Sebelumnya Baca Juga: Tilawah Jawi Membaca al-Quran dengan Langgam Jawa-3
Sekar Macapat memiliki 11 Metrum. Tiap Metrum diciptakan oleh beberapa Wali Songo dan murid-muridnya yang juga berstatus wali. Masing-masing Metrum ada maknanya sendiri dan berhubungan dengan alur perjalanan lahir-batin/spiritual manusia. Harus dicatat bahwa makna perjalanan lahir setiap metrum bukanlah “makna sebenarnya”. Makna lahiriah hanya sebagai pintu masuk untuk mengantarkan manusia ke dalam makna batiniah, agar ia mau mengarungi hidup di dunia ini sebagai seorang salik atau pejalan ruhani. Di bawah ini perkara itu akan saya babarkan secara singkat.
***
Pertama, Mijil. Artinya keluar, lahir. Metrum ini menceritakan kelahiran manusia dari alam rahim. Mijil juga berarti lahir kembali, yaitu orang yang sudah mengalami pencerahan ruhani dan karena itu ia menjadi “manusia baru”. Tembang yang dinyanyikan dengan Mijil, pasti menceritakan tentang pencerahan rohani. Metrum ini diciptakan oleh Sunan Geseng atau Pangeran Cakrajaya.
Kedua, Maskumambang. Artinya manusia yang menyerupai emas yang sedang berkemilau, sehingga membuat mata pemandangnya menyulurkan kebahagiaan. Secara lahiriah, metrum ini menceritakan keadaan fisikal bayi yang baru dilahirkan. Lazimnya bayi, ia pasti menghadirkan suasana ceria. Sedangkan secara spiritual, Maskumambang menggambarkan fase perjalanan seorang salik atau penempuh jalan rohani yang menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Sehingga orang-orang di sekitarnya berbahagia untuk berkarib dengannya. Metrum ini diciptakan Sunan Giri.[1] Tapi ada pula yang mengatakan bahwa ia diciptakan oleh Sunan Majagung dan Sunan Kudus.[2]
Ketiga, Kinanthi. Artinya bergandengan, berteman, manusia yang diikuti, ditiru, digugu. Secara lahiriah, Kinanthi menyimbolkan anak yang kemauannya selalu diikuti oleh orangtuanya karena sedang lucu dan polos-polosnya. Sedangkan secara spiritual, Kinanthi menggambarkan bahwa orang yang berakhlak-mulia, selain akan disenangi, ia juga akan diikuti oleh banyak orang. Dalam bahasan kebudayaan, Kinanthi berarti membangun persahabatan seluas-luasnya. Metrum ini diciptakan oleh Sunan Pajang atau Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir dari Kesultanan Pajang.
Keempat, Sinom. Artinya muda-belia. Makna lahiriahnya, Sinom adalah fase di saat si anak manusia itu tumbuh menjadi anak muda yang siap dididik. Sinom diciptakan oleh Sunan Giri Sepuh. Ada pula yang mengatakan bahwa ia diciptakan oleh Sunan Muria.[3] Sinom juga berarti daun Pohon Asam yang masih muda, yang nantinya akan menjadi Pohon Kamal atau pohon kesempurnaan. Setiap manusia memang akan dididik menjadi manusia sempurna dan berhak memperoleh pendidikan untuk menjadi manusia sempurna, yang dalam bahasa khazanah tradisi, disebut sebagai sosok ma’dum sarpin. Dalam makna batinnya, Sinom menggambarkan orang yang berakhlak mulia untuk tidak berhenti hanya sampai pada perilaku akhlak mulia saja, akan tetapi ia harus terus berjalan mencari ilmu kesempurnaan.
Kelima, Asmaradhana. Artinya api asmara. Diciptakan oleh Sunan Giri Gajah, yang memang senang mengingatkan anak-anak muda. Ada tuduhan bahwa Asmaradhana menunjuk pada perkara cinta-cintaan. Tentu saja itu salah. Sebab Asmaradhana yang dimaksudkan oleh Sunan Giri Gajah adalah Asmara Kingkin, yaitu rasa cinta yang dalam al-Quran disebut asyaddu hubban lillah. Memang ia bermula dari cinta pada sesama, yang disebut Asmara Galuh, lalu menaik pada Asmara Dunya (cinta dunia/smarabhumi). Tapi manusia dilarang untuk berhenti di situ. Manusia harus terus mengasah asmaranya (asmara bangun) agar menjadi Asmara Kingkin, yaitu cinta ilahi yang mendahana atau membakar diri sendiri sehingga akhirnya diri itu habis terbakar oleh cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Keenam, Durma. Artinya berdebat, bertempur, dan digembleng. Tembang yang dinyanyikan dengan metrum ini diarahkan untuk berargumentasi demi menegakkan hujjah agama Islam. Semangatnya adalah untuk melawan. Sebagaimana secara lahiriah ia berarti anak muda yang siap melawan dan mendebat segala yang “tidak cocok” menurutnya. Metrum ini dianggit oleh Sunan Bonang dari Kasatrian Bonang, yang merupakan pesantren untuk menghasilkan para hujjatul Islam (ahli hujjah). Sunan Bonang juga ahli alat musik spritual bonang. Secara spiritual, Durma berarti bahwa orang yang sudah mencecap cinta sejati karena telah bertemu dengan Allah SWT dan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, harus mahir menegakkan agama Islam dengan berbagai hujjah atau argumentasi.
Ketujuh, Dhandanggula. Artinya perintah untuk segera mencari ampunan dan kelezatan batin. Secara lahiriah, metrum ini mencirikan kecendrungan kaum muda dalam upaya untuk meraih prestasi dan derajat tinggi. Namun, sebagaimana di atas, makna sebenarnya adalah makna batiniahnya. Metrum ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Biasanya ia digunakan untuk menyanyikan tembang yang menceritakan perkara hakikat dan menghaturkan doa. Tembang Dhandanggula pasti terdiri dari 10 gatra (baris). 10 berarti panuluh atau penyuluh/penerangan.
Kedelapan, Pangkur. Artinya membelakangi. Seorang manusia yang telah mengerti kesejatian kelezatan dalam hidup, yaitu hakikat, maka ia wajib untuk segera memunggungi dunia atau menghindari kelezatan dunia. Karena itu, Pangkur bagi kalangan sesepuh Jawa dimaknai sebagai pangudi ilmu quran atau mencari penjelasan tentang ilmu al-Quran. Maksudnya, seorang manusia harus mendalami pengetahuan yang ada di dalam al-Quran. Pangkur diciptakan oleh Sunan Drajat, dari Kasatrian Drajat. Selain mempunyai satu set Gamelan bernama Singo Mengkok, Sunan Drajat juga dikenal sebagai wali yang ahli tandak (pengendang).
Kesembilan, Megatruh. Artinya memutus ruh dari badan/dunia. Bercerai dari gemerlap kehidupan dunia. Metrum ini kerap dikonotasikan sebagai ciptaan Sunan Kalijaga. Tapi ada pula yang berpendapat bahwa ia diciptakan oleh Sunan Giri.[4] Dalam alur perjalanan batin, fase ini merupakan keadaan ketika seorang salik telah mengisbatkan dirinya untuk mati sebelum mati, atau meninggal-dunia sebelum meninggalkan dunia.
Kesepuluh, Gambuh. Artinya menyatu, maksudnya menyatu dengan Allah SWT. Diciptakan oleh Pangeran Natapraja dari Kadilangu, seorang wali yang juga cucu Sunan Kalijaga. Manusia yang telah memegat atau memutus ruhnya dari jerat badaniah, maka ia akan mendapatkan kenikmatan untuk kembali ke hadirat asal-usulnya, yaitu Allah SWT. Pada fase ini, seorang manusia telah mempersiapkan diri dan memperbanyak bekalnya untuk berjumpa dengan Yang Satu itu.
Kesebelas, Pocung. Artinya pucuk dedaunan. Ia merupakan simbol mayit yang sudah dibungkus kain mori yang ditanam di dalam tanah. Pocung juga berarti kluwak yang masih muda (kluwak anom). Kluwak adalah buah yang ada batoknya, biasa dipakai untuk rawon. Ia beracun kalau tidak bisa mengolahnya. Maksudnya, kecintaan pada kematian kalau tidak matang, maka akan menjadi racun. Misalnya bunuh diri atau kematian yang tidak benar (suul khotimah). Pocung harus betul-betul matang. Diciptakan oleh Sunan Giri Prapen.
***
Karena itu, membaca al-Quran dengan nada-irama seni suara-spiritual Sekar Macapat, bukanlah pekerjaan sembarangan. Sebab nada-irama itu tidak bisa disamakan dengan nada- irama dangdut, metal, hip-hop dan amsal musikal semisalnya. Tuduhan-tuduhan bahwa kalau nanti al-Quran dibaca dengan langgam Jawa, lalu kelak orang akan membaca al-Quran dengan lagu-lagu dangdut wa akhwatuha di atas, sama sekali merupakan isapan jempol berbasis kebodohan dan ketidaktahuan. Bagi saya, Sekar Macapat itu adalah semacam tawsyikh al- naghamat[5]-nya orang Jawa.
Membaca al-Quran dengan satu di antara 11 Metrum Sekar Macapat tentu termasuk amal yang baik, bagus, indah, dan lebih penting lagi: suluki. Itulah mengapa judul tulisan ini saya buat: Suluk Tilawah Jawi (Baca Juga: Tilawah Jawi Membaca al-Quran dengan Langgam Jawa-1). Bahwa tilawah Jawi adalah tindakan berjalan (suluk) untuk mendekat pada Allah SWT, Rasulullah SAW, dan menyambung silsilah batin dengan para awliya nusantara. Mengapa? Itu tadi, sebab Sekar Macapat adalah seni suara-spiritual. Dalam arti paling kulit-luar, Macapat berarti maca + papat, atau membaca syair yang terdiri atas empat bait. Sama halnya syair-syair Syekh Jalaluddin Rumi di Turki dan para sufi lain, yang meredaksikan puisi-puisi mereka dalam bentuk Rubaiyyat.
Memang, bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, Macapat juga searti dengan Rubaiyyat. Rubaiyyat sendiri adalah syair-syair yang dikelompokkan ke dalam tiap empat bait. Manusia yang masuk ke dalam arena percakapan Rubaiyyat atau Macapat, merupakan manusia yang sisi ruhaninya telah disirami oleh petunjuk (ma’rifat). Karena itu, kata-kata yang berunsurkan kata Ra-ba-‘a, mencirikan keruhanian. Misalnya Rabi’ul Awwal yang menandakan kedatangan musim berbunga-bunga atau masa berbuahnya tanaman setelah disirami beberapa bulan sebelumnya.[6] Ka’bah pun, forma asalinya adalah bangunan yang didirikan sebagai kelipatan segi empat.
Jadi, apa yang main-main dari tilawah Jawi atau al-Quran yang dilantunkan dengan menggunakan nada-irama Sekar Macapat Jawa?
Tilawah Jawi sebagai Budaya Tanding
Pembacaan al-Quran turut menentukan proses pengasahan rasa manusia, dalam hal ini umat Islam. Seseorang yang terbiasa mendengar nada-nada indah, bercitarasa spiritual, dan bernuansa meditatif-reflektif (khusyu’), niscaya batinnya akan terasah. Usaha untuk membentuk generasi peka kebenaran pun akan lebih mudah diamalkan. Para wali songo dan ulama-ulama dahulu telah menyedekahkan suri teladan tentang itu. Satu di antara banyak cara untuk membatinkan Islam, sebagaimana mereka suarkan, adalah dengan mengemas ajaran- ajaran Islam ke dalam nada-nada, nyanyian, suluk, tembang, dan aneka estetika-spiritual lainnya. Berkaca dari sana, tilawah Jawi layak mendapatkan tanda pengenal sebagai pilar penyaka kelestarian ajaran Islam di nusantara.
Tilawah Jawi, bagi saya, ikut menentukan apakah pembacaan al-Quran dapat menjadi amal terkarib umat Islam di tengah pepetan “bunyi” dan nada-nada komersial dunia modern yang bercorak industrial, homogen, dan monoton. Di sinilah, tilawah Jawi menjadi terapi budaya audial bagi kuping-kuping perungu nada-nada popular yang hampir seluruhnya diproduksi dengan asas-asas spirit industrial. Bukan rahasia lagi, saat ini, peradaban bunyi manusia Indonesia telah dihikmati sebagai elemen industrial-ekonomikal. Sebagian besar suara, musik, dan nada disolek untuk mengabdi pada fungsi-fungsi hiburan semata. Bila dicerna lebih serius, peradaban bunyi tersebut justru telah mengasasi kerusakan sistem estetik manusia Indonesia. Pasalnya, narasi dominan dari sebagian besar karya nadawi tersebut terasa cuma menyajikan kelatahan, kehura-huraan, dan kesementaraan. Hampir semua nada dan lagu mudah dicerna, namun, hampa makna. Gampang diingat, gampang pula dilupakan.
Baca Juga: Khuldi dan Tafsir Kegagalan Sosial Politik
Lalu, di mana alamat nada-nada ketuhanan? Apakah di antara jepitan bunyi industrial itu ada lubang cacing untuk melipirkan pencarian hakikat kemanusiaan dan mengokohkan tonggak pengabdian kepada Tuhan? Apakah kondisi-kondisi popular itu mampu mewakafkan kehidupan untuk seni bernafas al-Jalal dan al-Jamal, sehingga manusia dapat terantarkan ke pulau al-Kamal[7]Entahlah. Agaknya itu sulit. Tulang-tulang badan kebudayaan yang diproduksi tanpa tumpahan darah-airmata, nir kekhusyu’an, minus ngabekti atau ibadah, dan diatur tanpa sistem berbasis ketulusan, niscaya akan cepat melapuk sekilat-kilatnya.
Bagaimana dengan tilawah Jawi? Saya tidak berintensi untuk mengunggulkannya. Bagaimanapun, ia karya seni yang tidak kedap kritik. Hanya saja, saya berani untuk menitipkan asa kepada tilawah Jawi. Ia bisa dijuluki budaya tanding (counter culture). Karena dalam persabungan nada-nada mutakhir, tilawah Jawi saya anggap mampu untuk mengisi kerusuhan rasa dan kerisihan jiwa manusia yang diakibatkan oleh karnaval nada-nada industrial.
Sebagaimana Sekar Macapat, bila tilawah Jawi diperdengarkan, ia bisa menyelamkan pendengarnya ke dasar samudera ketenangan, suasana meditatif, dan atmosfer reflektif. Tentu dengan catatan bahwa ia diperdengarkan kepada telinga yang hidup dalam kebudayaan tempat tilawah Jawi itu pernah tumbuh. Jika tidak, setidaknya tilawah Jawi dapat disuarakan untuk menginterupsi riuh-ricuh nada-nada mesin industri.
Tilawah Arabi bisa juga. Hanya saja, sejauh ini, tilawah Arabi cenderung dipelajari hanya untuk MTQ. Anne K Rasmussen malah mengatakannya dengan kata; festivalization and staging religion (festivalisasi dan agama pentas).[8] Ada banyak anak-anak umat Islam yang mempelajari tilawah Arabi tidak untuk mengasah kepekaan spiritualnya, tapi untuk mengikuti perlombaan. Belum lagi bila dalam perlombaan itu, iming-iming hadiah besar telah membayang-bayangi pelupuk mata. Saya menemukan banyak sekali data tentang kekotoran dalam dunia itu, dunia MTQ. Sehingga, wajar bila Mbah Arwani dari Kudus, Jawa Tengah, mengharamkan santri-santri yang belajar al-Quran kepada beliau untuk ikut MTQ. Karena itu pula, saya menolak usul Menteri Agama RI yang pernah berencana untuk memasukkan tilawah langgam lokal dalam MTQ. Namun, saya mendukung penuh bila tilawah lokal hendak diinventarisasi, dikonservasi, dan bahkan ditradisikan kembali.
Tambahan lagi, tilawah Jawi bagi saya adalah pernyataan anak bangsa yang ingin memakrifati sejarahnya sendiri. Tilawah Jawi adalah rasa terima kasih saya kepada para leluhur awliya yang telah berjuang mati-matian mengenalkan Allah SWT dan Rasulullah SAW secara bersambung hingga hari ini. Baik secara lahiriah maupun batiniah (kasyfi). Entah dengan nada-irama syair, tembang, karya sastra, dan doa-doa. Tilawah Jawi juga merupakan rasa syukur saya kepada Allah SWT karena saya telah ditempatkan untuk hidup di bumi nusantara yang di sanalah air sumur ternikmat dunia saya minum, udara tersejuk jagad raya saya hirup, sayuran tersegar alam semesta saya santap, nasi tergurih alam fana saya telan, dan bumi tersubur galaksi ini saya nikmati.
Tilawah Jawi juga merupakan sikap pemihakan saya pada orang-orang yang terpinggirkan dan dipinggirkan oleh laju ekonomi yang terpusat di kota-kota besar. Para leluhur mereka dahulu lah yang telah lebih dahulu bertilawah-Jawi. Namun, kini, anak-cucu mereka yang telah dipinggirkan itu semakin berada di pinggir. Sebab tanah-tanah mereka telah dibeli oleh kumpulan orang-orang kaya yang berkeinginan untuk meraup keuntungan ekonomi berlebih dengan membangun mal, hotel-hotel, apartemen, lapangan golf, dan tempat-tempat bisnis skala internasional. Lalu, sumur mereka mengering kering-gering. Sumber-sumber mata air mereka (sendang, belik) yang telah memuncar sejak era para leluhur mereka dahulu, pun telah diambil-alih pengelolaannya oleh perusahaan air minum dan atau perusahaan semen milik entah siapa.
Tilawah Jawi juga merupakan nada-irama keresahan orang-orang di pinggiran Jawa yang tatkala hendak berwudhu untuk sholat atau membaca al-Quran saja, mereka harus mengalami kesulitan memperoleh air. Ditambah lagi ketika mereka mau belajar membaca al-Quran ternyata tidak ada orang yang mengajarkannya. Karena para ahli ilmu al-Quran sibuk ikut lomba baca al-Quran berhadiah besar.
Mereka-mereka itulah sebenar-benarnya pemilik nada-irama tilawah Jawi. Namun, entah karena berbagai hal, nada-irama tilawah Jawi itu saat ini pun telah menjadi asing dari ruang dengar mereka. Padahal, para leluhur mereka dulu mengajarkan dan diajarkan Islam dengan itu. Sehingga sampai di era anak-anak mereka, yaitu kita sendiri, tilawah Jawi tiba-tiba kita ingkari hanya gara-gara kuping kita asing sewaktu merungu.
*** Sebenarnya masih banyak yang hendak saya pertukar-cuapkan. Hanya saja, lama-lama nanti tulisan ini pasti akan menambun. Tentu itu tidak baik. Ruang-waktunya juga sangat sempit. Semoga pada suatu kapan nanti, akan ada kesempatan untuk lanjut memperkalamkannya.[Habis#4]
Baca Juga: Tilawah Jawi Membaca al-Quran dengan Langgam Jawa-1
[1] Ada tiga Sunan Giri; Giri Sepuh, Giri Prapen, Giri Kedhaton Hanyakrakusuma (Giri Gajah).
[2]Sunardian Wirodono, Serat Chentini Dwi Lingua (Yogyakarta: Yayasan Wiwara, 2011), hlm. xxvi.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. xxxi.
[5] Syair Arab yang dinyanyikan dengan langgam Arab dan dipakai sebagai model untuk melantunkan al-Quran. Tawsyikh ibarat jendela lagu al-Quran. Ayat al-Quran mana yang hendak dilantunkan dengan lagu tertentu, awalnya ditinjau dengan tawsyikh yang telah dilumuri lagu-lagu al-Quran. Untuk ulasan akademik mengenai seluk-beluk tawsyikh, lihat Lois Ibsen al-Faruqi, “Muwashshah: A Vocal Form in Islamic Culture”, dalam Ethnomusicology, University of Illionis Press and Society for Ethnomusicology, 1975, Vol. 19, No.1, hlm. 1-29. Saya sangat nyaman menerjemahkan tawsyikh al-naghamat sebagai guru lagu, yang darinyalah orang-orang Jawa memakai pola lagu untuk melantunkan al-Quran.
[6] Ibnu Manzhur, op.cit., hlm. 1563-1564.
[7]Filsafat seni dan tata-cipta karya dalam Islam beranjak dari hal ini. Lihat Ibnu Arabi, Kitab al-Jalal wal Jamal (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001).
[8] Ada beberapa analisis menarik mengenai MTQ di Indonesia. Anna M Gade melihatnya sebagai rekayasa politik pembangunan dan rekayasa peningkatan kesalehan masyarakat Indonesia di bawah Orde Baru. Lihat Anna M Gade, op.cit., hlm. 216-266. Sementara Anne K Rasmussen melihat MTQ dalam jejaring wacana festivalisasi agama dan staging religion. Lihat Anne K Rasmussen, Women, the Recited Quran, and Islamic Music in Indonesia (USA: University of California Press, 2010), hlm. 125-165.
Leave a Review