scentivaid mycapturer thelightindonesia

Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat

Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) merupakan lembaga pendidikan Islam yang berorientasi pada kajian tafaqquh fi al-din serta mempertahankan i’tiqad ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan bermazhab Syafi’i. MTI tumbuh dan berkembang di Sumatera Barat sehingga tradisi yang berkembang di dalamnya turut dipengaruhi oleh budaya lokal, yaitu Minangkabau. Hal ini menjadi keunikan MTI itu sendiri jika dibandingkan dengan pesantren yang ada di pulau Jawa.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah, atau disingkat dengan MTI, merupakan lembaga pendidikan Islam bercorak pesantren yang lahir dari Sumatera Barat dan hingga kini berkembang di dalam dan luar Sumatera Barat. MTI sendiri merupakan perubahan dari beberapa lembaga pendidikan surau yang dikelola secara tradisional dan menggunakan sistem halaqah oleh ulama-ulama yang berpaham ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermazhab Syafi’i. Tokoh sentral dari perubahan ini adalah Syekh Sulaiman al-Rasuli atau dikenal dengan Inyiak Canduang. Ia pernah belajar kepada imam masjid al-Haram, Mekah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi selama tiga setengah tahun.

Sekembalinya dari Mekah, ia aktif mendidik di Surau Baru Canduang. Namun, pada tahun 1926, atas usulan ulama yang sepaham dengannya, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, beserta murid-muridnya, maka dilakukan perubahan sistem pendidikan halaqahdi surau menjadi sistem klasikal. Maka lembaga pendidikan yang ia pimpin diberi nama “Madrasah Tarbiyah Islamiyah”. Dua tahun berikutnya (5 Februari 1928), Inyiak Canduang mensponsori pertemuan besar para ulama Minangkabau bermazhab Syafi’i di Canduang. Dalam pertemuan itu, lahirlah organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, di singkat dengan PMTI, sebagai organisasi yang bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada. Pada pertemuan itu, beberapa ulama tersebut juga menyatakan melakukan perubahan terhadap surau yang ia pimpin menjadi MTI, seperti Syekh Muhammad Jamil Jaho mendirikan MTI Jaho, Syekh Abdul Wahid mendirikan MTI Tabek Gadang, dan sebagainya. Pada tahun-tahun selanjutnya, MTI pun tumbuh dan berkembang di berbagai daerah.

Baca Juga: Wasiat Syekh Sulaiman Arrasuli dalam Ijazah MTI Canduang

Pada tahun 1937, jumlah MTI diperkirakan tidak kurang dari 300 sekolah yang bertebaran di seluruh sumatera, sejak Aceh hingga Sumatera Timur, dari Minangkabau sampai ke Jambi, ke Kuantan dan Indragiri (Soearti No. 5, 1937: 11). Pada tahun 1939, dilaporkan dalam majalah Soearti (No. 20, 1939: 1-2) bahwa jumlah madrasah yang bergabung dalam MTI sebanyak 117. Hingga tahun 1939, Siradjuddin Abbas, seperti dikutip Sanusi Latief, menegaskan di antara MTI yang berdiri di luar Minangkabau adalah: MTI di Curup dan Fajar Sainam (Bengkulu), Pulau Sangkar Kerinci, Padang Guci (Manna, Bengkulu), Balambangan Palembang, Sri Bandung, Rantau Panjang Sekayu (Palembang), Baruga (Sulawesi Selatan) dan Larantuka Lamakera (Flores). Hingga kini, MTI masih tetap eksis di beberapa tempat, meskipun jumlahnya mengalami penurunan. Meskipun demikian alumni yang dihasilkan memiliki peran penting, baik di tingkat lokal maupun nasional dalam membina sikap keberagamaan umat.

Karena MTI lahir dan berkembang di Sumatera Barat, maka tradisi MTI pun tampaknya memiliki perbedaan dengan tradisi pesantren di daerah Jawa. Mengenai tradisi pesantren, telah dikaji oleh Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya “Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.” Namun, tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah belum ditemukan kajian tentangnya.

Baca Juga: Filosofi Ijazah

Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris, tradition, berarti tradisi (Hassan Shadily, 1980: 599). Dalam KBBI (2007: 1208), tradisi di artikan sebagai segala sesuatu—seperti kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan sebagainya—yang turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Tradisi juga diartikan sebagai penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (Abuddin Nata, 2012: 310). Jadi, yang dimaksud dengan tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) dalam kajian ini adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati dan dipraktikkan di MTI sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional/kaum Tua yang lahir di Minangkabau, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainnya.

Sejauh ini, belum ditemukan kajian tentang tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah sebagai lembaga pendidikan Islam kaum Tua di Minangkabau yang eksis hingga saat ini. Literatur yang banyak membahas tradisi lembaga pendidikan Islam tradisional adalah “pesantren”. Zamakhsyari Dhofier (1994: 44) menyebut, ada lima elemen dasar yang tidak bisa dipisahkan, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam klasik, dan kiai. Sedangkan Abuddin Nata (2012: 309-319) menyebutkan di antara tradisi pesantren adalah: 1) tradisi rihlah ilmiah, 2) tradisi menulis buku, 3) tradisi meneliti, 4) tradisi membaca kitab kuning, 5) tradisi berbahasa Arab, 6) tradisi mengamalkan thareqat, 7) tradisi menghafal, 8) tradisi berpolitik, dan 9) tradisi lainnya seperti tradisi poligami bagi kiai yang dilakukan dalam rangka menghasilkan keturunan yang dapat menjadi kiai lebih banyak; tradisi ziarah kubur, terutama kuburan para kiai thariqat yang karismatik; tradisi haulan, yakni mengirim doa tahunan kepada pimpinan pesantren yang sudah meninggal; tradisi silaturahmi dengan sesama rekan para santri.

Tradisi MTI, pada umumnya memiliki banyak persamaan dengan tradisi pesantren. Bahkan dalam perkembangan terakhir, MTI sendiri dikenal dan dikategorikan sebagai pondok pesantren. Meskipun demikian, terdapat pula beberapa perbedaan tradisi pesantren dengan tradisi MTI. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh faktor sosio-kultural dimana pesantren tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, sedangkan MTI awal pertumbuhannya di ranah Minang.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa tradisi yang menonjol pada MTI, baik yang memiliki persamaan dengan tradisi pesantren secara umum maupun tradisi yang khas pada MTI itu sendiri.

Baca Juga: Ahli Fikih Mengapa Harus Kekinian

A. Paham Keagamaan: beri’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah dan Bermazhab Syafi’i

Sistem nilai yang berkembang di kalangan MTI memiliki persamaan dengan pesantren pada umumnya, yaitu berakar pada agama Islam itu sendiri. Hanya saja mereka menamakan sistem nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan “Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah” dalam persoalan aqidah (Nurchalish Madjid, 1997:31), yang mengacu pada ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H), (Alaiddin Koto, 1996: 78-82).

Meskipun paradigma keagamaan di bidang tauhid di kalangan Tarbiyah Islamiyah ini mengacu pada kalam al-Asy’ari, akan tetapi kitab-kitab yang dipelajari di MTI bukanlah karya dari al-Asy’ari, seperti al-Ibānah. Akan tetapi kitab-kitab tauhid yang dikaji merupakan kitab yang disusun oleh ulama yang berpaham al-Asy’ariyah. Salah satu cirinya adalah kajian terhadap sifat dua puluh, rukun iman yang enam, dan sebagainya. Bahkan pendiri MTI Syekh Sulaiman ar-Rasuli sendiri menulis kitab tauhid untuk kelas pemula yang berjudul Aqwāl al-Mardhiyah yang isinya juga mengakaji tentang sifat dua puluh.

Di samping itu, dalam persoalan fikih atau ibadah MTI menyatakan dirinya secara tegas bermazhab Syafi’i. Hal ini sangat beralasan mengingat Abu Hasan al-Asy’ary (w. 324 H) sendiri merupakan ulama yang bermazhab Syafi’i (Kholil Abu Fateh, 2012: 15 dan Siradjuddin Abbas, 2010: 25). Penegasan MTI sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempertahankan mazhab Syafi’i ini tampak jelas pada ijazah santri yang lulus dari Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MT) Canduang dan di beberapa MTI lainnya, ditandatangani sendiri oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli.

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis

Dalam hal ini, MTI juga memiliki kesamaan dengan pesantren di Jawa. Hanya saja kaum santri di Jawa mewajibkan mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam mazhab fikih: Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Tapi, umumnya mereka lebih menitikberatkan pada mazhab Imam Syafi’i sebagai mazhab yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya (Rozikin Daman, 2001: 60). Akan tetapi tidak ada penekanan bahwa mazhab Syafi’i yang menjadi pegangan ketika berfatwa dan menetapkan hukum, sebagaimana yang dilakukan MTI.

Menurut Sirajuddin Abbas (2010: 221), pelajaran yang tersimpul dalam mazhab Syafi’i itu sudah dipakai di Indonesia ini sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Jika ditukar dengan pelajaran mazhab lain, bisa menimbulkan kekacauan sebab menukar apa yang telah biasa dipakai. Ia juga menegaskan bahwa memilih mazhab Imam Syafi’i bukan berarti menyalahkan tiga mazhab lainnya (Maliki, Hanafi, dan Hambali). Semuanya betul, tapi karena mazhab Imam Syafi’i itu sudah benar, maka apalah gunanya mengganti dengan yang betul lainnya?

Karena tradisi MTI dibangun berdasarkan mazhab Syafi’i dalam persoalan ibadah, maka praktik amalan ibadah yang dilakukan oleh santri juga mengacu pada mazhab ini. Demikian pula kitab-kitab yang diajarkan di MTI, umumnya kitab yang ditulis oleh ulama yang bermazhab Syafi’i, terutama kitab di bidang fikih. Siradjuddin Abbas (2010: 182-186) menulis, paling tidak ada 97 kitab fikih populer yang ditulis oleh ulama-ulama bermazhab Syafi’i, 20 di antaranya kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri. Di antara kitab-kitab tersebut, terdapat lima kitab yang biasanya diajarkan di MTI, yaitu: 1) Matn al-Ghāyah wa al-Taqrīb, karangan Syekh Syihab al-Dunya wa al-Din, Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahāny yang terkenal dengan galar Abu Syujā’; 2) Fath al-Qarīb al-Mujīb Syarh Matn Taqrīb, karangan Syekh Muhammad bin Qāsim al-Ghazi; 3) Fath al-Mu’in, karangan Imam Zakaria al-Malibari; 4) I’ānah al-Thālibīn, karangan Sayyid Abi Bakr Syatha al-Masyhūr Sayyid al-Bakri; dan 5) al-Mahalli, karangan Imam Jalāl al-Dīn al-Mahalli.

Baca Juga: Fungsi Nama Pengarang Kitab bagi Khalayak Tarbiyah Islamiyah

Menarik pula untuk dicermati bahwa kitab fikih yang ditulis oleh Imam Syafi’i yang terkenal, seperti al-Ūmdan al-Risālah tidak dipelajari oleh santri-santri MTI di kelas formal. Namun kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama yang bermazhab Syafi’i yang lahir beberapa abad berikutnya, seperti  Syekh Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahāny pengarang kitab Matn al-Ghāyah wa al-Taqrīb adalah ulama abad ke IX H (w. 892 H);  Sayyid Abi Bakr Syatha al-Masyhūr Sayyid al-Bakri, pengarang I’ānah al-Thālibīn, adalah ulama abad ke XIV H. Kitab ini selesai ditulis tahun 1300 H yang merupakan syarh dari kitab Fath al-Mu’in, sedangkan Imam Jalāl al-Dīn al-Mahalli pengarang kitab al-Mahalli dan juga tafsir Jalālain—bersama Jalāl al-Dīn al-Suyuthi—adalah ulama abad ke IX H, lahir tahun 769 H dan wafat 835 H.

Tidak dipelajarinya kitab karangan Imam Syafi’i, seperti al-Ūm dan al-Risālah bukanlah meninggalkan sumber primer dari kajian fikih itu sendiri. Akan tetapi untuk memahami karya Imam Syafi’i itu sendiri butuh penjelasan dan uraian yang lebih lugas, rinci dan mudah dimengerti. Penjelasan dan uraian itulah yang dilakukan oleh ulama-ulama sesudahnya yang tetap merujuk pada karya-karya Imam Syafi’i itu sendiri. Inilah menjadi salah satu alasan mengapa kitab-kitab ulama bermazhab Syafi’i di atas yang dijadikan kitab referensi utama di lingkungan MTI, termasuk pesantren pada umumnya. Namun kondisi ini juga menuai kritik, kenapa MTI tidak langsung mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’i, paling tidak untuk santri kelas tinggi? (Alaiddin Koto, 1996: 111)

Perlu pula ditekankan bahwa dalam hal aqidah, mereka berkeyakinan bahwa ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah yang terbenar, selain dari paham itu dianggap keliru dan harus ditentang terus-menerus. Sedangkan di bidang fikih, mereka tidak mengatakan jika mazhab Syafi’i yang paling benar, sehingga mereka juga mengakui keabsahan tiga mazhab lainnya. Hanya saja kepada para santri ditanamkan kesan bahwa Imam Syafi’i lebih ihtiyath dalam istimbat hukum. Kecuali itu, Imam Syafi’i juga pemikir yang mampu mengompromi dan akhirnya menemukan jalan tengah antara dua metode berpikir yang ada di masanya (rasional dan tradisional). Karena alasan itulah sangat beralasan jika mazhab Syafi’i diikuti secara intens, tanpa harus menoleh kepada imam atau mazhab-mazhab lainnya. Kesetiaan kepada paham ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan mazhab Syafi’i ini pun menjadi tradisi di kalangan MTI dimana setiap lulusannya “dibai’at” agar mempertahankan dan mengamalkan paham tersebut, sebagaimana yang tertulis di ijazah. Menurut Alaiddin Koto (1996: 112-113), kekukuhan mereka dalam bersikap dan mempertahankan paham keagamaannya menimbulkan suara sumbang pihak luar terhadap mereka. Mereka dianggap sebagai kaum sempit, eksklusif, mandek dalam berpikir, elergi terhadap pembaharuan dan modernisasi. Mereka dianggap kaum muqallid mazhab yang senantiasa taqlid kepada mazhab tertentu.

Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau

Namun pandangan di atas tidaklah sepenuhnya benar. Meskipun para santri ditanamkan agar mempertahankan mazhab Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam ijazah di atas, akan tetapi mereka juga diperkenalkan pemikiran dari mazhab-mazhab lain. Di MTI Canduang, misalnya, untuk santri kelas VI dan VII diajarkan kitab Al-Asybāh wa al-Nazhā’ir fi al-Furū’ yang berisi tentang pandangan empat mazhab terkait fikih. Bahkan untuk santri kelas VII diajarkan pula kitab Bidāyah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd (520 H-595 H) yang memuat pandangan empat mazhab tentang persoalan-persoalan yang menyangkut hukum/fikih. Karena itu pula, di kalangan santri MTI Canduang, menyebut kitab ini dengan sebutan “Madzahib”. Hal ini memberi kesan bahwa Syekh Sulaiman ar-Rasuli tidak menginginkan santrinya berpikiran sempit seperti anggapan di atas, tetapi mereka tetap diberi ruang untuk memahami perbedaan-perbedaan pandangan dari para fuqahā’. Apalagi Ibn Rusyd sendiri adalah ulama yang lebih cenderung pada mazhab Maliki. Karena itu, santri yang menyelesaikan studinya di MTI ini (alumni), umumnya bersifat lebih terbuka, tidak fanatik secara berlebihan, dan cenderung tidak mudah mengkafirkan orang lain, terutama dalam persoalan-persoalan fikih.

Tradisi Kitab Kuning

Seperti pesantren pada umumnya, Madrasah Tarbiyah Islamiyah juga menerapkan kitab kuning, sebagai media dan sumber belajar dalam memahami ilmu-ilmu keislaman (tafaqquh fi al-dīn). Namun kitab kuning yang dipelajari di MTI pada umumnya berbahasa Arab, bukan berbahasa Arab Melayu atau berbahasa lokal. Kitab kuning dalam artian berbahasa Melayu atau Minangkabau dengan menggunakan aksara Arab, memang ditemukan seperti beberapa kitab yang ditulis oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli, akan tetapi tidak menjadi kitab yang dipelajari oleh santri di MTI.

Di samping itu, kitab yang dipelajari umumnya tergolong pada kitab yang ditulis sebelum abad 19 (al-kutub al-qādimah) (Umiarso dan Nur Zazin, 2011: 36). Meskipun demikian, terdapat pula kitab yang ditulis oleh pendiri MTI itu sendiri, seperti kitab tauhid karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli berjudul al-Aqwāl al-Mardhiyyah yang umumnya dipelajari oleh santri MTI di tingkat pemula dan kitab akhlak yang dikarang oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho berjudul Tadzkirah al-Qulūb yang dipelajari oleh santri MTI Jaho, khususnya, di kelas VI. Namun kedua karya ini tetap menggunakan bahasa Arab. Setelah MTI mengikuti program pemerintah berupa MTs dan MA, maka kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis pasca abad ke-19 mulai ditemukan, khususnya untuk santri yang mengikuti program studi Ilmu Agama Islam (IAI) di tingkat Aliyah. Namun kitab kuning dalam pengertian kitab klasik tetap menjadi ciri utama dari MTI. Karena kitab ini menggunakan bahasa Arab, maka santri MTI umumnya bisa membaca, mengartikan dan memahami teks berbahasa Arab. Dalam hal ini, penguasaan mereka terhadap ilmu alat untuk memahami seluk beluk bahasa Arab tersebut menjadi sangat penting.

Baca Juga: Mengaji Kitab Kuning ala Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Kelemahannya, mereka kurang aktif dalam berbicara bahasa Arab sehari-hari karena kurang dipraktikkan ketika berkomunikasi, baik di lingkungan madrasah maupun di luar. Guru sendiri juga tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar ketika menjelaskan materi. Mereka bisa mengkritisi—bahkan menyalahkan—orang yang berbahasa Arab aktif dari segi tata bahasanya jika ada yang keliru, namun mereka sendiri kurang aktif dan kurang lancar jika diminta untuk berkomunikasi langsung dengan menggunakan bahasa Arab tersebut.[]

***

Tulisan Ini pernah diterbitkan di Jurnal Pendidikan Islam ”at-Tarbiyah” Volume 1 Tahun 2013, Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, edisi Maret 2013. Dan diterbitkan kembali di sini untuk tujuan pendidikan. Untuk kebutuhan pembaca, dalam penyajiannya, kami pecah tulisan ini menjadi empat judul, 1) Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat 2) Kaji Batungkuihan, Tradisi Mengaji di Madrasah Tarbiyah Islamiyah 3)Panggilan untuk Guru dan Murid di Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan terakhir 4)Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah.Judul pertama adalah judul utuh tulisan ini ketika diterbitkan di Jurnal at-Tarbiyah, sedangkan tiga judul belakangan, disusun untuk memudahkan pemahaman pembaca tarbiyahislamiyah.id

Muhammad Kosim
Muhammad Kosim adalah pengajar di UIN Imam Bonjol Padang