scentivaid mycapturer thelightindonesia

Toilet dan Peradaban

Sebuah Toilet yang melambangkan Peradaban Manusia

Toilet, selama ini, acap dinetra dengan sebelah mata. Toilet dianggap kurang berderajat bila dipertandingkan dengan rumah, kantor, sekolah, kamar tidur, tempat ibadah, dan ruang-ruang “bersih” semacamnya. Toilet serasa tak pernah berjasa dalam pembangunan peradaban bangsa. Di ruang publik, banyak orang enggan mempercakapkan toilet dan perkara yang melingkunginya. Grafik percakapan tentang toilet hanya akan menaik di saat ia berselirat dengan peristiwa ganjil. Misalnya pembunuhan terhadap seorang mahasiswi UGM di Yogyakarta dan seorang dosen UMSU di Medan beberapa waktu lalu.

Sepanjang susur-galur sejarah manusia, toilet merupa sebagai sepetak ruang yang ikut memengaruhi pasang-surut perubahan sosial-budaya. Di terminal, pasar, bandar udara, pelabuhan, dan stasiun kereta api, bilik renungan tersebut nyaris tak pernah kering dari kemih manusia. Di ruang publik itu pula, bagi masyarakat ekonomi kelas bawah, toilet menjelma menjadi mesin penangguk laba. Dengan kata lain, selain berstatus sebagai juru selamat biologis, dia juga bertindak sebagai penopang tulang-tulang ekonomikal warga negara.

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis

Dramaturgi Toilet

Adalah Erving Goffman, sosiolog dari Amerika, dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959), memperkenalkan konsep kehidupan sehari-hari manusia sebagai sebuah drama. Setiap orang adalah aktor yang memiliki dua panggung; panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) di dalam drama itu. Di panggung depan, seseorang menjadi manusia sebagaimana diharuskan kepadanya. Sedangkan di panggung belakang seseorang menjadi manusia sebagaimana diinginkannya. Di panggung depan, setiap orang menjadi aktor yang berupaya tampil agar diterima oleh orang lain. Sedangkan di panggung belakang ia menjadi manusia yang jujur, apa adanya, dan berupaya bebas dari setir kehidupan sosial.

Toilet adalah elemen penting dalam drama itu. Orang-orang sering menggunakannya tatkala mereka sedang “beristirahat” di panggung belakang. Pada saat yang sama, dia juga mereka pergunakan sebagai ruang untuk mempersiapkan penampilan di panggung depan. Di dalamnyalah mereka merapikan busana, mengurai ketegangan, memoles mimik muka, dan memulihkan aura kemanusiaannya. Pada aras ini, toilet tidak berada di panggung belakang maupun panggung depan. Ia, dalam bahasa antropolog Victor W Turner, adalah ruang liminal. Ia bukan “di sana”, bukan pula “di sini”. Ia bertetangga-dekat dengan panggung belakang sekaligus panggung depan.

Dalam kasus pembunuhan terhadap mahasiswi UGM, si pembunuh menggarap toilet sebagai pendukung kerja panggung belakang, yaitu untuk memulihkan postur ekonomikalnya. Benda-benda yang ia beli setelah merampas barang-barang berharga milik korban menunjukkan bahwa ia ingin agar perannya sebagai kepala rumah tangga di panggung depan betul-betul sukses ia jalani. Sedangkan si pembunuh dosen UMSU membaiat toilet sebagai pilar keutuhan panggung depan. Tampaknya ia berharap agar setelah mengaktor sebagai pembunuh di panggung depan, ke-manusia-annya dapat kembali ia pulihkan di panggung belakang.

Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau

Bilik Refleksi

Ruth Barcan, pegiat kajian budaya dan gender dari University of Sydney, dalam artikel berjudul Dirty Spaces: Separation, Concealment, and Shame in Public Toilet (2010: 25), memindai toilet sebagai ruang ambigu. Menurutnya, di satu sisi dia merupakan gudang kotoran, namun, di sisi lain ia berfungsi sebagai wahana kebersihan. Ada banyak arsitek, perencana pembangunan, desainer, dan pengambil kebijakan publik yang acap dibingungkan oleh ambiguitas toilet ini. Pasalnya, sebelum menghadirkan toilet sebagai ruang yang nyaman, mereka harus memecah otak untuk mengakurkan perpunggungan dua nilai itu; kekotoran dan kebersihan. Alhasil, ambiguitas ini membuka jalan bagi masuknya kerja-kerja dialogis-reflektif yang memantul dalam pusparagam karya seni dan sastra.

Dari bulan Februari sampai Mei 2015 lalu, misalnya, dalam pameran bertajuk Art & Toilets: Bringing Back The Glory of The Past, toilet dipajang ke hadapan khalayak luas. Penyelenggaranya, JEFORAH (Jakarta Endowment for Art and Heritage), memaksudkan pameran itu sebagai refleksi atas pengelolaan toilet umum di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta. Dari sudut dunia sastra, Rieke Diah Pitaloka menahbiskannya sebagai bangsal untuk merenungkan pucuk-pangkal kehidupan. Dalam puisi Renungan Kloset (2001), ia menulis; ada baiknya merenung hidup dalam kloset yang sepi/tak perlu malu mengenang, tersenyum atau menangis/setelah itu, siram semua/bersiap menerima makanan baru yang lebih baik dari kemarin.

Film India bermazhab drama-komedi, Piku (2015), malah menjepret toilet sebagai arena pertemuan antara nilai lama dan nilai baru, tradisi dan modernitas, Timur dan Barat. “Tuan, Anda duduk dengan gaya India atau gaya Barat?”, tanya Rana Chaudary (Irfan Khan) kepada Bhashkor Banerjee (Amitabh Bachchan) yang telah berbilang-bilang bulan mengalami masalah sembelit. Rana, dalam dialog di menit ke-69 itu, ingin memastikan apakah sebagai orang India, toilet dan cara Bhashkor membuang hajat masih bercorak tradisional; jongkok, atau malah telah terbarat-modernkan; duduk. Di aras ini, toilet memasuki perbincangan tentang pengaruh globalisasi dalam perumusan jati diri bangsa-bangsa Timur. India dan terlebih lagi Indonesia tentu berada di sana.

Baca Juga: Fiksi Motivasi di Gerbong Neoliberal

Fadhilah Berak dan Toilet Jongkok

Pertanyaan Rana di atas, mengingatkan saya pada sebuah pertanyaan: kapankah  bangsa Indonesia merasa tak nyaman berak? Menurut saya, saat bangsa tersebut tidak lagi menjaga tradisi berak jongkok. Tradisi berak bangsa kita adalah berak jongkok. Bukan berak duduk. Saya memang belum pernah mengamalkan survey tingkat kenyamanan berak warga negara Indonesia. Tapi, saya pernah mempercuapkan perkara penting ini kepada banyak orang, terutama anak-anak muda yang sudah tak merasa nyaman lagi berak gara-gara dipaksa berak sambil duduk oleh toilet duduk!

Di mana-mana, sekarang toilet duduk sudah menjadi trend. Padahal, meminjam nalar Rana di atas, toilet duduk termasuk bagian dari rekayasa sosial rezim westernisasi. Dengan memasarkan toilet duduk ke seluruh negara berkembang kayak Indonesia, sambil membangun mitos tentang puncak kemodernannya, rezim tersebut pasti sedang menjalankan strategi untuk melemahkan kekuatan badan dan mencebolkan kemampuan imajinasi warga negara Indonesia.

Coba Anda renungkan. Toilet jongkoklah satu-satunya toilet yang dapat merangsang pertumbuhan imajinasi dan kesehatan badan. Hanya dengan jongkok, seluruh saraf-saraf di badan terhubung sambung-menyambung menjadi satu. Mulai saraf di tapak kaki, betis, paha, lalu saraf-saraf di bahu atau tubuh bagian belakang, semuanya bekerja saling menjalin kontak sampai ke saraf-saraf di kepala. Itulah sebab-sebab mengapa berak menjelma menjadi amal-ibadah paling sahih untuk berimajinasi seliar-liarnya. Dengan berak sambil jongkok, darah melancar, beban di perut akan menerjun-bebas setulus-tulusnya.

Itulah fadhilah berak –dan otomatis toilet- jongkok. Sedangkan untuk berak duduk, boleh dikata ia lebih banyak mudaratnya untuk bangsa Indonesia. Tinja-tinja seperti enggan untuk dimerdekakan dari asuhan usus besar. Parahnya lagi, akibat berak sambil duduk, saraf-saraf tubuh tak bisa bersilaturahmi satu sama lain. Kau pasti tahu bahwa kekurangan silaturahmi dapat menyebabkan seret rezeki dan singkat usia.

Akibat berak duduk, saraf di tapak kaki, betis, paha, sampai di bagian belakang badan, semuanya seperti tak lagi bersaudara. Tak ada topang-topangan atau jepit-jepitan persendian yang memungkinkan terlancarkannya arus peredaran darah ke seluruh badan. Sehingga tak ada pula suplai darah deras ke kepala. Saraf di otak kekurangan fungsi. Bila otak sudah kekurangan fungsi, maka imajinasi pasti macet. Coba lihat ilustrasi karikatural orang berak-jongkok yang pasti melambangkan tindakan imajinatif: merokok! Berbeda dengan ilustrasi karikatural orang berak-duduk, yang dilambangkan dengan aktivitas miskin imajinasi: membaca koran.

Baca Juga: Mencari Cita Rasa Masakan Minang yang Otentik

Revolusi Toilet

Khazanah kebudayaan kita menyimpan bermacam kosakata dan istilah yang searti dengan toilet; kakus, jamban, tandas, peturasan, kamar kecil, water closet (WC). Dibandingkan dengan kosakata “sekolah” dan tempat yang searti dengannya, toilet masih lebih unggul. Ini artinya dia telah membalung-sumsum dalam tubuh bangsa Indonesia. Sayangnya, banyak pihak cenderung menyepelekannya. Terutama lembaga-lembaga yang berhubungan dengan hajat masyarakat luas seperti kantor pemerintahan dan institusi pendidikan.

Sebuah universitas boleh saja bermimpi untuk mendapatkan akreditasi A atau didaftarkan dalam 100 besar universitas bergengsi dunia. Akan tetapi, bila toilet yang mereka sediakan untuk siswa-siswi didiknya penuh masalah; tidak terawat, jorok, selokan tersumbat, keran rusak, air sering mati, maka mimpi itu hanya isapan jempol semata. Jadi, marwah toilet tidak boleh direndahkan.

Baca Juga: Lapau Maota dan Adakah Teater di Sana?

Toilet semestinya dipandang sebagai situs kebudayaan. Artinya, toilet harus ditata agar dari sana, manusia dapat berdialog dengan dirinya sendiri dan dengan pancaragam nilai sosial-budaya. Bila bangsa ini ingin berdiri-tegak di hadapan bangsa-bangsa lain, revolusi toilet adalah satu di antara banyak jawaban paling realistik. Setidak-tidaknya jawaban itu belum pernah meluncur dari atas panggung kampanye politik. Wallahu a’lam.[]

Tulisan ini pernah diterbitkan di harian Waspada Medan. Disunting kembali demi tujuan pendidikan.

Yaser Muhammad Arafat
Menbidbud (Menteri Bid'ah & Kebudayaan) di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta