang bahwa nada-irama yang saya bawakan itu adalah Dhandanggula dan atau Asmaradhana. Anehnya, berdasarkan ketidaktahuan itu pula, ada di antara mereka yang mengait-ikatkan Asmaradhana dengan persoalan asmara syahwati. Sehingga di akhir kalimatnya, mereka akan bertanya: apa pantas al-Quran dilantunkan dengan irama syahwati? Ada pula yang menyamakan tilawah Jawi itu dengan nyanyian seperti dangdut, rock, hip-hop, punk, metal dan sebagainya. Sehingga mereka akan bilang: kalau gitu nanti al-Quran bisa dibaca pakai lagu dangdut, rock, metal, punk!!
Saya tertawa geli sambil mengakak saat membaca-bacai seluruh komentar dan ulasan tersebut. Saya hanya langsung mengambil kesimpulan bahwa mereka memang sama sekali tidak punya cukup pengetahuan mengenai seni suara-spiritual Sekar Macapat dan apalagi Metrum Pangkur yang saya bawakan untuk membaca al-Quran itu –namun ini bukan berarti saya lebih tahu daripada mereka. Sekali lagi, saya hanya tertawa saja. Karena apa yang disangkakan itu sama sekali salah. Lalu, apa itu Sekar Macapat?
Nada-irama Jawa yang terformulasi dalam bentuk beberapa Metrum (lagu) dalam Sekar Macapat itu adalah nada-irama spritual yang diracik oleh para wali zaman dahulu. Macapat terdiri dari tiga suku kata: mata (mata) + suca (penglihatan/melihat/daya lihat) + ma’rifat (ma’rifat). Jadi, Macapat artinya mata yang sudah melihat dengan ma’rifat. Baik nada-irama dan syair-syair Macapat, kesemuanya merupakan hasil karya para wali yang telah menetra segala sesuatu dengan kacamata ma’rifatullah. Maka Macapat itu tidak disebut nyanyian, tapi sekar/nyekar. Sekar artinya kembang sejati atau kembang yang benar-benar kembang, yaitu ma’rifatullah. Maka tidak ada Sekar Macapat yang digunakan untuk berhura-hura. Pelantunan Sekar Macapat pasti bertujuan untuk mengheningkan cipta. Bagi para pendengar Macapat untuk pertama kali, mungkin ia akan bosan dan merasa jijik.
***
Adapun penciptaan Sekar Macapat berangkat dari paradigma laku spiritual untuk mendengarkan bebunyian yang akan mendekatkan manusia pada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW serta mengarahkan pada akhlakul karimah.[4] Sementara penggunaan Sekar Macapat untuk bermacam-macam objek. Pertama, untuk membaca al-Quran. Kedua, untuk memanjatkan doa dan puja-puji kepada Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ketiga, ini yang paling populer, untuk menyanyikan syair-syair berisi pitutur atau ajaran-ajaran mulia dalam hidup. Keempat, untuk menyenandungkan pengetahuan-pengetahuan lahir-batin yang telah diperas menjadi bait-bait syair. Khusus untuk tujuan ketiga dan keempat, kumpulan syair-syair yang dilagukan dengan satu di antara 11 Metrum Sekar Macapat, nantinya akan disebut Suluk dan Wirid. Suluk adalah tembang yang menceritakan pengalaman atau peristiwa ruhani, misalnya Suluk Linglung. Sedangkan Wirid adalah teori-teori mengenai perjalanan spiritual, misalnya Wirid Lukitadjati di atas.[#3]
Baca Juga: Tilawah Jawi Membaca al-Quran dengan Langgam Jawa #Habis 4
[1] Karena mas Ulil adalah tokoh JIL, maka tilawah Jawi kerap dikaitkan dengan persebaran faham liberalisme Islam di Indonesia. Padahal tidak ada hubungan antara tilawah Jawi dengan liberalisme Islam.
[2] Saat itu saya didaulat untuk melakonkan amal itu di depan Imam Masjid Nabawi Madinah, Menteri Agama Arab Saudi, Imam Masjidil Haram Mekah, para ulama Arab Saudi, Imam Masjid Istiqlal Jakarta, para pejabat negara, perwakilan MUI, para Kyai, santri, dan seluruh peserta Musabaqoh Hifzhil Quran tingkat Asia-Pasifik yang disponsori oleh Pangeran Khalid dari Kerajaan Arab Saudi. Pangeran Khalid sendiri saat itu langsung hadir.
[3] Sebenarnya yang hendak ditunjuk untuk membacakan al-Quran berlanggam Jawa adalah mas Abdullah Khairul (AK) ini. Karena waktu itu Pak Menteri Agama RI menonton rekaman acara Haul Gus Dur di Ciganjur, yang di sana mas AK membaca al-Quran berlanggam Jawa. Tapi karena setelah ditelusuri dan dikontak sana-sini tidak ketemu, akhirnya saya yang jadi “korban”.
[4] Dalam bahasa tasawuf, laku spiritual ini disebut as-Sama’. Sama’ ( السماع ), dalam bentuk tunggal dan jamaknya:
Sima’, adalah perkara penting. Sama’ membuahkan keadaan batin yang disebut dengan wijd/wujd ( وجد ). Wijd adalah api asmara yang terus menyala-nyala yang membangkitkan jiwa karena kilau cahaya azali dan penyaksian (syahadah/ الشھادة ) sekali pukul. Karena itu, dalam berbagai maknanya, wijd kerap dipakai untuk menunjukkan keadaan ketika hati menyala-nyala untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT karena rangsangan bunyi-bunyian ataupun efek penginderaan. Efek dari adanya wijd di dalam diri adalah kemunculan akhlak yang terpuji yang mencirikan kesantunan dan kehalusan. Fase puncak wijd adalah menjadi wujud ( الوجود ), sebuah fase perjalanan spiritual yang ditandai dengan meleburnya semua perbedaan warna dan penyaksian bahwa semuanya adalah satu semata. Lihat Abdur Razzaq al-Qasyani, Mu’jam Ishtilahat as-Shufiyah (Cairo: Darul Manar: 1992), hlm. 317-318. Lihat juga Imam al-Ghozzali, dalam “Kitabus Sama’ wal Wujd” dalam Ihya ‘Ulumiddin, Juz II, (Daru Ihyail Kutubil ‘Arabiyyah, tt.tp.), hlm. 266-302. Lihat pula Abu Nashr as-Sarraj at-Thusi, al-Luma’ (Mesir: Darul Kutub al- Haditsah, 1960), hlm. 338-374.
Leave a Review